Menit-Menit Kritis yang Mengubah Sikap Indonesia Terhadap Iran 
A. Jafar M. Sidik 


Jakarta (ANTARA News) - Entah apa yang diucapkan Presiden AS George Bush 
dan Menlu Condoleezza Rice kepada Indonesia, Afrika Selatan, dan Qatar. 

Yang jelas, setelah mereka menelepon, ketiga negara itu mengubah 
pendiriannya terhadap Iran, hanya beberapa menit sebelum voting Resolusi 
1747 dilakukan. 

Menit-menit terakhir menjelang veto dilakukan inilah yang mengubah 
pendirian Indonesia, Afrika Selatan, dan Qatar. 

Ketiga negara akhirnya menyetujui resolusi PBB tentang sanksi yang lebih 
keras terhadap Iran, jika negeri itu tetap menolak menghentikan pengayaan 
uranium, lapor edisi online Mingguan Mesir, Al-Ahram, 29 Maret - 4 April 
2007. 

Al-Ahram tidak menyebutkan siapa saja yang dihubungi George Bush dan 
Condoleezza Rice itu. 

Berdasarkan pengamatan wartawannya di markas besar PBB di New York, Khaled 
Dawoud, 48 jam sebelum pemungutan suara bagi Resolusi 1747, Wakil Tetap 
Afrika Selatan di PBB yang juga Presiden Dewan Keamanan PBB, Dumisani 
Kumalo, mengajukan teks amandemen setebal tiga halaman yang gagal disetujui 
lima anggota tetap DK PBB, dan juga Jerman. 

Negara-negara Anggota Tetap DK PBB menolak amandemen usulan Afrika Selatan 
ini karena ingin memastikan sanksi lebih keras meluncur tanpa hambatan dan 
ingin memaksa Iran mau tetap berunding lewat jalur politik, bukan berbalas 
ancam. 

Namun penolakan ini membuat Kumalo kecewa sehingga secara terbuka dia 
menyatakan merasa dikhianati oleh enam negara pengusul Resolusi 1747 (AS, 
Inggris, Perancis, Rusia, RRC, dan Jerman). 

Sebaliknya, dua negara muslim anggota tidak tetap DK PBB, Indonesia dan 
Qatar, mendukung usulan Afrika Selatan, bahkan keduanya mengancam akan 
abstain atau menentang resolusi baru terhadap Iran jika amandeman yang 
diajukan Afrika Selatan ditolak. 

Indonesia dan Qatar menginginkan satu resolusi baru yang mengaitkan aksi 
PBB terhadap Iran adalah dalam rangka pembentukkan zona bebas nuklir di 
Timur Tengah. 

Frasa ini ditujukan kepada Israel yang memiliki senjata nuklir namun tak 
terikat pada Perjanjian Penyeberan Senjata Nuklir (NPT) sehingga tak pernah 
tersentuh pemeriksaan Badan Energi Atom Internasional (IAEA). 

Dengan memasukkan frasa ini, kedua negara berharap ada penyelesain adil 
terhadap Iran yang selama ini merasa dizalimi Barat sementara Israel yang 
secara de facto menguasai senjata nuklir dibiarkan menguasai energi nuklir 
tanpa pengawasan internasional. Dalam bahasa terbuka, ketiga negara 
menginginkan IAEA memeriksa juga Israel. 

Tetapi, proposal ketiga negara ini ditolak mentah-mentah AS. 

"...resolusi hanya menyangkut Iran (jangan dikait-kaitkan dengan soal 
lain)," kata delegasi AS. 

Meski akhirnya, setelah melewati dua hari negosiasi yang melelahkan di mana 
selama itu para delegasi anggota DK PBB menerima komando dari pemerintahan 
pusat masing-masing, AS menyetujui frase anti penyebaran senjata nuklir di 
Timur Tengah, namun kalimat yang dimasukkan dalam teks resolusi sifatnya 
kabur dan kentara melindungi Israel. 

AS menolak paragraf yang diusulkan Afsel, Indonesia dan Qatar, namun agar 
ketiga negara tidak kehilangan muka ia setuju memasukkan kalimat pembukan 
dalam Resolusi 1747 yang diadopsi IAEA tahun lalu (2006) yang maknanya 
lebih bercabang ketimbang yang diusulkan Indonesia, Afrika Selatan dan 
Qatar. 

Bunyi kalimat itu adalah, "..bahwa solusi terhadap isu nuklir Iran akan 
mendukung upaya-upaya penyebaran senjata nuklir secara global dan 
mewujudkan kawasan Timur Tengah yang bebas senjata pemusnah massal." Tak 
ada satu kalimat pun yang merujuk langsung ke Israel. 

Dari tiga halaman amandemen yang diusulkan Afsel hanya satu paragraf yang 
disetujui DK PBB, yaitu pemberian wewenang yang lebih kuat dari DK PBB 
kepada IAEA untuk memastikan kesepakatan-kesepakatan internasional mengenai 
energi nuklir dipatuhi anggota-anggotanya, termasuk tak adanya pengecualian 
material nuklir yang digunakan untuk tujuan-tujuan anti perdamaian. 

Namun, meski hanya disetujui satu paragraf, ketiga negara akhirnya melunak 
sikapnya dan menerima Resolusi 1747. 

Ironisnya, banyak diplomat PBB yang heran dengan perubahan sikap yang 
tiba-tiba dari ketiga negara itu. Beberapa kalangan menduga ada "pendekatan 
sangat aktif" dari Gedung Putih terhadap ketiga negara itu. 

Peran AS 

Al-Ahram menyebutkan, seorang diplomat yang turut dalam proses negosiasi 
untuk menggolkan Resolusi 1747 mengungkapkan bahwa Amerika Serikat adalah 
satu-satunya pihak yang sangat agresif "meyakinkan" Indonesia, Afrika 
Selatan, dan Qatar agar mengubah sikap mereka terhadap Iran di DK PBB. 

"Seluruh proses dilakukan sendirian oleh (Pemerintah) Amerika Serikat. 
Bahkan wakil tetap mereka di PBB tidak tahu apa yang sedang terjadi, karena 
dia hanya menunggu instruksi dari Departemen Luar Negeri di Washington. 
(Para wakil tetap) Perancis dan Inggris bahkan bertanya pada kami apa 
gerangan yang sedang terjadi," kata diplomat yang meminta tidak disebutkan 
nama dan asal negaranya itu. 

Majalah Mesir ini menyebutkan, berdasarkan fakta-fakta bahwa Indonesia, 
Afrika Selatan dan Qatar telah "didekati" oleh Amerika Serikat sehingga 
mereka mengubah pendiriannya atas Resolusi 1747, menjadi ironis jika 
kemudian ketiga wakil negara itu berpidato seolah mereka tidak senang 
dengan resolusi itu, padahal faktanya mereka ikut menyetujui resolusi itu. 

"Kami sangat sedih bahwa DK telah dipaksa untuk menerapkan sanksi-sanksi 
baru terhadap Republik Islam Iran," kata Wakil Tetap Qatar di PBB, Nasser 
Abdel Aziz Al Nasser. 

"Pencakupan isu penyebarluasan senjata nuklir yang menurut kami (Qatar) 
positif seharusnya tak diterapkan secara selektif (tebang pilih). Dalam 
pandangan kami, Dewan Keamanan mestinya menerapkan langkah serupa terhadap 
negara-negara yang tidak memenuhi kewajiban-kewajiban NPT termasuk negara 
yang sejak awal tidak menghormati kesepakatan global NPT." 

Kalimat Nasser ini jelas membidik Israel, tetapi tidak berdampak apapun 
karena tidak ada resolusi tegas dan jelas yang mensyaratkan Israel juga 
tunduk pada gagasan anti penyebaran senjata nuklir di Timur Tengah. 

Para diplomat PBB sendiri sebenarnya banyak yang khawatir bahwa AS tidak 
sekedar membidik aktivitas nuklir Iran. Mereka menduga, target AS di Iran 
lebih dari sekedar isu senjata nuklir. 

Faktanya, hanya beberapa saat setelah Resolusi gol, AS merilis daftar 28 
kelompok dan perseorangan yang dikaitkan dengan implementasi Resolusi 1747. 

Aset-aset ke 28 orang ini menjadi target pembekuan, sekaligus dicekal 
bepergian ke luar negeri. Ke-28 itu diantaranya adalah tujuh pemimpin kunci 
Pengawal Revolusi Iran. 

Mereka dituduh mengendalikan lalu lintas pembiayaan proyek nuklir Iran, 
termasuk yang digunakan untuk pengembangan senjata pemusnah massal di Iran. 

Padahal, konon tujuannya lebih dari sekedar itu. Selama ini, AS menengarai 
tokoh-tokoh utama Pengawal Revolusi Iran adalah oknum dibalik Hizbullah di 
Lebanon dan Hamas serta Jihad Islam di Palestina. 

Beberapa bulan belakangan, Washington bahkan menuduh Pengawal Revolusi 
mengembangbiakkan militan Syiah Irak lewat suplai bom canggih dengan target 
pasukan AS. 

Aksi Militer 

Beberapa negara, bahkan Inggris, sepertinya telah menduga gelagat buruk 
dari Washington tersebut. 

Oleh karena itu, menyusul keluarnya Resolusi 1747, Wakil Tetap Inggris di 
PBB Sir Emyr Jones Parry buru-buru menandaskan bahwa pintu negosiasi masih 
terbuka lebar untuk Iran. "Sanksi akan dicabut segera setelah Iran 
menyetujui menghentikan aktivitas pengayaan uraniumnya," kata Sir Emyr. 

Sementara Dubes AS di PBB Alejandro Wolf justru mengancam Iran untuk 
mematuhi Resolusi 1747 dengan memberi batas waktu dua bulan untuk segera 
memenuhi semua isi resolusi baru itu. 

Ironisnya, Alejandro mengaitkan itikad Iran dengan pribadi Presiden Mahmoud 
Ahamdinejad. Katanya, pernyataan Ahmadinejad bahwa Israel harus dihapus 
dari peta bumi menunjukkan Iran memang menjadi ancaman terhadap perdamaian 
dan keamanan internasional. 

Semula, Ahmadinejad akan hadir dalam pemungutan suara di DK PBB ini namun 
dibatalkan di menit-menit terakhir setelah AS mengulur-ulur pemberian izin 
visa kepada Presiden Iran dan para stafnya itu. Entah apa yang dipikirkan 
AS, tapi beberapa kalangan menduga AS tidak ingin Ahmadinejad memengaruhi 
forum PBB sehingga agenda resolusi yang lebih keras terhadap Iran gagal 
keluar. 

Akibatnya, Iran pun merasa AS sedang memanipulasi PBB sehingga resolusi 
yang lebih keras terhadapnya pun terbit tanpa ada kesempatan untuk membela 
diri. 

"AS dan sekutu-sekutunya telah memanipulasi Dewan Keamanan PBB hingga 
mengeluarkan tiga resolusi keras terhadap Iran hanya dalam waktu delapan 
bulan," kata Menteri Luar Negeri Iran Manouchehr Motaki. 

Kini, yang menjadi kekhawatiran para diplomat di PBB adalah kemungkinan 
Pemerintahan George Bush memakai rangkaian resolusi terhadap Iran sebagai 
jalan menuju aksi militer terhadap Iran sebelum ia lengser dari Gedung 
Putih akhir 2008 nanti. Apalagi Iran kini tengah berselisih hebat dengan 
Inggris, sekutu terdekat AS, setelah mereka menangkap marinir Inggris. 

"Resolusi terbaru ini jelas menyebutkan bahwa tindakan apapun terhadap Iran 
nanti hanya sebatas ekonomi dan politik. Tak ada ruang untuk aksi militer 
ke Iran," janji Wakil Tetap Rusia di PBB Vitally Churkin. 

Tetapi, tidak ada yang bisa dipastikan dalam diplomasi dan politik. Dulu, 
Rusia dan RRC pernah menjamin tak akan ada aksi militer ke Irak, 
kenyataannya Irak diserang juga. 

Bara di Timur Tengah terus memerah. Sumbu-sumbu perang dinyalakan, 
ironisnya peperangan itu sering bermula dari diplomasi yang gagal dan 
keputusan yang dianggap tidak adil terutama oleh pihak yang merasa 
dikhianati. (*) 


Copyright C 2007 ANTARA



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke