http://tempo.co.id/hg/kolom/2008/11/13/kol,20081113-42,id.html
Bretton Woods Kedua

Kamis, 13 November 2008 | 15:04 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Dunia saat ini sedang
mengalami slowdown global yang parah, mungkin paling
buruk selama seperempat abad, mungkin juga sejak
Depresi Besar 1929. Krisis ini adalah krisis "made in
America" dalam banyak arti.

Amerika telah mengekspor bentuk hipotek yang sangat
merusak ke seluruh dunia berupa surat berharga yang
didukung aset itu. Amerika mengekspor falsafah
deregulasi pasar bebasnya, yang sekarang diakui
sendiri oleh pendeta agungnya, Alan Greenspan, sebagai
kekeliruan. Amerika mengekspor budaya corporate
irresponsibility--opsi saham yang non-transparan,
mendorong pembukuan yang buruk yang berperan dalam
membawa bencana ini, sama seperti yang dilakukannya
dalam skandal Enron dan Worldcom beberapa tahun yang
lalu. Dan, akhirnya, Amerika telah mengekspor downturn
ekonomi yang kini melanda dunia.

Pemerintah Bush akhirnya menyerah dan melakukan apa
yang dianjurkan setiap ekonom agar dilakukannya, yaitu
mengucurkan equity dalam jumlah yang lebih besar ke
dalam perbankan. Tapi, seperti selalu terjadi,
penyakitnya itu adalah dalam pelaksanaan kebijakan,
dan Menteri Keuangan Amerika Serikat Henry Paulson
mungkin sudah berhasil mensubversi bahkan ide yang
bagus itu; ia tampaknya paham benar bagaimana
merekapitalisasi perbankan sedemikian rupa sehingga
tidak boleh mengakibatkan maraknya kembali pinjaman,
sebuah langkah yang bakal berakibat buruk bagi ekonomi
Amerika.

Yang paling penting, persyaratan yang terpaksa
diterima Paulson bagi modal yang dikucurkannya kepada
bank-bank di Amerika ternyata jauh lebih buruk
daripada yang diterima Perdana Menteri Inggris Gordon
Brown (untuk tidak menyebut persyaratan yang diterima
Warren Buffett bagi modal yang jauh lebih kecil
jumlahnya yang dikucurkannya kepada bank investasi
paling sehat di Amerika, Goldman Sachs). Harga saham
menunjukkan bahwa investor yakin mereka telah
memperoleh good deal yang benar-benar menguntungkan.

Sebaliknya, yang memprihatinkan adalah bad deal yang
diperoleh para pembayar pajak di Amerika berupa utang
nasional yang sudah menggelembung di depan mata.
Bahkan, sebelum terjadinya krisis keuangan ini, utang
nasional Amerika sudah dijadwalkan meningkat dari US$
5,7 triliun pada 2001 menjadi lebih dari US$ 9 triliun
tahun ini. Defisit tahun ini bakal mendekati setengah
triliun dolar; defisit tahun depan bahkan bakal lebih
besar lagi, sementara downturn ekonomi makin tajam.

Amerika membutuhkan paket stimulus yang besar. Tapi
kaum konservatif fiskal di Wall Street (ya,
orang-orang yang sama yang menyeret kita ke dalam
downturn ini) sekarang menyerukan moderasi defisit
(yang mengingatkan kita akan Andrew Mellon di masa
Depresi Besar).

Sekarang krisis sudah menyebar, seperti diramalkan, ke
pasar-pasar yang baru muncul dan di negara-negara yang
belum berkembang. Anehnya, Amerika, dengan segala
permasalahan yang dihadapinya, tetap dipandang sebagai
negara paling aman untuk berinvestasi. Tidak
mengherankan, saya kira. Sebab, bagaimanapun, jaminan
yang diberikan pemerintah AS memiliki kredibilitas
yang lebih tinggi daripada jaminan yang diberikan
negara dunia ketiga.

Sementara Amerika menyerap tabungan dari luar yang
mengalir untuk mengatasi masalah yang dihadapinya,
sementara premi risiko melambung, sementara
pendapatan, perdagangan, dan harga komoditas global
menurun, negara-negara berkembang bakal menghadapi
masa-masa yang sulit. Beberapa di antaranya adalah
negara-negara yang mengalami defisit perdagangan yang
besar sebelum dilanda krisis, negara-negara yang
mempunyai utang nasional yang besar yang harus
di-roll-over, dan negara-negara yang mempunyai
hubungan dekat dengan AS; mereka mungkin akan
menderita lebih parah ketimbang negara-negara lainnya.
Negara-negara yang tidak sepenuhnya meliberalisasi
pasar modal dan keuangannya, seperti Cina, bakal
bersyukur karena mereka tidak mengikuti anjuran
Paulson untuk berbuat demikian.

Banyak yang sudah berpaling meminta bantuan Dana
Moneter Internasional. Yang merisaukan adalah,
setidak-tidaknya dalam beberapa kasus, IMF bakal
kembali lagi ke resep lamanya yang sudah terbukti
gagal itu: kontraksi fiskal dan moneter, yang hanya
bakal meningkatkan ketidaksetaraan global. Sementara
negara-negara maju berupaya menstabilkan kebijakan
countercyclical mereka, negara-negara berkembang bakal
terpaksa menjalankan kebijakan yang membuat makin
tidak stabilnya keadaan dan larinya modal justru pada
saat mereka paling membutuhkannya

Sepuluh tahun yang lalu, saat terjadinya krisis
keuangan di Asia, banyak dibicarakan perlunya
mereformasi arsitektur keuangan global. Sekarang
ternyata sedikit sekali--terlalu sedikit--yang telah
dilakukan. Pada waktu itu banyak yang mengira bahwa
seruan yang muluk-muluk itu cuma upaya yang disengaja
untuk menjegal reformasi yang sesungguhnya:
negara-negara yang tidak terkena imbas krisis di bawah
sistem yang lama tahu bahwa krisis itu akan berlalu,
dan bersamanya, berlalu pula tuntutan dilakukannya
reformasi. Kita tidak boleh membiarkan itu terjadi
lagi.

Kita mungkin berada pada momen lahirnya "Bretton
Woods" yang kedua. Lembaga-lembaga yang lama sudah
mengakui perlunya reformasi, tapi lembaga-lembaga itu
bergerak bagaikan di atas es. Mereka tidak berbuat
apa-apa untuk mencegah terjadinya krisis sekarang ini
dan ada kekhawatiran mengenai efektivitas
lembaga-lembaga ini dalam merespons krisis yang sudah
melanda dunia saat ini.

Perlu waktu 15 tahun dan perang dunia bagi kita untuk
bersama-sama mengatasi kelemahan sistem keuangan
global yang dahulu menyebabkan terjadinya Depresi
Besar. Semoga kali ini ia tidak akan memakan waktu
yang sama lamanya: sebab, mengingat tingkat saling
ketergantungan global, harga yang harus kita bayar
jelas terlalu mahal.

Tapi, sementara AS dan Inggris dahulu mendominasi
Bretton Woods, lanskap global sekarang sudah berubah.
Begitu juga, lembaga-lembaga Bretton Woods itu dahulu
dipandu oleh doktrin-doktrin ekonomi yang sekarang
sudah terbukti gagal tak hanya di negara-negara
berkembang, tapi juga bahkan di negara jantungnya
kapitalisme sendiri. Konferensi puncak global yang
akan datang ini harus mampu menghadapi realitas baru
ini jika ia ingin bergerak secara efektif ke arah
terciptanya sistem global yang lebih stabil dan lebih
adil. *

Joseph E. Stiglitz, guru besar ekonomi pada Columbia
University, peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2001 

===
Paket Umrah 2009 Mulai Rp 16,9 juta
Informasi selengkapnya ada di:
http://www.media-islam.or.id

Syiar Islam. Ayo belajar Islam melalui SMS

Untuk berlangganan ketik: REG SI ke 3252

Untuk berhenti: UNREG SI kirim ke 3252. hanya dari Telkomsel 
Informasi selengkapnya ada di http://syiarislam.wordpress.com


      
___________________________________________________________________________
Dapatkan alamat Email baru Anda!
Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan sebelum diambil orang lain!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/id/

Reply via email to