Krisis Keuangan Global & Dilema Kredit Konsumtif Indonesia
 
Krisis keuangan global telah memusingkan banyak pihak belakangan ini. Salah 
satu akar  permasalahan bersumber dari krisis keuangan yang melanda Amerika dan 
berkaitan dengan industri “subprime mortgage” (KPR Subprima). Diawali pada 
akhir tahun 2006, industri KPR subprima di Amerika memasuki suatu masa yang 
disebut "masa kehancuran KPR subprima". Tingginya angka penyitaan jaminan KPR 
subprima ini telah menyebabkan perusahaan-perusahaan pemberi pinjaman KPR 
subprima mengalami kepailitan. Kehancuran dari perusahaan-perusahaan KPR 
subprima telah mengakibatkan harga pasar saham berbasis real estate investment 
trust jatuh dan membawa pengaruh meluas terhadap bursa saham Amerika serta 
ekonomi secara keseluruhan. 
 
Krisis ini berlanjut terus dan telah mendapatkan perhatian serius dari media 
massa di Amerika serta pembuat undang-undang pada awal tahun 2007. Akan tetapi, 
permasalahan yang terjadi di Amerika tersebut sebelum krisis keuangan tersebut 
meledak saat ini, tampaknya tidak menjadi sebuah pelajaran berharga bagi 
praktisi keuangan di Indonesia. Pada tahun 2007 hingga pertengahan 2008, 
perbankan Indonesia tetap mengenjot kredit konsumtif untuk memenuhi target 
pemberian kredit kepada masyarakat. 
 
Lebih lanjut, apabila kita perhatikan dengan seksama, komposisi kredit 
perbankan pada dua dekade belakangan ini, mengalami perubahan signifikan. Pada 
dekade sebelum 1990-an, komposisi kredit perbankan sebagian besar diperuntukkan 
bagi pembiayaan sektor produktif, baik itu sektor pertanian, sektor industri, 
sektor perdagangan, serta sektor produktif lainnya. Dengan demikian yang 
menjadi debitur perbankan, saat itu, kebanyakan adalah petani, pengusaha, 
ataupun pedagang. Namun seiring perubahan gaya perekonomian, porsi mereka dalam 
mendapatkan pembiayaan dari bank semakin berkurang dari hari ke hari. Di lain 
sisi, satu profesi, yaitu pekerja yang sebelumnya sangat jarang menjadi debitur 
perbankan, saat ini merupakan sasaran penyaluran kredit bank-bank dalam 
pembiayaan yang bersifat konsumtif.
 
Dari catatan perbankan nasional Indonesia per Agutus 2008, terlihat bahwa Rp 
346 trilyun dari Rp 1.206 trilyun atau 29% outstanding kredit perbankan di 
Indonesia merupakan kredit konsumtif langsung kepada nasabah perbankan. Di 
samping itu, terdapat pula 11% (Rp 137T) merupakan kredit yang diberikan kepada 
sektor jasa dunia usaha, yang isinya sebagian besar merupakan kredit kepada 
multi finance, koperasi simpan pinjam dan institusi lainnya yang meneruskan 
pembiayaan konsumtif kepada “customer” nya. Dengan demikan, sebenarnya, 40% 
dari outstanding kredit yang diberikan perbankan Indonesia disalurkan kepada 
sektor konsumtif yang hampir seluruhnya, dinikmati oleh kaum pekerja. Jika 
dibandingkan dengan profesi pedagang, profesi pekerja sangat besar mendapatkan 
fasilitas kredit dari bank. Pemberian kredit kepada sektor perdagangan 
(termasuk hotel & restoran) “hanya” sebesar 20,65%  (Rp249T) dari total 
outstanding kredit perbankan Indonesia. Sektor
 pertanian mendapatkan jauh lebih kecil lagi, yaitu “hanya” 5,1% (Rp62T). 
Sektor industri, yang seharusnya menjadi penopang PDB di era ekonomi modern 
saat ini, “hanya” mendapatkan 20% (Rp241T) saja dari total outstanding kredit. 
Pertumbuhan kredit konsumtif sepanjang tahun 2008 (hingga akhir Agustus) 22,48% 
atau lebih tinggi dari pertumbuhan total kredit  (20%).
 
Berdasarkan data di atas, dapat kita lihat, bahwa sektor konsumtif masih 
menjadi pendorong pertumbuhan kredit perbankan saat ini. Selain itu dapat pula 
kita lihat, bahwa pada saat ini, jauh lebih banyak profesi pekerja (pegawai) 
yang menjadi debitur perbankan dibandingkan profesi pedagang ataupun pengusaha 
apalagi jika dibandingkan dengan profesi petani. Hal serupa juga terjadi di 
Amerika, sebagaimana yang disampaikan Joseph E. Stiglitz dalam bukunya The 
Roaring Nineties: A New History of the World’s Most Prosperous Decade (2003), 
bahwa kini, rata-rata orang Amerika yang berhutang bukan petani, melainkan 
orang-orang yang menjadi pegawai.   
 
Seringkali kita dengar, dari para pelaku perbankan, bahwa pinjaman konsumtif 
merupakan pendorong pertumbuhan kredit perbankan yang aman. Mereka membuktikan 
dari kecilnya angka NPL (Non Performing Loan) sektor ini, pada tahun 2005 hanya 
2,26% saja. Namun keyakinan itu agak menurun karena mulai naiknya NPL sektor 
konsumtif menjadi 2,78% per Agustus 2008. Di samping itu, secara absolute 
terjadi peningkatan kredit bermasalah pada sektor konsumsi, yakni dari Rp72T 
pada tahun 2005 menjadi Rp115T pada akhir Agustus 2008. 
 
Apakah keyakinan para pelaku perbankan terhadap kredit konsumtif yang 
menjanjikan benar adanya, dapat kita resapi dari bahasan Stiglitz pada bukunya 
di atas, meskipun ia tidak secara khusus membahas permasalahan tersebut.
 
Seorang pekerja dalam sebuah roda perekonomian sangat tergantung dengan sebuah 
produktivitas. Ketika perekonomian sedang menggunakan sumber dayanya secara 
maksimal, peningkatan produktivitas memungkinkan naiknya PDB, upah, dan 
memperbaiki standar hidup. Sebaliknya, ketika perekonomian mengalami resesi, 
semuanya akan berbalik arah dengan turunnya PDB, upah, serta memburuknya 
kualitas hidup masyarakat, termasuk profesi pekerja. Apabila resesi yang 
terjadi karena permintaan yang terbatas, misalnya output  hanya naik 1 persen 
sedangkan kapasitas produksi 3 persen lebih output, maka pekerja yang 
diperlukan menjadi lebih sedikit, sehingga akan berdampak kepada peningkatan 
pengangguran.
 
Peningkatan laju pertumbuhan produktivitas, dalam jangka pendek, bisa jadi 
menghasilkan tingkat output yang lebih rendah. Akan tetapi, angka pengangguran 
yang tinggi akan menjadi penyebab penekan upah pekerja. Situasi dunia kerja 
menjadi tidak menentu yang akan berakibat tertekannya konsumsi, atau paling 
tidak laju pertumbuhan konsumsi akan menurun. Namun, karena kapasitas produksi 
berlebih, kenaikan laba yang disebabkan oleh penurunan upah dan penurunan suku 
bunga, tidak otomatis mendorong peningkatan investasi. Akibat pertumbuhan 
konsumsi yang menurun atau melambat, maka output secara keseluruhan akan 
berkurang. Akhirnya semakin sedikit pekerja yang dibutuhkan.
 
Era “Ekonomi Baru” setelah tahun 1990 yang sangat menekankan teknologi tinggi 
dan kemudahan komunikasi informasi, turut mengubah pola perusahaan dalam 
mempertahankan pekerjanya. Dahulu, perusahaan akan mempertahankan para 
pekerjanya di tengah resesi, walaupun mereka tidak terlalu diperlukan. 
Sekarang, seiring berkembangnya era ekonomi baru, berkembang pula budaya yang 
menitikberatkan pada bottom line yang mengandung arti bahwa laba hari ini bukan 
laba jangka panjang, sehingga ketika menghadapi masalah maka perusahaan perlu 
mengambil tindakan cepat dan menentukan. Mempertahankan pekerja pada saat 
perusahaan bermasalah, saat ini, dipandang sebagian pihak sebagai tindakan 
lemah hati dan rendah pikiran. Lebih jauh lagi, telah muncul idiom baru yang 
berbunyi “pecat pegawai anda begitu tidak dibutuhkan lagi, karena mereka selalu 
bisa dikontrak (outsourcing) lagi nanti saat diperlukan”.
 
Munculnya era ekonomi baru beserta budaya baru yang ditimbulkannya, akan sangat 
berpengaruh terhadap pinjaman konsumtif yang diberikan bank kepada nasabahnya, 
yang hampir seluruhnya, merupakan pekerja. Kerentanan kondisi pekerja yang ada 
saat ini akan membuat pekerja mudah sekali kehilangan pekerjaannya. Pada saat 
seseorang kehilangan pekerjaan, hal utama yang akan dipenuhi adalah kebutuhan 
pokok mereka dalam mempertahankan kehidupannya. Dari sisi psikologi, pada saat 
seseorang mempunyai sumber daya yang terbatas, maka pemenuhan kewajiban 
(hutang) akan menjadi urutan pemenuhan yang terakhir. Dengan demikian, risiko 
yang akan ditanggung oleh sebuah bank yang mempunyai portfolio pembiayaan 
konsumtif yang besar turut menjadi besar setiap siklus resesi terjadi pada roda 
perekonomian.
 
Permasalahan penting lainnya yang membayangi portfolio pinjaman konsumtif yang 
besar adalah terjadinya kondisi suku bunga tinggi. Menurut Stiliglitz, suku 
bunga tinggi sangat tidak baik bagi para pekerja (pegawai upahan), dan mereka 
akan rugi pada tiga hitungan, yaitu:

Tingginya suku bunga dapat menimbulkan naiknya angka pengangguran;
Tingginya pengangguran meletakkan tekanan terhadap besaran upah;
Akibat hutang yang dimiliki pekerja, suku bunga tinggi membuat makin 
berkurangnya kemampuan mereka mengeluarkan uang untuk kebutuhan lainnya.
 
Bila dikaji lebih lanjut, sistem bunga pada sebuah pembiayaan mempunyai 
pengaruh yang tidak baik bukan saja pada saat suku bunga tinggi, melainkan juga 
pada saat suku bunga rendah. Menurut Umer Chapra (1985), sistem bunga akan 
merugikan penghimpunan modal, baik suku bunga tersebut tinggi maupun rendah. 
Suku bunga yang tinggi akan “menghukum” pengusaha sehingga akan:
-         menghambat investasi dan formasi modal;
-         menimbulkan penurunan dalam produktivitas dan kesempatan kerja;
-         menyebabkan laju pertumbuhan yang rendah. 
Suku bunga yang rendah akan “menghukum” para penabung yang akan:
-         menimbulkan ketidakmerataan pendapatan dan kekayaan;
-         mengurangi rasio tabungan kotor;
-         merangsang pengeluaran konsumtif yang menimbulkan tekanan inflasioner;
-         mendorong investasi yang tidak produktif dan spekulatif;
-         menciptakan kelangkaan modal dan menurunnya kualitas investasi.
 
Bagi seorang pekerja yang sangat tergantung kepada perusahaan pada era ekonomi 
baru dengan budaya perusahaan yang berbeda dengan masa lalu, kondisi suku bunga 
yang tinggi maupun rendah mempunyai dampak yang signifikan dalam pemanfaatan 
dana yang mereka peroleh maupun miliki dari hasil pekerjaan mereka.
 
Dari paparan singkat di atas, dapat disimpulkan, pendapat sebagian pihak yang 
menyatakan bahwa pembiayaan konsumtif merupakan portfolio yang menguntungkan 
dan aman pada saat ini, sebenarnya kurang tepat. Sebaliknya, pelaku perbankan 
seharusnya sadar bahwa terlalu besar mengelolah portfolio kredit konsumtif 
merupakan sebuah “api dalam sekam”, yang tiba-tiba akan dapat menghabiskan 
semua yang ada pada saat yang tidak dapat diduga sebelumnya, dan dapat saja 
menjadi sebuah “dilemma” masa depan. Fenomena “subprime mortgage” di Amerika 
sebelum menghamtan menjadi krisis global saat ini, ternyata tidak cukup 
menggugah para pelaku keuangan di Indonesia dengan tetap mengenjot kredit 
konsumtif dalam portfolio mereka. Semoga apa yang terjadi di Amerika dengan 
“subprime mortgage” tidak terjadi pada portfolio pembiayaan konsumtif perbankan 
Indonesia. Wallahualam bish showab.
 
 
Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)
 
 

Mohon partisipasi Bapak/Ibu untuk mengisi Polling Pemanfaatan Bank Syariah 
Silahkan klik 
http://asia.groups.yahoo.com/group/ekonomi-islami/surveys?id=2366675 
Semoga partispasi Bapak/Ibu bermanfaat dalam kajian sosial ekonomi islami di 
Indonesia


      

[Non-text portions of this message have been removed]


------------------------------------

Ingin bergabung ke milis ekonomi-nasional?
Kirim email ke [EMAIL PROTECTED]
http://capresindonesia.wordpress.com
http://infoindonesia.wordpress.comYahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke