Singkat kata POTENSIAL DISINTEGRASI

Ada yang tidak setuju ?

Yang diperlukan sikap NASIONALIS bukan sikap INTERNASIONALIS atau NEOLIBERALIS

--- On Mon, 8/10/09, rifky pradana <rifkyp...@yahoo.com> wrote:

From: rifky pradana <rifkyp...@yahoo.com>
Subject: [ekonomi-nasional] Reinkarnasi Politik Konsesi dari Daratan ke Lautan.
To: forum-pembaca-kom...@yahoogroups.com, ekonomi-nasional@yahoogroups.com, 
mediac...@yahoogroups.com, nongkrong_bare...@yahoogroups.com, 
eramus...@yahoogroups.com, syiar-is...@yahoogroups.com, sab...@yahoogroups.com
Date: Monday, August 10, 2009, 7:33 AM






 




    
                  Indonesia

merupakan negara Kepulauan, dimana wilayah lautnya lebih luas dibandingkan

wilayah daratannya. Kekayaan alam yang terkandung di wilayah lautnya, termasuk

entitas ekosistemnya, tak kalah kaya dibandingkan yang ada di daratannya..

 

Pemikiran

inilah yang menjadi salah satu latarbelakang dibentuknya Departemen Kelautan,

pada masa awal era Reformasi yang telah lalu. Diharapkan, dengan terbentuknya

departemen ini akan mempercepat terjadinya perubahan paradigma kebijakan

pemerintah, dari paradigma terestrialke paradigma kelautan.

 

Sekarang,

sudah selama satu dasawarsa umurnya. Sudah banyak seminar, makalah dan urun

rembug pemikiran yang dituangkan. Namun, rupanya tak mudah membelokkan

mainstream pemikiran. Tak kunjung jua terlihat adanya terobosan yang bernas dan

cerdas dalam mengimplementasikan misi dan visi dibentuknya intitusi departemen

ini. 

 

Dorongan

agar terjadi perubahan kebijakan dari paradigma terestrial ke paradigma

kelautan ini, justru dimaknai dengan keinginan replacement arenanya kebijakan

politik konsesi, dari daratan ke wilayah lautan. 

 

Seperti

kita ketahui bersama, dahulu pada masa awal Orde Baru, marak politik konsesi

HPH. Kelihatannya apa yang direncanakan oleh pemerintahan orde sekarang ini tak

berbeda jauh. Tak ubahnya, hanya sekedar memindahkan politik konsesi HPH dari

wilayah daratan ke wilayah lautan  

 

Mulai tahun 2010, pemerintah akan menerapkan

kebijakan HP3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisiran) dan KUPT (Kluster

Usaha Perikanan Tangkap) yang membagi zona wilayah lautan menjadi 4 kawasan,

yakni kawasan Pemanfaatan Umum, kawasan Konservasi,

kawasan nasional Stategis Tertentu, kawasan Alur Pelayaran.

 

Pembagian

perairan menjadi kapling-kapling ini menjadi landasan untuk pemberlakuan hak

pengusahaan perairan pesisir (HP3) yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 27

Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Adapun 
Kluster

Usaha Perikanan Tangkap (KUPT) mengacu pada Permen Kelautan dan Perikanan Nomor

5/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap. 

 

Pada

undang-undang tersebut disebutkan bahwa melalui Sertifikat HP-3, dapat

diberikan hak eksklusif kepada pihak swasta (Asing ataupun Nasional) mulai dari 
sertifikat hak pengusahaan,

perairan, dan pesisir, yang meliputi permukaan air, kolom air, hingga ke dasar

perairan. Hak atas KUPT itu memberikan hak eksklusif kepada pihak swasta (Asing 
ataupun Nasional) untuk

memanfaatkan sumber daya ikan di perairan hingga

sejauh 12 mil laut dari garis pantai. Sertifikat dan hak ini juga termasuk

untuk sektor pariwisata bahari atau marine ecotourism.

 

Dalam

arti kata, ketentuan Sertifikat HP3 dan Hak KUPT ini sama saja dengan memberikan

hak eksklusif pengusahaan kepada pihak swasta (Asing ataupun Nasional) selama 
jangka waktu tertentu, periode

pengusahaan 20 tahun dan dapat diperpanjang untuk periode berikutnya. Dan, hak

itu dapat dialihkan ke pihak lainnya. 

 

Perencanaan

strategis sebagai prasyarat terbitnya Sertifikat HP-3 dan Hak KUPT ini hanya 
ditentukan

oleh dua pihak saja, yaitu pemilik modal (pihak

Swasta Asing atau Swasta Nasional) dan Pemerintah Daerah serta Pemerintah

Pusat. Masyarakat setempat tidak mendapatkan hak untuk turut merencanakannya.

 

Sekalipun

masyarakat setempat dilibatkan, tetap saja tak merubah dampaknya, pemberian hak

eksklusif pengelolaan kepada pihak tertentu ini, berpotensi menimbulkan

konsentrasi kepemilikan usaha yang akibat lanjutnya adalah praktik monopoli.

 

Dapat

dikategorikan monopoli, sebab selama jangka waktu diberikannya hak itu kepada 
pihak

swasta (Asing ataupun Nasional)

praktis akan mengakibatkan masyarakat umum kehilangan akses apapun terhadap

sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Bahkan termasuk kehilangan akses ke

lokasi lapangan kerja mereka untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.   

 

Jangan

coba-coba datang dengan cara menyelam ke wilayah tersebut, karena itu juga

termasuk tindakan yang melanggar hukum atas nama ketentuan hak eksklusif yang

terkandung didalam Sertifikat HP3 dan Hak KUPT ini.

 

Maka,

sangat jelas jika kebijakan politik konsesi atas wilayah lautan ini, berpotensi

memiskinkan masyarakat lokal, dan memberangus hak-hak nelayan tradisional,

serta membuat masyarakat setempat di wilayah yang mereka tinggali

bertahun-tahun lamanya hanya akan menonton dan gigit jari saja. 

 

Sebagai

catatan, saat ini di Indonesia, dari sekitar 99% pelaku usaha perikanan tangkap,

merupakan nelayan kecil dengan kapasitas kapal dengan bobot mati di bawah 30

ton. Tahun 2008, total armada perikanan Indonesia 590.380 unit. Jumlah nelayan

Indonesia 2,78 juta orang. Sementara itu, jumlah pembudidaya ikan sebanyak 2,61

juta orang.

 

Hal

lainnya, tak tertutup juga, pada jangka waktu yang tak terlalu panjang, sudah

akan memperlihatkan potensi terjadinya pengurasan sumber daya perikanan secara

besar-besaran. Ini hal yang logis saja, apabila pihak swasta (Asing dan 
Nasional) yang memegang hak

eksklusif pengelolaan kluster itu dikejar kuota yang harus dipenuhinya kontrak

penjualan ikan dalam jumlah sangat besar.

 

Apakah

sekarang sudah ada contohnya ?. 

 

Salah

satu misalnya, di kepulauan Togean, Provinsi Sulawesi Tengah, sebuah Perusahaan

Asing dari Italia. Di daerah ini  diterapkan larangan untuk kegiatan perikanan 
tradisional sejauh 7

kilometer.. Lalu, di Tomia, Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara, daerah ini

dikelola sebuah Perusahaan Asing dari Swiss. Di daerah ini diterapkan zona

larang tangkap karena diperuntukkan sebagai area dive point.  Ini

sama saja dengan pengaplingan area laut, walau penduduk desa mendapatkan 
kompensasi

sebesar Rp. 5 juta per bulan yang diperuntukan bagi pembangunan infrastruktur

desa. 

 

Apakah

jumlah uang itu sebanding dengan nilai kerugian yang diderita oleh seluruh

masyarakat desa yang kehilangan akses terhadap sumber daya di zona larangan

tangkap itu ?.



Hal lain yang sangat perlu direnungkan lagi adalah dengan menilik kembali 
bagaimana

sejarah awal mula HPH (Hak Pengusahaan

Hutan) selanjutnya menelusuri bagaimana fakta yang telah berlangsung

berpuluh tahunnya, kemudian bagaimana akibat yang ditimbulkannya hari ini. 

 

Apakah

kesejahteraan yang telah disumbangkan oleh politik konsesi ala HPH itu

sebanding dengan nilai kerugian yang telah diakibatkannya ?. Sebandingkah 
benefit cost rasio-nya ?. 

 

Jika

pemerintahan rezim Orde Baruterbukti

dengan politik konsesi HPH-nya telah

memporak porandakan hutan di wilayah daratan. Maka pemerintahan rezim orde

mendatang ini seharusnya berlaku bijaksana. Janganlah hanya menjadi 
reinkarnasi- nya saja, yang hakikat kebijakannya

hanya merupakan modifikasi politik

konsesi ala HPHyang dipindahkan dari wilayah daratanke wilayah lautan.     

 

Wallahualambishshaw ab.

 

Referensi Artikel dan Sumber Berita :

        * ‘Pengkaplingan ala HPH di Laut Indonesia’,

klik disini atau disini.

        * ‘Pengaplingan Laut Tak Dikenal di Dunia’,

klik disini.

        * ‘Dilema Privatisasi Pariwisata Bahari’,

klik disini.

        * Artikel

ini dapat juga dibaca di Kompasiana dengan mengklik disiniatau di Politikana

dengan mengklik disini.

 

*



[Non-text portions of this message have been removed]




 

      

    
    
        
         
        
        








        


        
        


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke