Beberapa waktu yang lalu, kita dihebohkan oleh
mencuatnya kasus dipenjaranya Prita Mulyasari akibat surat keluhannya tentang
pelayanan Rumah Sakit Omni Batavia. Atas inisiatif beberapa pihak, akhirnya
Prita Mulyasari berhasil ditangguhkan penahanan penjaranya. Kasus itu sampai
sekarang masih dalam proses Pengadilan. Entah bagaimana nanti vonis putusan
hakim terhadapnya. Bisa jadi divonis bebas, namun bisa jadi pula kebalikannya,
pengukuhan hukuman penjara atas dirinya.
 
Kasus serupa, bahkan sudah
divonis hukuman penjara rupanya juga menimpa pula kepada 2 orang penulis surat
pembaca. Jika Prita Mulyasari dipenjara karena berkeluh kesah tentang Rumah
Sakit Omni Batavia, maka Aseng (Khoe Seng Seng) dan Winny (Kwee Meng Luan)
divonis hukuman penjara 6 bulan lamanya akibat keluh kesahnya tentang
perusahaan pengembang ITC Mangga Dua, yaitu PT. Duta Pertiwi.
 
Hukuman penjara itu merupakan buah dari keluh kesah
mereka. Aseng dan Winny yang merasa telah dibohongi oleh pengembang ITC Mangga
dua. Mereka merasa saat membeli kios di ITC Mangga Dua, informasi dari pihak
pengembang mengatakan bahwa obyek yang dibelinya itu berstatus HGB (Hak Guna
Bangunan) diatas tanah Hak Milik Bersama. Belakangan ketika mereka
memperpanjang HGB atas kios miliknya itu ternyata berstatus HGB di atas tanah
Hak Penguasaan Lahan.
 
Aseng dan Winny kemudian menuliskan keluh kesahnya itu
di Surat Pembaca yang dimuatkannya di sejumlah Surat Kabar. Aseng menulis Surat
Pembaca  yang kemudian dimuat di surat kabar Kompas pada tanggal 26 September 
2006 dengan
judul "Duta Pertiwi Bohong",
dan di surat kabar Suara Pembaruan pada
tanggal 20 November 2006 dengan judul "Jeritan
pemilik Kios di ITC Mangga Dua". Sedangkan Winny menulis
Surat Pembaca  yang dimuat di surat kabar Suara Pembaruan pada tanggal 3 
Oktober 2006 dengan
judul "Hati-Hati Membeli Properti PT. Duta Pertiwi".
 
Reaksi yang timbul dari PT. Duta Pertiwi sama dengan
reaksinya Rumah Sakit Omni Batavia, keluh kesah konsumennya itu dimaknai
sebagai telah dicemarkan nama baiknya. Maka para konsumennya itu diproses
secara hukum dan diajukan ke depan pengadilan.
Hakim di pengadilan pun rupanya sependapat dengan
pendapatnya pihak PT. Duta Pertiwi. Maka keluh kesahnya dua konsumen itu, Aseng
dan Winny diganjar vonis enam bulan penjara oleh Majelis Hakim di Pengadilan
negeri Jakarta Timur.
 
Atas maraknya hukuman penjara sebagai hukuman dari
kebebasan mengeluarkan pendapat dan keluh kesahnya warganegara atas perlakuan
korporat pemilik modal kapital itu, ditambah dengan stigma ghibah dan fitnah
bagi mereka yang mengeluarkan pendapat dan berkeluh kesahnya perihal
kelemahannya para pejabat penguasa dan kinerja pemerintahnya, akankah ini
sinyal peringatan agar masyarakat menjadi takut untuk mengeluarkan pendapatnya
dan berkeluh kesahnya ?.
 
Wallahualambishshawab.
 
Artikel ini dapat dibaca di :
Keluh Kesah berbuah Vonis Penjara
http://politikana.com/baca/2009/07/16/keluh-kesah-berbuah-vonis-penjara.html
 
***
 
Akhirnya Khoe Seng Seng (Aseng) dinyatakan bersalah
oleh majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta Timur (Rabu, 15/7) dalam kasus
pencemaran nama baik dan divonis enam bulan penjara dengan masa percobaan satu
tahun. Tapi hakim mengatakan hukuman enam bulan tersebut tidak akan dikenakan
apabila dalam masa satu percobaan satu tahun terdakwa tidak terjerat kasus
pidana. Vonis tersebut lebih ringan dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum
yang menuntut satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun.
 
Dalam putusannya majelis hakim menyatakan bahwa surat
pembaca yang dimuat dalam media merupakan tanggung jawab penulis dan redaktur
media bersangkutan. Dengan demikian Aseng telah melakukan pencemaran nama baik
dengan mengirimkan surat keluhan terhadap PT Duta Pertiwi yang ditampilkan di
sejumlah media pada medio 2006.
 
Sebelumnya Aseng, sebagai tergugat, telah memenangkan
kasus penuntutan ganti rugi oleh pihak penggugat PT Duta Pertiwi, sehingga dia
tidak harus membayar 1 milyar rupiah (Baca juga :  Satu lagi
terdakwa kasus pencemaran nama baik'dibebaskan' ).
 
Kasus ini bermula ketika Aseng menulis surat pembaca
di harian terkemuka ibukota (Kompas dan Suara Pembaruan, tahun 2006), bahwa
developer (PT Duta Pertiwi) tidak secara
transparanmemberikan informasi
status tanahITC Mangga Dua kepada calon pembeli. 
 
Belakangan diketahui bahwa HGB ITC terbit di atas Hak
Pengelolaan Lahan (HPL) milik Pemprov DKI Jakarta. 
 
Dari pada itu pihak developer dianggap telah
membohongi konsumen (para pembeli kios) terkait soal HGB tersebut. Pendek kata
Khoe merasa Duta Pertiwi telah wanprestasi dalam perjanjian jual beli mereka.
 
Namun dalam persidangan kemaren, hakim menyatakan
Aseng telah mengetahui tentang status tersebut dalam rapat pada September 2006
antara pengembang dan pemilik kios serta dihadiri juga oleh staf Badan
Pertanahan Nasional (BPN).
 
Salah satu landasan hakim dalam putusannya adalah
keterangan saksi ahli yaitu Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara, yang
mengatakan bahwa penulis dan redaksi media bisa dimintai pertanggungjawabannya
terhadap surat pembaca yang disebarkan oleh media tersebut, karena semua media
telah sepakat bahwa surat pembaca adalah termasuk tanggung jawab dari redaksi,
seperti yang terkait dengan Undang-Undang Pers. Sehingga sebuah tulisan yang
ditampilkan dalam media dapat disebut sebagai karya jurnalistik bila sudah ada
campur tangan redaksional. 
 
Namun begitu Leo meminta agar bila terdapat
ketidaksetujuan atas isi surat pembaca agar diselesaikan juga melalui UU Pers
dan jangan melalui pasal-pasal ketentuan pidana yang tercantum dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
 
Selain itu, hakim juga menyatakan bahwa surat keluhan
Aseng tidak bisa disebut mewakili kepentingan umum karena hanya sekitar 20 dari
3.000 pemilik kios ITC yang mengeluhkan hal tersebut.
 
Pihak Aseng menyatakan akan banding. Penasehat
hukumnya Hendrayana, yang juga ketua Lembaga bantuan hukum untuk Pers
mengatakan bahwa putusan ini merupakan preseden
burukbagi kebebasan mengeluarkan
pendapatmelalui surat pembaca.
 
Nah dari kasus ini pelajaran apa yang harus kita petik
?.
 
Apapun pendapat kita tentang putusan Pengadilan
tersebut, kita harus mulai berhati-hatidalam mengemukakan keluhan/komplain 
ataupun tuduhan baik melalui surat pembaca,
email, mailist, bahkan blog. 
 
Meskipun kita merasa dipihak yang benar dan dirugikan
oleh pihak lain, hendaknya harus mengumpulkan data, dan bukti-bukti yang cukup
untuk menghadapi tuntutan balik ataupun masalah pidananya. 
 
Hal ini penting diperhatikan karena harus diakui semua
pihak bahwa perlindungan terhadap
konsumendi Indonesia masih lemah, undang-undang dan sistim hukum/peradilan
masih perlu kejelasan, serta sejauh mana kebebasan mengeluarkan pendapat
dijamin.
 
 
Artikel ini dapat dibaca di :
Sekali lagi, Awas hati-hati menulis surat pembaca,
email !!!
http://politikana.com/baca/2009/07/16/sekali-lagi-awas-hati-hati-menulis-surat-pembaca-email.html
 
***
 
Sebagai pengasuh Kompasiana yang sesekali memberi pelatihan menulis dan
jurnalistik, saya sering mendapat pertanyaan :
        * Apakah setiap penulis Kompasiana perlu melakukan cek
dan ricek sebelum tulisannya ditayangkan ?.
        * Apakah penulis Kompasiana perlu cover both
side ketika menulis satu postingan yang menyangkut seseorang ?.
        * Apakah penulis Kompasiana bisa seenaknya menulis tanpa
peduli lagi etika dan estetika ?.
 
Semua pertanyaan ini menuntun saya pada wacana antara journalism dan sharism.
 
Journalism. Sesuai namanya, ini adalah “catatan harian”
seorang jurnalis mengenai laporan peristiwa yang telah/sedang terjadi, yang
hasil tulisan/laporannya dimuat di media massa cetak (koran/majalah), media
elektronik (radio/televisi), atau media online. 
 
Penulisnya adalah wartawan
profesional(memang pekerjaannya sebagai jurnalis), sementara medianya
disebut media arus utama(mainstream). 
 
Apa yang ditulis adalah kejadian peristiwa-peristiwa penting yang
sesegera mungkin diketahui umum. Si jurnalis dibekali etika profesionalisme
kewartawanan. Sebagai contoh untuk wartawan kita adalah Kode Etik Wartawan
Indonesia (KEWI). Jurnalis bekerja pada landasan kode etik itu.
 
Saya tidak akan berpanjang-panjang mengupas journalism ini.
Saya mau mengulas sharism !.
 
Sharism berasal dari kata share (to share = berbagi). Kegiatannya sih sama saja,
yaitu menulis. Akan tetapi, unsur berbaginya
ini jauh lebih menonjol.
 
Penulisnya pun tidak mutlak jurnalis profesional, tetapi lebih banyak
warga biasa, yang pada saat-saat menghadapi kasus khusus, ia bisa bertindak
selaku jurnalis warga (citizen journalist).
 
Medianya pun bukan media arus
utama yang berafiliasi kepada pemodal kuat. 
 
Media yang digunakan sering disebut media indie (independent). Kalau bukan dalam
bentuk cetakan (print), paling populer ya blog pribadi atau blog keroyokan
macam Kompasiana.
 
Disadari atau tidak, ketika Anda, saudara-saudaraku sekalian, menulis
di Kompasiana dan punya niat
berbagi (opini/informasi) dengan para pembaca lainnya, Anda sudah
memasukikegiatan sharism.
 
Anda sudah menjadi penulis indie (bebas)
dengan menggunakan media indie (Kompasiana)
pula.
 
Kesediaan Anda berbagi dengan
orang lain tanpa pamrih,
adalah ciri kuat dari sharism.
 
Ciri khas lainnya adalah interaktif. Ketika Anda
menyediakan waktu untuk menulis dan berbagi di Kompasiana, maka Anda
menyediakan waktu pula untuk membalas setiap komentar yang masuk.
 
Yang Anda tulis pun tidak usah berita penting, cukup hal-hal menarik
saja.
 
Dalam dunia jurnalistik atau journalism (arus utama),
wartawannya cukup menulis dan muat/tayang tanpa harus peduli apakah tulisannya
dibaca/ditonton orang atau tidak.
 
Dalam sharism, Anda harus diniatkan sejak awal untuk
berbagi !.
 
Pertanyaan yang sering muncu : apakah journalism akan bisa
dikalahkan sharism ?.
 
Kalau pertanyaan ini dilontarkan kepada saya, saya akan menjawab
sederhana : journalism dan sharism tidak dalam posisi
saling berperang dan menyerang. Mereka berdua hadir untuk saling melengkapi !.
 
Hadirnya Kompasiana sebagai sharism bukan
untuk mengalahkan Kompas.com atau Kompas (print) sebagai journalism.
 
Kompasiana hadir sebagai pelengkap yang mengatasi ruang dan
waktu, sebagai kendali media arus utama khususnya print.
 
Sebagai contoh kecil saja, setiap hari Kompas print menerima kurang
lebih 100 artikel. Hanya tiga artikel yang bisa dimuat.
 
Di Kompasiana, bila setiap hari ada 100 artitikel/tulisan masuk, besar
kemungkinan ke-100 artikel itu bisa termuat !.
 
Kalau Anda perhatikan, banyak media besar ceperti CNN punya versi i-Report, 
yakni laporan warga pemirsanya sendiri.
 
Tidak usah jauh-jauh, MetroTV juga mengundang pemirsanya berkirim
berita atau komentar.
 
Mereka, media arus utama, rupanya ingin pula memiliki berita versi
pemirsa / pembacanya sendiri.
 
Pertanyaan paling mendasar, apakah penulis di
dunia sharism perlu melakukan cover both side saat menulis satu postingan 
menyangkut
nama (baik) seseorang ?.
 
Bila pertanyaan ini ditujukan kepada saya, maka jawabannya : tidak
mutlak dan tidak perlu.
 
Lho, mengapa begitu ?. Nanti bisa seenaknya dong
penulis sharism menghujat orang ?.
 
Sederhana saja, para penulis sharism bukanlah jurnalis
profesional yang terikat etika kewartawanan.
 
Bayangkan saja kalau Prita Mulyasari harus melakukan cek dan ricek atau
melakukan cover both side, tulisannya di milis yang menggegerkan
itu tidak akan pernah ada.
 
Kalau Anda berbagi (lewat tulisan) mengenai kebiasaan sebuah
supermarket yang menukar pengembalian uang receh Anda dengan permen, Anda tidak
perlu konfirmasi kepada pemilik supermarket itu. 
 
Cukup sharing saja di blog (Kompasiana), niscaya orang yang punya pengalaman
yang sama akan berbagi dengan Anda. Dalam sekejap Anda sudah mendapatkan
sejumlah solusi yang ditawarkan para pemberi komentar.
 
Bila cukup beruntung, pemilik supermarket akan menanggapi dan efeknya
menghentikan kebiasaan jelek itu.
 
Meski tidak perlu cover both side, seorang
penulis sharism tentu terikat “moral baik” dan nilai-nilai universal kebaikan.
 
WikipediadanYouTube, adalah dua new media indieyang mensyaratkan bahwa
moral baik ada pada masing-masing penulisnya sendiri. Anda bisa saja menulis
berita bohong, mendiskreditkan seseorang/lembaga dan boleh jadi lolos tayang. 
 
Tetapi ketahuilah, ketika orang tahu bahwa Anda berbohong di dunia
maya, ketika Anda mencemarkan nama baik seseorang tanpa dasar, maka apa yang
Anda lakukan sudah masuk vandalism. Anda juga bisa mempostingkan
hal-hal berbau pornografi atau judi, tetapi moral universal akan “mengutuk”
Anda tidak lama setelah itu.
 
Tentu saja penulis sharism tidak asal mengutuk dan
mencemarkan nama baik seseorang dengan hanya
bermodalkan katanya-katanya-katanya. Akan lebih baik jika menulis mengenai
apa yang Anda ketahui dan alami sendiri (pengalaman maupun bacaan) untuk
di-share bersama daripada mengandalkan berita katanya.
 
Dengan cara ini, Anda tidak harus repot-repot melakukan cover both side. 
Biarlah itu menjadi
urusan jurnalis professional!.
 
Artikel ini dapat dibaca di :
Memahami Journalism dan Sharism.
http://pepihnugraha.kompasiana.com/2009/07/13/memahami-journalism-dan-sharism/
 
***


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke