http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=12193:kuburan-parpol-telah-menunggu-&catid=78:umum&Itemid=139


Kuburan Parpol Telah Menunggu

Oleh : Bersihar Lubis



Mengerikan. Sebuah “kuburan massal” akan menganga bagi 29 partai
politik (parpol), jika hanya 9 parpol peserta Pemilu 2009 yang lolos
ke DPR RI di Senayan.

Begitulah, ancaman yang disodorkan oleh regulasi parliament threshold,
yakni hanya parpol peraih kursi 2,5% saja yang berhak duduk di kursi
DPR.

Fenomena itu menakutkan. Mengapa orang ramai-ramai mendirikan parpol,
jika lalu (sebagian) menggali kuburnya sendiri? “Maut” memang penting
karena mengingatkan betapa berharganya “hidup” seperti kerap
disuarakan oleh kaum eksistensialis, macam Sartre dan Albert Camus.

Beberapa zaman telah berkisah tentang berdirinya organisasi politik
(orpol), tapi kemudian “mati” disebabkan tindakan represif rezim
berkuasa, dan inilah mungkin boleh disebut dengan “pembunuhan”
vertikal. Gejala ini terjadi di zaman kolonial Belanda, diteruskan
oleh Orde Lama dan Orde Baru.

Sejarah parpol di negeri telah menyaksikan drama pembubaran Masyumi,
PSI, PKI dan beberapa orpol di masa pergerakan sebelum kemedekaan
1945.

Namun akan “terkuburnya” parpol paska Pemilu 2009 menjadi menarik
justru terjadi karena “penghukuman”-nya dilakukan oleh masyarakat
pencontreng, dan inilah tindakan horisontal.

Akibat yang tragis itu tak bisa dilepaskan dari penyebabnya secara
struktural, dan dengan demikian mendorong kajian ulang, mengapa orang
ramai-ramai mendirikan parpol bagaikan jamur berkembang di musim
hujan?

Kaum Intelektual

Syahdan, Ratu Belanda berpidato tentang dimulainya era baru dalam
sejarah Hindia Belanda pada 1901. Kerajaan bermurah hati memikul
kewajiban memajukan penduduk pribumi.

Kita ingat politik hutang budi, yang menghasilkan kaum intelektual
Indonesia setelah diperbolehkan menikmati pendidikan di Hindia
Belanda, dan bahkan ke Eropa, seperti dialami Bung Hatta dan Bung
Sjahrir.

Hati kita menangis jika mengenang anak bangsa dijajah sejak masa VOC
pada abad ke 16 hingga ke masa Tanaman Paksa yang berlumuran darah,
airmata dan jiwa. Lepas apakah “hutang budi” sudah tunai atau tidak,
tetapi politik etis itu telah menjadi bumerang bagi kaum kolonial.

Boedi Utomo, SI, Muhammadiyah, Indische Partij dan lainnya berdiri di
awal abad 20. Kaum elit pribumi bergerak menggugat kemerdekaan. Demam
mendirikan orpol beranak pinak, yang disusul berdirinya PNI, PKI,
Partindo, termasuk suratkabar yang menggelorakan Indonesia merdeka.
Sang kolonial resah dan mulai melakukan represi. Ada yang kemudian
ditangkap, diadili dan dibuang ke Pulau Buru.

Telanjur sudah. Bahkan Volksraad (Dewan Rakyat) pun dibentuk pada
1918, walau mulanya tidak demokratis, tetapi kaum pribumi duduk di
dalamnya bersama anak bangsa Belanda dan Tionghoa.
Sejarah mencatat, lahirlah Petisi Soetardjo pada 1936 yang menghendaki
kemerdekaan Indonesia dalam batas UUD Belanda, meski ditolak Menteri
Kolonial Belanda pada 1938. Belakangan muncul pula Masyumi, PSI dan
sebagainya.

Jika boleh dirumuskan, lokomotif pergerakan politik masa itu adalah
kaum intelektual yang berpendidikan modern, yang terbuka matanya
betapa menderitanya kita menjadi bangsa terjajah. Musuh bersama, kala
itu adalah kolonialisme.

Multi Partai

Demam mendirikan orpol juga bangkit setelah Indonesia merdeka melalui
Maklumat Wakil Presiden, yang dalam prosesnya berjumlah seratus lebih
menjelang Pemilu 1955. Pendirinya masih kaum intelektual generasi
kedua setelah generasi pertama yang bangkit di awal abad ke 20.
Tujuannya, mengisi kemerdekaan 1945.

Namun setelah penyerahan kedaulatan 1949-1950, musuh bersama sudah
pergi. Era perebutan kekuasaan pun bermula. Bung Karno sempat
menyalahkan Bung Hatta sebagai akibat dari Maklumat Wapres tersebut.
Bung Hatta menjawab, bukan partainya yang salah melainkan para elit
politiknya yang berkejar-kejaran semata demi kekuasaan.

Tak heran jika kabinet jatuh bangun. Korupsi mulai merasuki elit
parpol yang masuk ke struktur kekuasaan.

Dekrit Presiden pada 1959, yang membubarkan Konstituante (MPR) dan
disusul pembubaran Partai Masyumi dan PSI, mengulangi represi ala
kolonial tak menyelesaikan soal, dan belakangan tampillah Orde Baru
yang mengoreksi Orde Lama era Soekarno.

Tapi Orde Baru yang semula penuh harapan kembali mengulangi represi
kolonial. Partai dibonsai menjadi tiga, Golkar, PPP dan PDI.
Konsentrasi kekuasaan di bidang politik, disusul di bidang ekonomi,
kemudian hancur berkeping-keping pada reformasi 1998 lalu.

Tak pelak, fenomena sistem multipartai pun berulang seperti di awal
republik ketika berusia balita. Sejak Pemilu 1999, 2004 dan 2009,
jumlah kontestan menjadi 38 parpol.

Apa gerangan motifasi para aktor politik mendirikan parpol di musim
reformasi ini? Apakah sudah bergeser dari sejarah berdirinya orpol
pada 1908 dan 1920-an yang masih mempunyai public enemy (musuh
bersama)? Apakah mirip berdirinya orpol setelah Maklumat Wapres pada
1945 lalu? Yakni, kekuasaan dan kekuasaan?

Kekuasaan

Mengutip Bung Karno, revolusi sudah selesai. Sebutlah misalnya
demokratisasi di bidang ekonomi, karena di bidang politik relatif
sudah lumayan.

Perekonomian masih tergantung kepada asing. Bahkan antara pelaku
ekonomi kelas menengah ke atas, BUMN, koperasi dan UKM belum
terkondisikan dalam suatu iklim demokratisasi ekonomi. Publik mungkin
tidak merasakannya karena sudah terbiasa dengan gaya Orde Baru selama
empat dasawarsa yang panjang.

Jurang kaya miskin antarindividu dan antarpelaku ekonomi dianggap soal
biasa, hanya soal nasib. Bukan karena system yang belum melaksanakan
demokratisasi ekonomi. Inilah, musuh bersama, yang ironisnya tak
dilihat banyak aktor parpol.

Misalkan, orpol berkesadaran tinggi akan demokratisasi ekonomi muncul
pada 1999, waktu 10 tahun sudah memadai jika dibarengi dengan
pendidikan politik, baik kader dan massa, seperti ditempuh oleh
generasi Bung Karno dan Bung Hatta. Sekaligus membedakannya dengan
orpol ala Orde Baru.

Kita semestinya merasa “terjajah” oleh sistem perekonomian ala Orde
Baru, seperti merasa terjajah oleh sang kolonial di masa silam.
Inilah, semestinya “lagu” parpol zaman ini. Bukannya, malah ikut
“menikmati” dan akan benar-benar ”menikmati” jika tiba masanya
benar-benar berkuasa pula.

Sayangnya, masyarakat pun terninabobokan oleh mayoritas orpol, yang
tak beda dengan ala Orde Baru, sehingga mau tak mau orientasinya hanya
kekuasaan belaka. Masyarakat pun berpikiran pragmatis mengikuti arus
parpol, sehingga parpol yang paling banyak menghabiskan biaya dalam
kampanyenya pun terkonfigurasi dalam the Big Five atau the Big Ten
Pemilu 2009.

Tema Zaman

Toh, polarisasi mulai terjadi. Golkar dan PDIP “disalib” oleh
Demokrat, meskipun fenomena ini perlu diuji. Apakah karena Demokrat
partai incumbent, kekecewaan kepada PDIP dan Golkar, pragmatisme
rakyat, atau apa gerangan?

Terus terang konsolidasi dan kaderisasi Demokrat tidaklah luar biasa.
Diakui keunggulan Demokrat adalah figur SBY, tapi kok melonjak dari
7,45% menjadi 20-an%? Jangan-jangan degradasi Golkar dan PDIP bisa
menimpa Demokrat pada Pemilu 2014.

PKS lain pula. Parpol dengan kader dan massa solid ini tak
mengandalkan figur tapi bisa meninggalkan PAN, PKB dan PPP. Adapun
Hanura dan Gerindra boleh jadi karena figurnya yang mantan jenderal
membuat mobilisasinya lebih rapi sehingga muncul di the Big Ten.

Gerinda memang mencoba melambungkan demokratisasi perekonomian, namun
baru sebatas jargon, dan belum merasuk ke massa, termasuk ke
masyarakat pencontreng yang sudah terbiasa dengan pragmatisme Orde
Baru.

Tampaknya, bangsa ini perlu 10 tahun lagi menunggu parpol yang
menyahuti tema zaman, sehingga zaman pun mengelu-elukannya dengan
antusiasme. Saat itu, parpol gaya lama akan “terkubur” digantikan yang
berorientasi demokratisasi ekonomi. Tengok, monopoli elit kapitalisme
dan liberalisme pun sudah terkubur di Amerika Serikat. ***

-- 
**********************************
Memberitakan Informasi terupdate untuk Rekan Milist dari sumber terpercaya
http://reportermilist.multiply.com/
************************************


------------------------------------

Ingin bergabung ke milis ekonomi-nasional?
Kirim email ke ekonomi-nasional-subscr...@yahoogroups.com
http://capresindonesia.wordpress.com
http://infoindonesia.wordpress.comYahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:ekonomi-nasional-dig...@yahoogroups.com 
    mailto:ekonomi-nasional-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    ekonomi-nasional-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Reply via email to