gudang (link-link) artikel
tentang Jerat Neoliberalisme (Penjajahan Baru) dan Wacana Tandingnya

 

Silah kunjung  untuk link-link serial  bacaan kritis ini

http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/search/label/lawan-neoliberalisme

 

(Don Marut, Bonnie Setiawan, Puthut
EA, I Gusti Agung Ayu Ratih, R. Herlambang Perdana Wiratraman,  Eric Hiariej)

 

serial paper sebelumnya

Kompilasi paper
Neoliberalisme : Pengertian, Asal Usul dan Perkembangnya di Indonesia (Revrisond
Baswir, Herry B Priyono, Kwik Kian Gie, Yanuar Nugroho, Fahmy Radhy, Sri Edi
Swasono, James Petras dan Film Dokumenter John Pilger  The New Rulers of The 
World - subtitle bahasa
indonesia)   

 

salam pembebasan

andreas iswinarto

pengumpul bacaan kritis

 

NB

- mohon bantuannya untuk
menyebarluaskan informasi ini.

- serial ini akan terus
dimutakhirkan hingga 3 bulan ke depan

 

Neoliberalisme
dan Kapitalisme Bencana 

 

Kapitalisme bencana
menjadi ekonomi baru dewasa ini. Bencana bisa dalam berbagai bentuk:
persenjataan yang menghancurkan pusat tenaga listrik dan rumah sakit, alam yang
menghancurkan infrastruktur, badai yang menyapu bersih kota dan desa, konflik
ideologis, tsunami, gempa, Lumpur lapindo, dan sebagainya. Naomi Klein 
mengatakan
bahwa “dewasa ini ketidakstabilan global tidak hanya menguntungkan pedagang
senjata; juga membawa keuntungan yang luar biasa besarnya bagi sector keamanan
yang menggunakan high technology, perusahaan konstruksi besar, perusahaan rumah
sakit swasta, perusahaan minyak dan gas, perusahaan produksi pangan, dan tentu
saja para kontraktor industri pertahanan.



Rekonstruksi bencana alam dan bencana perang atau konflik dewasa ini menjadi
bisnis yang sangat besar dan sangat menguntungkan. Perusahaan-perusahaan besar
merasa gembira jika ada bencana (perang atau bencana alam), dan jika tidak ada
bencana mereka akan memicu terjadinya bencana. Untuk rekonstruksi Iraq, dana
yang digelontorkan sebesar $ 30 milyard, untuk rekonstruksi tsunami di Asia
sebesar $ 13 milyar, dan untuk New
  Orleans dan Gulf Coast
sebesar $ 110 milyar.



Pendapatan perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam rekonstruksi cukup untuk
memicu boom ekonomi. Perusahaan-perusahaan gas dan minyak sangat dekat dengan
ekonomi bencana, baik sebagai penyebab utama bencana maupun sebagai penerima
manfaat utama dari bencana tersebut. Saking besarnya pengaruh perusahaan minyak
dan gas dan besarnya keuntungan yang diperoleh dari bencana, Naomi Klein
menyebut perusahaan-perusahaan minyak dan gas ini sebagai “honorary adjunct of
the disaster-capitalism complex”.



Dipetik dari artikel Don Marut KAPITALISME BENCANA DAN BENCANA KAPITALISME di
tikarpandan.org





Neoliberal
dan Kejahatan Multinasional 

 

Untuk memahami Globalisasi
dan mekanisme dunia sekarang, orang perlu memahami Neo-Liberalisme. Inilah
ideologi mutakhir kapitalisme yang saat ini sedang jaya-jayanya, terutama
slogan TINA (There is No Alternatives) dari mulut Margaret Thatcher. Semenjak
1970-an hingga kini, Neo-Liberalisme mulai menanjak naik menjadi kebijakan dan
praktek negara-negara kapitalis maju, dan didukung oleh pilar-pilar badan
dunia: Bank Dunia, IMF dan WTO. Neo-Liberal tidak lain adalah antitesa welfare
state, antitesa neo-klasik, dan antitesa Keynesian. Dengan kata lain antitesa
kaum liberal sendiri, yaitu Liberal Baru atau kaum Kanan Baru (New-Rightist). 



Dengan memahami Neo-Liberal, maka kita dapat memahami berbagai sepak terjang
badan-badan multilateral dunia; kita dapat memahami perubahan kebijakan
domestik di negara-negara maju; kita dapat memahami mengapa terjadi krisis
moneter dan ekonomi yang tidak berkesudahan; kita dapat memahami mengapa
Indonesia didikte dan ditekan terus oleh IMF; kita dapat memahami mengapa
Rupiah tidak pernah stabil; kita dapat memahami mengapa BUMN didorong untuk
di-privatisasi; kita dapat memahami mengapa listrik, air, BBM, dan pajak naik;
kita dapat memahami mengapa impor beras dan bahan pangan lain masuk deras ke
Indonesia; kita dapat memahami mengapa ada BPPN, Paris Club, Debt Rescheduling
dan lain-lain; dan banyak lagi soal-soal yang membingungkan dan memperdayai
publik. 



Nama dari program Neo-Liberal yang terkenal dan dipraktekkan dimana-mana adalah
SAP (Structural Adjustment Program). Program penyesuaian struktural merupakan
program utama dari Bank Dunia dan IMF, termasuk juga WTO dengan nama lain. WTO
memakai istilah-istilah seperti fast-track, progressive liberalization,
harmonization dan lain-lain. Intinya tetap sama. Di balik nama sopan
"penyesuaian struktural", adalah "penghancuran dan pendobrakan
radikal" terhadap struktur dan sistem lama yang tidak bersesuaian dengan
mekanisme pasar bebas murni. Neo-Liberal adalah ideologinya, dan SAP adalah
praktek atau implementasinya. Sementara tujuannya adalah ekspansi sistem
kapitalisme global 



Dipetik dari artikel Bonnie Setiawan (IGJ) Neoliberal dan Kejahatan
Multinasional

 

Tanpa
Tanda Seru : Refleksi Persoalan Globalisasi 

Nenek Moyangku Orang Pelaut

 

Mengapa hutan-hutan bakau itu dibabat habis berubah
menjadi bangunan manis dipandang lalu cahaya indah menerobos dari rekahan
jendela kristal. Mengapa juga pulau-pulau kecil yang kadangkala menjadi tempat
peristirahatan kami, menjadi tanda-tanda bagi kami, mulai hilang, lenyap,
tenggelam meninggalkan air keruh mengusir ikan-ikan untuk semakin menjauh. Dan
kapal-kapal itu? Ratusan kapal-kapal dengan bendera dan wajah asing,
kapal-kapal yang rakus dengan alat tangkap ikan yang juga rakus, kenapa
dibiarkan berkeliaran mengumbar kehendak? Ikan-ikan semakin menjauh, sementara
perjalanan kami juga telah semakin jauh. Bahan bakar semakin mahal. Di darat,
harga-harga yang lain juga semakin mahal sementara jaring-jaring kami terlihat
semakin ringkih, kapal memucat tanpa muatan yang memberat. Di atas sana,
bendera dwi warna memudar karena waktu dan cuaca.



Di darat, anak-anak kami masih menyanyikan lagu Indonesia Raya dan dengan 
semangat
masih juga bernyanyi,"Nenek moyangku, orang pelaut…". Tentu, kami
ingin mewariskan ke mereka ilmu perbintangan dan ketajaman mata ketika melihat
dalam gelap lanskap dan dalam gelap air laut. Ingin kami bagikan ilmu sederhana
agar mta kita tajam dengan cara memakan mata ikan yang masih segar. 



Kami ingin mengajarkan bagaimana menyikapi badai dan gelombang, membaca musim,
merapal mantra. Ingin kami kabarkan tentang bagaimana mengolah, memanggang dan
mengasap ikan dengan sempurna. Tapi dewa-dewa telah pergi, ikan-ikan semakin
menjauh dan tanda-tanda sudah tidak lagi cermat. Akankah kami mewariskan
sesuatu yang segera menjadi binasa? Akankah kami mewariskan sesuatu yang dulu
diwariskan oleh moyang kami, tetapi sebentar lagi hanya akan menjadi dongeng
bahkan sederajat dengan omong kosong? Alangkah malangnya ketika rantai
pengetahuan yang kukuh itu, yang dibangun dari ratusan tahun pengalaman,
tiba-tiba bagi sebuah generasi hanya tak lebih menjadi bualan? Dan mungkin kami
hanya akan merintih dalam hati, ketika dengan jujur anak cucu kami
bernyanyi,"Nenek moyangku, orang pelaut…"





Dipetik dari tulisan Puthut
EA, Prosa Tanpa Tanda Seru : Refleksi Persoalan Globalisasi





Fundamentalis
Pasar Bebas dan Posisi Perempuan 

 

Saya tidak berbicara
tentang satu dua kasus. Kalau BPS mencatat bahwa jumlah total pekerja di bidang
industri utama sebesar 102.049.857 juta jiwa dan hampir 50% diantaranya adalah
perempuan, kita berurusan dengan jutaan buruh perempuan yang setiap hari
berhadapan dengan ketidakpastian. Semakin banyak perusahaan yang menggunakan
sistem kerja kontrak karena sistem ini memberi mereka keleluasaan memilih jenis
buruh seperti apa yang sesedikit mungkin membebani biaya produksi dan mudah
dikendalikan. Kita perlu melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apa
dampak sistem kerja kontrak terhadap kesehatan perempuan, termasuk kesehatan
reproduksinya, sejak perusahaan tidak lagi menanggung biaya perawatan
kesehatan, meniadakan cuti haid dan cuti hamil.



Ibu dan pengurus rumah tangga tidak mengalami nasib lebih baik. Pemotongan
subsidi terhadap BBM dan layanan publik (istilah yang tidak tepat lagi
digunakan di masa privatisasi ini) menambah beban luar biasa bagi pengeluaran
rumah tangga sehari-hari. Mi instan dan gorengan dalam jumlah terbatas menjadi
menu utama sehari-hari. Slogan 4 Sehat 5 Sempurna sudah lama tak terdengar. 
Para ibu yang suami-suaminya di PHK menanggung beban
berlipat ganda karena harus mencari pekerjaan alternatif sambil tetap
menjalankan tugas-tugas kerumahtanggaan. Tak jarang mereka menjadi sasaran
keputusasaan suami yang tak kunjung memperoleh pekerjaan dalam bentuk kekerasan
verbal pun fisik.



Di tengah suasana kecemasan, pemiskinan dan kekerasan meluas serupa ini
kampiun-kampiun pasar bebas menebar ilusi dan mimpi tentang melimpah dan
beragamnya komoditi pelengkap gaya
hidup modern melalui industri hiburan. Sementara itu institusi finansial yang
resmi pun tak resmi berlomba-lomba menawarkan kredit dengan bunga mencekik.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa masyarakat urban lebih memilih membeli telpon
selular atau krim pemutih wajah daripada vitamin C. Ini seperti 'pepatah' lama
'Biar tak ada nasi, asal aksi.' Industri periklanan juga mengkooptasi ide-ide
feminis tentang pemberdayaan perempuan dengan mendorong kemandirian dan
kebebasan perempuan untuk membeli barang-barang kesenangannya.





Dipetik dari Pidato Kebudayaan I Gusti Agung Ayu Ratih Kita, Sejarah dan
Kebhinekaan: Merumuskan Kembali Keindonesiaan* 





Neoliberalisme
dan Mitos Good Governance 

 

Bila secara sistematik
dilakukan dengan teknologi perundangan, maka telah terang bahwa good governance
yang sangat menekankan proseduralisme melahirkan proses-proses pelanggaran hak
asasi manusia yang difasilitasi oleh hukum yang ada atau dibentuknya (legalized
violations of human rights). Dengan mitos ketatanegaraan (dan mantramantranya)
good governance yang mengusung agenda-agenda pembaruan, menjelaskan pada kita
bahwa hukum ditempatkan sekadar alat kekerasan dan sekaligus pelumas menuju 
mekanisme
pasar bebas. Inilah apa yang publik percayai tentang kebaikankebaikan dalam
good governance, yakni ‘GOOD for GOVERning Neoliberal performANCE.’



Dipetik dari artikel R. Herlambang Perdana Wiratraman Good Governance dan Mitos
Ketatanegaraan Neoliberal





 

Formasi
Negara Neoliberal dan Kebangkitan Komunalisme 

 

Neoliberalisme yang selama
ini dibayangkan pro pasar, pro indvidualisme, anti komunal, dan meminggirkan
peran negara, pada kenyatannya kini mengalami kontradiksi-kontradiksi. Fenomena
sosial politik mutakhir memperlihatkan bagaimana gerakan neoliberalisme justru
mendorong kebangkitan komunalisme, sebagaimana diperlihatkan oleh
pemimpinpemimpin negara maju. Kampanye anti fundamentalis oleh Bush di Amerika,
atau kampanye anti pendatang yang diserukan oleh Howard di Australia, diakui
atau tidak, berdampak pada menguatnya ikatan komunal antar sesama sebangsa.
Kecurigaan berlebihan, yang bahkan mengarah ada rasisme, menjadi efek lanjutan
yang tak terhindarkan. Aspek politis dan etis seringkali terlewatkan.



Dipetik dari dari artikel Eric Hiariej (Pengajar di Jurusan Ilmu Hubungan
Internasional Fisipol Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)
FORMASI NEGARA NEOLIBERAL DAN KEBANGKITAN KOMUNALISME di Jurnal Mandatory.





Silah kunjung  untuk link-link serial  bacaan kritis ini

http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/search/label/lawan-neoliberalisme

 

 

 




      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke