Publisitas, Fiksi Hukum, dan Keadilan
(oleh Yustisia Rahman)
Pertempuran dahsyat itu berakhir. Zeus yang memimpin Dewa-dewi Olympus akhirnya 
memenangkan peperangan melawan para raksasa Titan dan Kronos, si penguasa yang 
lalim. Zeus yang menaklukan Kronos kemudian menjadi penguasa baru alam semesta. 
Pertempuran berakhir, dan kehancuran yang tak terbayangkan menjadi saksi 
pertempuran itu. Sebagai penguasa Zeus segara mengambil tindakan. Keteraturan 
harus kembali dipulihkan. Hanya dengan keteraturan saja kehidupan akan berjalan 
menuju kedamaian dan harmoni. Oleh karena itu manusia dan para dewa harus 
tunduk pada hukum dan aturan yang dikeluarkan oleh Zeus sang penguasa yang 
baru. 
 Untuk membantunya memulihkan kembali ketertiban dan menegakan hukum, Zeus 
mengutus dua orang dewi: Yustisia dan Themis. Yustisia bertugas sebagai dewi 
keadilan dan penghukum bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran atas sabda 
Zeus serta berbuat zalim pada sesama, tak peduli ia manusia bahkan dewa 
sekalipun. Mungkin karena itulah Zeus menutup mata Yustisia, sehingga ia tak 
akan ragu mengayunkan pedang yang ada di tangannya sebagai hukuman bagi para 
para pendosa tanpa pandang bulu. Themis memiliki tugas yang berbeda. Ia 
bertugas mencatat semua sabda dan perintah Zeus kemudian menyebarkannya kepada 
manusia dan para dewa, sehingga mereka tau apa kehendak Zeus yang tidak lain 
merupakan hukum yang harus ditaati tanpa pengecualian. 
 Yustisia dan Themis bekerja dalam sinergi. Tak akan ada penghukuman bila tidak 
ada hukum yang mengaturnya. Tak akan ada penghukuman bila semua orang tidak 
mengetahui hukum dan peraturan yang harus ditaati. Pedang Yustisia tidak akan 
terayun bila pena Themis tidak mencatat sabda Zeus dan mengabarkannya pada 
manusia serta para dewa. 
 Kisah mitologi ini memiliki pesan yang mendalam: Hukum tidak akan tegak, 
keadilan tidak akan terwujud bila tidak ada aspek publisitas dalam penegakan 
hukum. Sebuah pesan yang sangat bermakna bagi proses reformasi hukum di negeri 
ini.
Teori Fiksi Hukum versus Asas Publisitas
 Dalam ilmu hukum dikenal teori fiksi hukum yang menyatakan bahwa 
diundangkannya sebuah peraturan perundang-undangan oleh instansi yang berwenang 
mengandaikan semua orang mengetahui peraturan tersebut. Dengan kata lain tidak 
ada alasan bagi pelanggar hukum untuk menyangkal dari tuduhan pelanggaran 
dengan alasan tidak mengetahui hukum atau peraturannya. 
 Menurut teori fiksi hukum, kewajiban untuk mempublikasikan peraturan yang 
dibuat dengan sendirinya gugur ketika peraturan tersebut resmi diundangkan oleh 
pemerintah. Sebagai contoh, pengundangan  sebuah undang-undang di Indonesia 
dilakukan dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara. Dengan pengundangan itu 
undang-undang resmi berlaku dan dengan sendirinya masyarakat dianggap 
mengetahuinya. Perintah pengundangan terdapat dalam tubuh undang-undang itu 
sendiri. Biasanya perintah pengundangan yang ditempatkan di bagian penutup 
suatu undang-undang itu berbunyi: “agar setiap orang mengetahuinya, 
memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam 
Lembaran Negara Republik Indonesia.” 
Teori fiksi hukum mengasumsikan bahwa pengundangan peraturan mempunyai kekuatan 
mengikat, mengikat setiap orang untuk mengakui eksistensi peraturan  tersebut 
(Mertokusumo:1985). Dengan demikian pengundangan peraturan tidak memperdulikan 
apakah masyarakat akan mampu mengakses peraturan tersebut atau tidak, apakah 
masyarakat menerima peraturan itu atau tidak. Disnilah muncul kelemahan teori 
fiksi hukum,  pemerintah dapat berbuat sewenang-wenang pada masyarakat yang 
dianggap melanggar aturan hukum dan mengenyampingkan ketidaktahuan masyarakat 
atas hukum atau peraturan yang harus ditaati. 
Teori ini secara tidak langsung telah mengabaikan keberlakuan sosiologis hukum 
dalam masyarakat. Sebuah norma, dalam hal ini norma hukum akan efektif apabila 
memiliki keberlakuan secara filosofis, yuridis, dan sosiologis. Sebuah 
undang-undang bisa saja memiliki nilai filosofis yang sesuai dengan cita dasar 
sebuah negara (aspek filosofis) dan penyusunannya dilakukan melalui mekanisme 
yang sah berdasarkan udang-undang (aspek yuridis). Akan tetapi apabila 
undang-undang tersebut tidak diterima oleh masyarakat (aspek sosiologis) maka 
undang-undang itu tetap akan menjadi produk hukum yang gagal dalam arti tidak 
akan berlaku secara efektif. Terlebih dengan dianutnya teori fiksi hukum, 
keberlakuan sosiologis akan semakin sulit didapatkan. Sebab tidak mungkin 
masyarakat mematuhi dan menerima hukum atau peraturan jika mereka tidak 
mengetahui hukum atau peraturan apa yang harus mereka taati. Dalam hal ini 
teori fiksi hukum bertentangan dengan asas publisitas yang
 mensyaratkan agar masyarakat memiliki aksesibilitas dalam memperoleh informasi 
hukum. Asas publisitas dalam arti materiel menunjukan kewajiban pemerintah 
untuk mempublikasikan peraturan perundang-undangan, terlebih yang sifatnya 
mengikat umum, kepada masyarakat agar mereka mengetahui dan memahaminya sebagai 
prasyarat terwujudnya kepatuhan masyarakat terhadap hukum. 
Secara historis lahirnya asas publisitas berawal dari kebiasaan Raja Hamurabi 
dari Babylonia (kira-kira pada tahun 2000 SM) yang mendirikan tugu peringatan 
di tempat-tempat publik setiap kali dia mengeluarkan hukum dan peraturan yang 
baru bagi rakyatnya. Dalam tugu peringatan yang kemudian dikenal dengan Kode 
Hamurabi itu tertera perintah-perintah raja Hamurabi yang dipahatkan di 
permukaan tugu tersebut, sehingga semua orang dapat membacanya, mengetahuinya, 
untuk kemudian mematuhinya. Kode Hamurabi merupakan kerifan dari kebudayaan di 
masa silam yang menekankan pentingnya aspek publisitas dalam penegakan hukum. 
Penempatan Kode Hamurabbi di tempat-tempat publik yang memungkinkan akses 
masyarakat melihatnya menunjukan hal tersebut. Jangan mengharapkan masyarakat 
mematuhi hukum yang dibuat jika penguasa tidak berusaha mempublikasikan hukum 
atau peraturan yang dibuat itu kepada masyarakat. 
Publisitas hukum dan Teknologi informasi 
Sayangnya saat ini asas publisitas diterapkan dengan pendekatan teori fiksi 
hukum. sehingga publisitas hanya hanya difahami sebatas aspek formalnya saja. 
Pengundangan sebuah peraturan kini dianggap  sudah cukup menggugurkan kewajiban 
mempublikasikan peraturan kepada masyarakat. Padahal di zaman modern ini asas 
publisitas hukum memiliki substansi yang lebih dalam dari sekedar menempatkan 
peraturan di Lembaran Negara. Dalam kaitannya dengan reformasi hukum, aspek 
publisitas dalam hukum mencakup aksesibilitas masyarakat mendapatkan informasi 
tentang hukum baik itu hukum yang berlaku pada saat ini (ius constitutum) 
maupun hukum yang diharapkan berlaku dikemudian hari (ius constituendum). Untuk 
yang terakhir ini maka aspek publisitas mencakup juga hak masyarakat untuk 
berpartisipasi dalam perumusan dan pembuatan peraturan. 
Keterlibatan masyarakat dalam perumusan peraturan perundang-undangan merupakan 
hak yang diatur dalam Undang-undang No 10 Tahun 2004 tentang Tata Cara 
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan bahwa: “Masyarakat 
berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penetapan 
maupun pembahasan perancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah.”  
Keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan 
dengan sendirinya menunjukan terdapatnya akses yang luas bagi masyarakat untuk 
mendapatkan informasi hukum.
Dalam pelaksanaannya, pelibatan masyarakat dalam pembentukan peraturan 
perundang-undangan masih terhambat aturan-aturan formal. Dalam pembuatan 
undang-undang di DPR misalnya, keterlibatan masyarakat menurut Tata Tertib DPR 
hanya difasilitasi dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dimana 
masyarakat berhak menyampaikan aspirasinya secara langsung dalam rapat yang 
dihadiri oleh anggota dewan. Selebihnya masyarakat hanya boleh memantau 
jalannya rapat pembahasan, itupun jika pembahasan dilakukan dalam rapat-rapat 
terbuka bukan dalam rapat tertutup atau forum lobby yang terkadang berlangsung 
di luar gedung DPR.  Hal ini menyebabkan keterbatasan masyarakat dalam 
memperoleh informasi pembahasan peraturan yang berjalan sehingga kontrol publik 
dalam perumusan peraturan menjadi berkurang. Sehingga bukan tidak mungkin 
anggota dewan merumuskan peraturan yang substansinya merugikan masyarakat. 
Keterbatasan informasi itu bukannya tidak dapat diantisipasi, DPR dan alat 
kelengkapannya dapat menggunakan teknologi informasi seperti menggunakan situs 
internet (portal). Namun sayangnya situs resmi DPR (www.dpr.go.id) tampaknya 
jarang sekali dimutakhirkan sehingga informasi-informasi perumusan dan 
pembahasan peraturan perundang-undangan tidak dapat diketahui oleh khalayak 
selain melalui media massa. 
Pemanfaatan teknologi informasi untuk mempublikasikan informasi hukum oleh 
lembaga negara mungkin baru dapat dilakukan secara memusakan oleh Mahkamah 
Konstitusi. Melalui situs resminya (www.mahkamahkonstitusi.go.id) masyarakat 
dapat mengakses dan mengunduh putusan-putusan mahkamah konstitusi secara mudah 
dan tanpa biaya. Masyarakat bahkan dapat memantau jalanya persidangan, sebab 
semua risalah persidangan juga dapat diakses di situs resmi tersebut.  Terlebih 
pengelolaan situs MK tampaknya mengedepankan aktualitas sehingga putusan yang 
dikeluarkan olah hakim MK di pagi hari, sudah dapat diakses oleh masyarakat di 
siang harinya. Hal ini tentu memudahkan masyarakat dalam memperoleh informasi 
hukum, sebab dalam ilmu hukum putusan hakim merupakan salah satu sumber hukum 
selain peraturan perundang-undangan. 
Sayangnya keberhasilan MK tidak diikuti oleh Mahkamah Agung (MA) selaku lembaga 
negara lainnya yang memegang kekuasaan kehakiman.  MA dan lembaga peradilan 
yang berada di bawahnya tampaknya masih sangat tertutup dalam memberikan akses 
informasi terutama yang terkait dengan putusan-putusan yang dihasilkan. Hal ini 
jelas bertentangan dengan asas-asas penyelenggaraan peradilan, salah satunya 
peradilan terbuka untuk umum. Hakim memang memiliki kemerdekaan dan putusan 
adalah mahkota hakim, sehingga tidak boleh ada seorangpun yang mencampuri 
kemerdekaan hakim dalam membuat putusan. Akan tetapi dengan asas peradilan 
terbuka untuk umum, maka semua putusan yang dihasilkan dan salinan putusannya 
menjadi dokumen milik publik yang dapat diakses oleh siapa saja. Oleh karena 
itu sangat mengherankan jika untuk mendapatkan putusan hakim dari kepaniteraan 
pengadilan kita harus mengeluarkan biaya sebagaimana yang terjadi selama ini.
Publisitas hukum dalam keragaman
 Lantas bagaimana dengan pemerintah sendiri? Sebagai lembaga eksekutif yang 
memiliki kewenangan untuk melakukan pengundangan peraturan perundang-undangan, 
pemerintah memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam memperluas 
aksesibilitas masyarakat dalam memperoleh informasi hukum. Tentu kewajiban 
pemerintah bukan sekedar menempatkan undang-undang dalam Lembaran Negara 
kemudian mempublikasikannya melalui pemanfaatan teknologi informasi atau dengan 
mencetak dan membagikannya kepada khalayak. Keragaman sosial, ekonomi dan 
budaya masyarakat menjadi tantangan besar dalam meningkatkan aksesibilitas 
masyarakat untuk memperoleh informasi hukum.
 Pemanfaatan teknologi informasi saja tidak akan cukup menjawab tuntutan 
publisitas hukum kepada masyarakat yang memiliki keberagaman. Hal ini terkait 
dengan perbedaan kultur dan tingkat pengetahuan antara kelompok masyarakat. 
Memberikan informasi hukum kepada masyarakat dengan latar belakang budaya yang 
berbeda membutuhkan pendekatan yang berbeda pula. Apalagi tidak semua orang 
mampu mengerti bahasa hukum yang terkadang rumit terlebih masih ada kelompok 
masyarakat yang tidak mampu membaca huruf latin sehingga memanfaatkan teknologi 
informasi untuk meningkatkan publisitas hukum tidak akan menjawab persoalan. 
Sementara memberikan informasi hukum merupakan kewajiban negara agar tidak 
terjadi kondisi ketidakseimbangan informasi (asymmetric information) yang kerap 
mendera masyarakat yang membutuhkan layanan hukum dari negara. Kondisi 
ketidakseimbangan informasi merupakan lahan yang subur bagi penyalahgunaan 
wewenang dan penyimpangan-penyimpangan, baik itu
 oleh aparatur negara maupun  oleh kelompok masyarakat lainnya.
 Langkah yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi lagi-lagi patut dijadikan 
contoh. Agar masyarakat lebih mengerti isi konstitusi kepada masyarakat, MK 
menerjemahkan UUD 1945 kedalam beberapa bahasa daerah, bahasa tionghoa dan 
bahasa arab pegon (arab melayu atau arab gundul). Hal ini tentu memudahkan 
masyarakat dari berbagai latar belakang budaya untuk memahami isi konstitusi 
dan dengan sendirinya meningkatkan kesadaran berkewarganegaraan (civic 
consciousness) termasuk akan hak-hak dan kewajiban yang dimilikinya sebagai 
warga negara. 
 Penerapan asas publisitas dalam hukum tentu bukan sebatas aspek formal belaka 
berupa metode penyebarluasan informasi hukum kepada masyarakat. Secara 
substansial publisitas hukum adalah penunjang agar hukum memiliki keberlakuan 
sosiologis di masyarakat yang terwujud dari kesediaan  masyarakat untuk 
mematuhi peraturan yang dibuat oleh lembaga yang berwenang. Keberluakuan 
sosiologi akan semakin mudah didapatkan jika substansi peraturan yang dibuat 
mengedepankan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat. Terlebih 
bila penyebarluasannya dilakukan dengan memperhatikan latar belakang budaya 
masyarakat yang beragam.
Pada akhirnya publisitas hukum akan menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan 
informasi hukum agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan oleh pihak lain 
sehingga keadilan sebagai salah satu tujuan hukum dapat terwujud. Seperti kata 
Jeremy Bentham, seorang cendekiawan ilmu hukum: “Melalui publisitas ini sajalah 
keadilan menjadi ibu dari rasa aman.” 




      
___________________________________________________________________________
Yahoo! sekarang memiliki alamat Email baru.
Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan di domain baru @ymail dan @rocketmail. 
Cepat sebelum diambil orang lain!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/id/

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke