Inikah tanda akan segera datangnya era kemakmuran kehidupannya Rakyat Indonesia 
?.

*
Benarkah uang recehan  Rp. 500 dan Rp. 1.000 menghilang dari
peredaran ?. Uang recehan menjadi langka ?. Bahkan mengakibatkan beberapa pintu
tol terpaksa tutup tak beroperasi ?.
 
Pada postingan terdahulu (8 Agustus 2009) yang berjudul ‘Inflasi
Tinggi?, Sanering-kahIni?’ secara sekilas disinggung
perihal kelangkaan uang pecahan Rp.1.000. Dimana fenomena ini dirasakan ketika
pada dua bulan terakhir ini saat menerima uang kembalian pembayaran tol yang
hampir tak pernah diberikan dalam bentuk uang pecahan Rp.1.000 semua. Selalu
dicampur dengan uang pecahan Rp.500. 
 
Misalnya, kembalian uang Rp. 4.000 diberikan dalam bentuk satu lembar
uang pecahan Rp. 1.000 ditambah enam keeping uang pecahan Rp. 500.
 
Hal itu tidak hanya dijumpai jika membayar tol saja, namun juga
dijumpai saat belanja di beberapa supermarket. Kalaupun ada, hampir tak pernah
mendapatkan uang pecahan Rp. 1.000 dalam lembaran yang masih baru, yang
tidak kucel maksudnya.
 
Ternyata, fenomena itu dibenarkan oleh pihak pengelola jalan tol, yang
mengungkapkan adanya kelangkaan persediaan uang receh di Jakarta. Bahkan puncak
kelangkaan uang receh terjadi kemarin, Kamis, tanggal 20 Agustus 2009.
Akibat kelangkaan itu, beberapa pintu tol terpaksa harus ditutup karena
tak memiliki persediaan receh untuk kembalian.

Perihal kelangkaan recehan Rp. 500 dan Rp. 1.000 tersebut, Direktur Operasi PT.
CMNP ( Citra Marga Nusaphala Persada)
pengelola sejumlah ruas jalan tol Jakarta, mengatakan bahwa hal ini baru
pertama kalinya terjadi. Belum pernah PT CMNP harus menutup pintu tol seperti
sekarang karena kekurangan uang receh.
 
Sebanyak enam gerbang tol di ruas tol Cawang-Priok harus ditutup sejak
Kamis pagi. Akibat dari penutupan sejumlah pintu tol tersebut, telah
mengakibatkan kemacetan panjang di jalan-jalan arteri sekitar tol.

Sebenarnya, para petugas di masing-masing pintu tol sudah berupaya menukarkan
recehan ke berbagai tempat, di antaranya ke SPBU dan pasar swalayan. “ Namun, 
tetap saja kurang persediaan uang recehnya. Jumlah recehan yang biasanya 
diantarkan pihak bank ke pintu-pintu tol
untuk ditukar juga tak sebanyak biasanya. Kami juga tidak tahu. Sejak
dua-tiga hari belakangan, persediaan
recehan pecahan Rp.. 500 dan Rp. 1.000 langka. Tanya saja ke pengelola tol 
lainnya kalau tidak percaya. Dan, hari ini puncaknya“.

“ Insya Allah, tidak ada(penutupan lagi). Kami sudah meminta pihak perbankan 
untuk
menyediakan lebih banyak uang receh”, tambahnya. Namun, pihaknya mengimbau
agar masyarakat untuk menyiapkan uang pas jika akan bepergian melalui tol. 
 
Hal tersebut dimaksudkan untuk berjaga-jaga, sebab sampai hari ini,
belum bisa dipastikan kapan uang receh akan normal lagi peredarannya.
 
Ah, ternyata kelangkaan uang recehan bukanlah kabar yang lebaysaja. Juga bukan 
hanya gosipatau isuatau rumorsaja.
Namun benar-benar telah terjadi. 
 
Semoga ini bukan pertanda bahwa di Indonesia tidak lagi dibutuhkan uang
recahan, sebab harga-harga dan transaksinya tak lagi membutuhkan uang recehan.
Namun merupakan pertanda bahwa sebentar lagi, seluruh rakyat Indonesia akan
semakin makmur dan meningkat pendapatannya, sehingga tidak memerlukan uang
recehan lagi.
 
Benarkah begitu ?. Sudah makmur dan sejahterakah kehidupan anda ?.
 
Wallahualambishshawab.
 
*
Referensi Sumber Berita & Artikel
Terkait :
        * 'Uang Receh Langka, Pintu Tol Ditutup',
klik disini
        * 'Kekurangan Uang Receh, Gerbang Tol Ditutup',
klik disini
        * 'Tak Ada Uang Receh, Beberapa Pintu Tol
Ditutup', klik disini
        * 'Stok Uang Receh Menipis', klik disini
        * 'Uang Receh Bikin Pusing PT ASDP Ujung-Kamal',
klik disini
        * 'Tahukah Kamu Uang Receh Yang Sekarang Masih
Beredar ?', klik disini
        * 'Ketika Uang Receh Tidak Lagi Diurus',
klik disini
        * 'Inflasi Tinggi ?, Sanering-kah Ini ?', klik disini
        * 'Gaji Lokal Biaya Hidup Internasional',
klik disini
*
Tulisan
ini dapat juga dibaca di Kompasiana dengan
mengklik disini atau
dapat juga dibaca di Politikana dengan
mengklik disini
*

Pada dua bulan terakhir ini, saya beberapa kali menemui kesulitan mencari uang 
kertas pecahan Rp.1.000. Maksudnya, uang kembalian pembayaran tol hampir tak 
pernah diberikan dalam bentuk uang pecahan Rp.1.000 semua. Selalu dicampur 
dengan uang pecahan Rp.500. Misalnya, kembalian uang Rp. 4.000 diberikan dalam 
bentuk satu lembar uang pecahan Rp. 1.000 ditambah enam keeping uang pecahan 
Rp. 500.
 
Hal itu tidak hanya saya jumpai jika membayar tol saja, namun juga saya jumpai 
di beberapa supermarket. Bahkan, sudah hampir tak pernah saya mendapatkan uang 
pecahan Rp. 1.000 dalam lembaran yang masih baru, tidak kucel maksudnya.
 
Usut punya usut, saya baru ngeh setelah membaca di internet, ternyata pada 
tanggal 9 Juli lalu, Bank Indonesia secara resmi telah meluncurkan uang kertas 
baru dengan nominal Rp. 2.000. Uang pecahan ini dicetak untuk menggantikan uang 
kertas pecahan Rp. 1.000 yang akan dihentikan penerbitannya.
 
Sementara itu, uang kertas Rp 1.000 tidak akan diproduksi lagi dan akan ditarik 
dari peredaran secara bertahap, selambat-lambatnya dalam jangka waktu 5 tahun.
 
Uang pecahan baru yang dominan berwarna abu-abu itu bergambar Pangeran Antasari 
pada bagian muka, dan gambar Tarian Adat Dayakpada bagian belakangnya. Pangeran 
Antasari adalah salah satu putra terbaik Kalimantan Selatan yang dilahirkan 
hampir 200 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1809.
   
“Penerbitan uang kertas emisi baru tersebut merupakan implementasi kebijakan 
Bank Indonesia di bidang pengedaran uang yaitu untuk memenuhi kebutuhan uang 
rupiah di masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang 
sesuai, tepat waktu dan dalam kondisi yang layak edar”, sebut Pjs Gubernur Bank 
Indonesia, Miranda S Goeltom, dalam siaran pers BI.
 
Membaca itu, membuat saya yang awam ini menjadi bertanya-tanya. Adakah 
kelangkaan uang pecahan Rp. 1.000 itu ada hubungannya dengan kebijakan baru 
dari BI tersebut ?. Lantas, saya yang awam ini juga mereka-reka, apakah ini 
secara hakikatnya menyerupai kebijakan model sanering ?.
 
Saya membatin, tentunya bukan. Karena sanering itu secara harfiahnya berarti 
pemotongan atas nilai uang nominal yang beredar, yang bertujuan untuk 
mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat, dengan maksud agar inflasi 
menjadi terkendali.
 
Istilah sanering ini berasal dari bahasa Belanda, yang artinya penyehatan, 
pembersihan, reorganisasi. Pada masa lalu, di zaman pemerintah orde lama, 
kebijakan sanering ini pernah beberapa kali dilakukan. 
 
Pada pemerintahan Kabinet RIS dibawah kepemimpinan Perdana Menteri Mohammad 
Hatta, pernah dikeluarkan kebijakan moneter terhadap uang kertas De Javasche 
Bank dan uang pendudukan Belanda, melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan 
tertanggal 19 Maret 1950. Pada waktu itu Menteri Keuangan dijabat oleh Mr 
Sjafruddin Prawiranegara.
 
Kebijakan ini dikenal dengan sebutan peristiwa Gunting Sjafruddin. Disebut 
gunting, karena kebijakan tersebut memang benar-benar mengunting uang kertas 
menjadi dua bagian, bagian kiri dan bagian kanan.
 
Uang bagian kiri diakui sebagai alat pembayaran yang sah, dengan nilai setengah 
dari nilai nominal sebelum digunting. Kemudian secara bertahap, uang bagian 
kiri ini dapat ditukar dengan uang baru yang diterbitkan De Javasche Bank. 
Sedangkan untuk uang bagian kanan, dapat ditukarkan dengan Obligasi Republik 
Indonesia 1950, sebagai pinjaman pemerintah dengan bunga 3%.
 
Kebijakan sanering ini juga pernah terjadi pada tanggal 25 Agustus 1959. 
Metodenya dengan menurunkan nilai uang kertas Rp. 500 dan Rp. 1.000 menjadi Rp. 
50 dan Rp.100 . Ditambah dengan adanya pembekuan simpanan giro dan deposito 
pada bank-bank sebesar 90% dari jumlah simpanan diatas Rp. 25.000. Selanjutnya 
simpanan yang dibekukan itu diganti menjadi pinjaman jangka panjangnya 
pemerintah.
 
Hal itu juga terjadi lagi pada tanggal 13 Desember 1965. Pada waktu itu dengan 
metode diterbitkan uang pecahan baru yang nilainya diciutkan. Misalnya, nilai 
uang lama Rp.1.000 diturunkan nilainya menjadi Rp.1 dalam pecahan uang baru.
 
Nah, bagi saya ini menjadi jelas, bahwa kebijakan ini bukanlah kebijakan 
sanering. Namun saya masih membatin, apakah dibutuhkannya pecahan baru dengan 
nominal Rp. 2.000 ini berarti indikasi bahwa harga-harga sekarang ini sudah 
sedemikian tinggi ?.
 
Dalam arti kata, dulu banyak yang harganya Rp. 1.000 itu hari sudah menjadi dua 
kali lipatnya, sehingga lebih praktis jika membayarnya dengan pecahan Rp. 2.000 
saja ?.
 
Tapi apa ya sampai dua kali lipat kenaikan harganya, karena kalau menurut 
pemerintah inflasi selalu terjaga, tak lebih dari 1 digit saja. Sehingga 
karenanya tentu butuh waktu lebih dari sepuluh tahun untuk harga mencapai dua 
kali lipatnya.
 
Yah, makin bingung deh. Itulah celakanya kalau jadi orang awam. Tahunya Cuma 
dari berita saja. Namun kenyataan dikehidupan sehari-hari, pada saat ini jika 
berbelanja kebutuhan bulanan, kok jadi lebih membutuhkan uang yang lebih banyak 
dibandingkan waktu-waktu yang lalu ya ?.
 
Kurang beruntungnya, kok ya pendapatan kelihatannya belum ada indikasi mau 
dinaikkan oleh bos, dalam waktu dekat ini.
 
Padahal disatu sisi, konon katanya harga LPG akan naik lagi, ongkos parkir juga 
akan naik, pajak kendaraan begitu pula katanya. Belum lagi jika katanya di 
bulan depan tarif tol akan naik juga.
 
Wah, bakalan makin berabe jika harga BBM pun akan dinaikkan tingkat harganya, 
semakin didekatkan dengan harga keekonomiannya.  
 
Bagaimana pula dengan keadaan kita, yang tak mungkin ikut kecipratan 
mendapatkan BLT ini. Kecuali mengharapkan gaji segera dinaikkan sesuai dengan 
kenaikan ongkos kebutuhan kehidupan.
 
Halo bos, harga-harga sudah mau menginternasional nih, gimana ini ?, kapan kita 
mau naik gaji ?, menjadi berstandar internasional juga ya ?.
 
Wallahualambishshawab.
 
*
Referensi Artikel dan Sumber Berita :
        * 'Ini Dia Uang Kertas Rp 2.000 Baru', dapat dibaca dengan mengklik 
disini.
        * 'Wah... Tanggal Lahir Gubernur Jadi Nomor Seri Pecahan Rp 2..000', 
dapat dibaca dengan mengklik disini.
        * 'BI Tarik Uang Kertas Rp 1.000', dapat dibaca dengan mengklik disini.
        * 'Sejarah Bank Indonesia : Moneter : Periode 1959 - 1966', dapat 
dibaca dengan mengklik disini.
        * 'Gunting Sjafruddin', dapat dibaca dengan mengklik disini.
        * 'Berjuang untuk Nasib Kita Sendiri 5 Tahun Mendatang', dapat dibaca 
dengan mengklik disini.
        * 'Gaji Standar Lokal, Biaya Hidup Standar Internasional', dapat dibaca 
dengan mengklik disini.
*
Artikel ini juga dapat di baca di Kompasiana dengan mengklik disini dan di 
Politikana dengan mengklik disini.
*


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke