Penempatan pos komando lapangannya Al-Qaeda di Jati Asih
adalah sebagai postatis pengendalian lapangan dalam rangka pengendalian operasi
terhadap target utama, Obama, yang akan berkunjung ke Indonesia, nanti di
November 2009, telah dibahas di tulisan awal yang berjudul “Al-Qaeda
vs Obama atau Al-Qaeda vs SBY?” (dapat dibaca di Kompasiana dengan mengklik 
disini atau di Politikana dengan mengklik disini) merupakan operasi yang tidak 
main-main dampak
impaknya.
 
Ini tentu tidak diinginkan terjadi oleh pemerintah
Indonesia. Juga dianggap tidak main-main, alias dianggap tak mungkin dinafikan
kemungkinan keberhasilannya, mengingat pengamanan terhadap Obama tidaklah
sehebat kalau Obama ada di negerinya sendiri. Serta, medannya juga mudah
dibaca, mengingat tentu gaya pengamannnya tak akan berbeda 180 derajat
dibanding dengan metoda pengaman sewaktu Presiden Bush berkunjung ke
Indonesia.    
 
Oleh sebab itu, sangat bisa dimengerti jika pemerintah
Indonesia membuat strategi pengendalian berita Media Arus Utama, dengan fokus
pemberitaan utama bahwa target Al-Qaeda adalah Presiden Indonesia, bukan
Presiden Amerika Serikat yang 3-4 bulan lagi akan berkunjung ke Indonesia.
 
Disini tidak akan dibahas panjang lebar mengenai keuntungan
apa yang akan dipetik Al-Qaeda jika Presiden Amerika Serikat berhasil diserang
(terlepas tewas atau tidak) sewaktu berkunjung di Indonesia. 
 
Salah satunya diantaranya, tentu Amerika Serikat akan
mempersalahkan Indonesia, dan itu dari sudut pandang keuntungan buat Amerika
Serikat, akan dapat menjadi senjata utama untuk makin menekan Indonesia agar
semakin bertekuk lutut menuruti kemauan dan kepentingannya Amerika serikat.
Bahkan, bukan tak mungkin, Indonesia akan dijadika Irak yang kedua.
 
Bagi Al-Qaeda, sikap dan tindakan Amerika Serikat itu, akan
membuat justifikasi dan legitimasi yang kuat bahwa Jihad Qital melawan Amerika
Serikat tak hanya sah dilakukan di Irak dan Afghanistan saja. Namun, wilayah
Indonesia pun menjadi wilayah yang wajib Jihad hukumnya, karena Amerika Serikat
telah secara fisik melakukan agresi terhadap negeri zamrud khatulistiwa ini.
 
Ini sebenarnya menarik untuk dibahas tersendiri, apa
kira-kira reaksi rakyat Indonesia jika Amerika Serikat melakukan Irakisasi
terhadap Indonesia, apakah akan melawan atau nrimo dan menyambut riang gembira
kedatangan bala tentara Amerika Serikat ?. 
 
Tentu akan terbelah sikap rakyat Indonesia, sama seperti
hari ini bagaimana sikap rakyat Indonesia terhadap Amerika Serikat. Ada yang
akan melawan dan melakukan politik non-kooperatif, namun tentu ada yang akan
berkawan dan melakukan politik kooperatif.
 
Sebaiknya nanti lain waktu dibuat saja suatu tulisan,
bagaimana sikap rakyat Indonesia, siapa akan bersikap apa. 
 
Lain hal tentang sasaran utamanya adalah Obama, jika dibaca
dari catatan kaki di sumber berita dan artikel terkaitnya, bukan hanya pendapat
penulis saja, namun juga ada pengamat inteljen yang menengarai hal yang sama. 
 
Kembali ke pokok bahasan. Strategi pengaturan berita media
bahwa target Al-Qaeda adalah Presiden Indonesia, telah berhasil mambuat
Al-Qaeda menjadi common enemy dari
mayoritas rakyat Indonesia. Setidaknya relatif lebih mayoritas dibandingkan
waktu Bom Balinya Imam Samudera. 
 
Ini tak lepas dari peran kharisma pak SBY yang lagi berada di top
performance mampu meredam popularitas Osama bin Laden. Dalam top
performance figurnya, siapa pun yang dianggap musuh dan mengancam pak SBY akan
dimusuhi oleh rakyat Indonesia.
 
Jangankan Osama bin Laden yang memang dipresepsikan sebagai brengsek oleh 
sebagian rakyat Indonesia.
Bahkan seseorang yang bukan teroris tapi bertindak sebagai pengritik yang tidak
setuju dengan kebijakannya pun akan tak ampun lagi pasti dimusuhi oleh rakyat
Indonesia.     
 
Jadi, sangat tepat strategi pengaturan berita media ke ranah
public untuk membentuk opini bahwa target Al-Qaeda bukan Presiden Amerika
Serikat yang akan berkunjung ke Indonesia, tapi targetnya adalah Presiden
Indonesia.  
 
Namun rupanya hal itu dianggap belum cukup, masih ditambah
pula dengan rencana untuk melibatkan TNI dalam perang global ala Indonesia
dalam melawan Teroris Islam.
 
Tak ada salahnya mempergunakan kekuatan angkatan bersenjata
untuk melawan sesuatu yang membahayakan Negara. Namun jika tidak hati-hati,
bukan tak mungkin akan tergelincir kembali ke masa lalu dimana ada over dosis
didalam mempergunakan kekuatan TNI. Sehingga ibarat membunuh lalat tentulah tak
perlu memakai meriam. Selain itu, untuk menghindarkan penggunaan kekuatan TNI
untuk tujuan lainnya, yang paling fatalnya adalah untuk melanggengkan kekuasaan
politik, sebagai misalnya.
 
Dalam kaitan soal ini, Letjen (Purn) Agus Widjojo,anggota Unit Kerja Presiden 
untuk Pengelolaan Program dan
Reformasi,meminta semua pihak untuk
mempelajari lebih rinci isi Pasal 7 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang
TNI.Sehingga apabila rencana
pelibatan militer dalam upaya penanganan terorisme itu diteruskan, akan tidak
melenceng dari ketentuan perundang-undangannya. 
 
Dalam pasal itu memang
diatur tugas pokok TNI dalam ‘Operasi
Militer Selain Perang’ (OMSP). Namun, dalam OMSP, termasuk dalam perang
melawan terorisme, diatur suatu ketentuan dimana OMSP itu hanya bisa dijalankan
jika dengan didasari kebijakan dan keputusan politik negara.
 
“Jadi, jangan cuma bicara,
militer bisa dilibatkan. Silakan, tetapi presiden harus keluarkan dahulu
keputusan politik. Entah berbentuk keputusan presiden atau peraturan
pemerintah. Kalau mau menggunakan tentara, harus sesuai konstitusi. Jangan
nanti malah mengorbankan TNI”, kata Letjen
(Purn) Agus Widjojo..
 
Nantinya, dalam keputusan politik itu haruslah berisi rincian
kewenangan apa saja yang akan diberikan, dan apa saja yang bisa dilakukan oleh 
TNI, termasuk tenggat
pemberlakuan kewenangan tersebut. 
 
Ideal waktu enam bulan, setelah itu dilakukan evaluasi untuk
menentukan apakah kewenangan yang diberikan akan diperpanjang kembali. Dengan
demikian, keterlibatan militer dalam penanganan masalah keamanan, seperti kasus
terorisme, tidak berlarut-larut sehingga malah bisa menimbulkan persoalan baru.
 
Hal lain yang perlu diingat, ini hal yang paling esesnsial dan
mendasar, adalah tentara (kekautan angkatan perang) di belahan dunia mana pun,
di negara mana pun juga, tidak pernah dirancang atau dilatih untuk menjalankan
fungsi penegakan hukum. 
 
Fungsi penegakan
hukum itu tetap menjadi mainstream
kewenangannya kepolisian. 
 
“Jadi, harus tegas maunya seperti apa. Hanya dengan begitu, TNI
bisa terlindungi ketika mereka ditugaskan masuk ke dalam wilayah keamanan dalam
negeri pada masa damai. Jangan malah TNI disuruh bergerak sendiri, apalagi
sampai minta-minta untuk dilibatkan. Memangnya, dia merasa lebih jago ?”,
tambah Letjen (Purn) Agus Widjojo.
 
Sementara itu, anggota Komisi I Fraksi PDI-P, Andreas Pareira, mempunyai
pendapat yang hamper serupa dengan yang disampaikan Letjen (Purn) Agus Widjojo. 
Katanya, pendekatan
militer bukanlah pilihan tepat walau dalam konteks tertentu hal itu tetap
dimungkinkan sepanjang dilakukan dengan benar. Artinya, didahului keputusan
politik sesuai yang diatur dalam UU. Keputusan politik itu bisa dalam bentuk
peraturan pemerintah atau peraturan presiden.
 
Apakah pendapat kedua tokoh itu berlebih-lebihan dan asal njeplak
koar-koar dan lebay saja ?. Atau jangan-jangan kedua tokoh itu mengidap
penyakit paranoid terhadap sejarah masa lalu bangsa ini saja ?.
 
Jika mengingat apa yang pernah terjadi di Amerika Serikat,
rasanya memang tidak berlebihan. Belakangan ini, terungakap banyak hal
penyelewengan yang pernah dilakukan Presiden Bush berkaitan dengan cek kosong 
kewenangannya yang berkaitan
dengan perang global Amerika Serikat terhadap terorisme berawal dari legitimasi
dan jutifikasi dari peristiwa 911.
 
Salah satunya, terbongkarnya teknik penyiksaan tak
berperikemanusiaan yang pernah dilakukan dalam membuat para tersangka
membeberkan sejumlah rencana dan pelaku terorisme.Penyiksaan itu mulai 
berlangsung sejak serangan 11 September 2001.
 
Terlihat bagus, karena berhasil membongkar pengakuan dari
tersangka. Tapi berapa tersangka yang
salah tangkap yang juga disiksa dengan teknik serupa ?.
 
Tak hanya itu, Presiden Bush konon juga memerintahkan CIA untuk
menyewa para pembunuh dari perusahaan jasa keamanan swasta, Blackwater. 
 
Perusahaan ini adalah perusahaan yang diotaki oleh mantan
Wakil Presiden AS, Dick Cheney, dan mantan Menteri Pertahanan AS, Donald
Rumsfeld. Perusahaan, yang kini sudah berganti nama menjadi Xe Services itu 
disewa untuk membunuh
para tokoh Al Qaeda. 
 
Para pegawai Blackwater ini lagaknya melebihi aparat resmi
Negara, tindakan ugal-ugalan dan sewenang-wenang serta berpenampilan seperti
koboi.
 
Itulah yang mungkin ingin dihindari oleh para tokoh yang
mencoba arif bijaksana dalam menangani masalah terorisme ini. Semangatnya
hanyalah, jangan menyelesaikan satu masalah dengan sembrono yang ternyata 
dikemudian
hari malahan mengundang lebih banyak masalah lain yang tak kalah peliknya.
 
Terus bagaimana dengan penanganan di Indonesia saat ini.
Apakah masih dalam batas koridornya ?.
 
Sebelum menjawab pertanyaan itu ada baiknya kita coba
telusuri satu demi satu peristiwa yang telah terjadi, kemudian anda sendiri
sebagai pembacanya silahkan menyimpulkannya sendiri.
 
Belum lama ini, Mabes Polri telah memerintahkan Kepolisian Daerah
untuk meningkatkan upaya pencegahan
tindak pidana terorisme dengan mengawasi
ceramah dan dakwah. 
 
Kepolisian di wilayah-wilayah yang diperintahkan itu, akan
mengikuti dan memantau aktivitas dakwah yang dilakukan selama Ramadan 1430 H. 
Selain itu polisi juga akan membentuk satuan khusus Polwan untuk khusus 
memeriksa orang-orang yang bercadar.
 
Ada beberapa kalangan yang menganggap berlebihan tindakan
ini. Karena soal pengawasan dakwah inilah yang pernah menjadi trade mark rezim
terdahulu yang terkenal dengan represifmenya. Kalau dakwah diawasi, berarti
kita kembali lagi ke zaman rezim Orde Baru, begitu kata mereka.
 
Pengawasan ceramah agama oleh polisi justru bisa mengurangi
kebebasan beragama yang dijunjung dalam negara demokrasi. Kondisi itu
berkebalikan dengan upaya polisi dalam memberantas terorisme selama ini yang
cukup baik sebab tetap dapat dilakukan dalam koridor demokrasi.rencana polisi 
mengawasi dakwah adalah langkah mundur bagi
demokrasi. 


Sebelum itu, Pangdam IV/Diponegoro, Mayjen Hariyadi
Soetanto, juga menyatakan telah meminta masyarakat untuk melaporkan orang yang
mengenakan jubah, bersorban dan berjenggot, pada aparat keamanan. 

Beberapa kalangan tentu berkeberatan soal hal ini. Karena hal ini dinilai 
terlalu memojokan umat Islam. Menggeneralisir
hal seperti itu sebagai ciri-ciri teroris, menunjukkan bahwa sebenarnya aparat
Negara sangat tidak faham peta gerakan Islam.
 
Bahkan, ada yang mengkhawatirkan, bukannya tidak faham,
tapi pura-pura tidak faham, karena ada maksud lain dibelakangnya. Entahlah, apa
benar sinyalemen itu.
 
Namun sebenarnya, kalangan yang menkhawatirkan itu hanya
tidak ingin negara demokrasi ini
gara-gara semangat menggebu tak terkendali secara serta merta berubah kembali 
menjadi negara polisional. Perlu diingat, negara
polisional itu tidak kalah bahayanya dengan negara militer.


Sebenarnya,
hal tersebut diatas, langsung maupun secara tidak langsung, polisi dan TNI telah
melakukan upaya stigmatisasi dan racial profiling bagi mereka-mereka yang
pantas dicurigai sebagai teroris.   

Entah berkait dengan racial profiling yang telah dirilis oleh aparat Negara, 
dan entah pula berkait dengan himbauan
untuk melaporkan itu, entah karena keberhasilan strategi pemberitaan media dari
mr Obama ke pak SBY, entah karena situasi
psikologis masyarakat pasca peledakan bom di Jakarta, nyatanya mereka yang
berjenggot dan bersurban serta bergamis sudah mulai dipantau dan mendapatkan
perharian khusus oleh masyarakat. Sehingga keberadaan mereka mulai ada yang
melaporkannya kepada polisi. 
 
Hasilnya, para anggauta Jamaah Tabligh itu memang berpenampilan berjenggot, 
bergamis dan berjubah, bersurban, serta bercelana
menggantung, mulai menuai akibatnya.
 
Makruf Hamid, bersama 11 rekannya yang berasal dari Kabupaten Mandai, Sulawesi 
Tengah, tiba-tiba dia diciduk polisi seusai shalat Ashar
di Masjid Nurul Huda, Desa Sida Kangen, Kecamatan Kalimanah, Purbalingga, Jawa
Tengah. Mereka ditangkap sewaktu melakukan aktivitas khuruj, melakukan 
perjalanan dakwah yang singgah dari masjid ke masjid.
 
Begitupun dengan 18 anggota Jamaah Tabligh asal Filipina. Mereka
masuk daerah Jateng setelah lebih dulu singgah di Jakarta. Dari Jakarta mereka
naik kereta api, sebagian turun di wilayah Banyumas dan sebagian lainnya turun
di wilayah Surakarta. Setelah itu mereka melakukan kegiatan dakwah keliling di
banyak tempat.


Sesungguhnya,
komunitas Jamaah Tabligh ini apolitis,
baik dalam internal pengajiaannya maupun eksternal gerakan dakwah yang
dilakukannya. Boleh dibilang, Jamaah Tabligh ini steril secara politik, tidak
terafiliasi dengan kekuatan partai politik manapun juga. 
 
Justru
hal berbeda apabila kita lihat di Jamaah
Pengajian Liqo’. Komunitas ini, seperti banyak diketahui umum, terafiliasi
dengan parpol PKS. Seperti juga diketahui bersama, jaringan jamaah Pengajiaan
Liqo’ ini, pada Pilpres 2009 yang kemarin, mempunyai andil yang sangat
signifikan dan sangat berperan besar dalam mendukung kemenangannya
SBY-Boediono.
 
Semoga bukan
karena itulah maka Komunitas Jamaah Tabligh lebih di-teroris-kan dibandingkan 
dengan Jamaah Pengajian Liqo’. 
 
Seperti diketahui, salah seorang anggota DPRD Tangerang
asal PKS, Drs Anugerah adalah kakak dari dua DPO Saifuddin Jaelani (SJ) alias
Syaifudin Zuhri dan M Syahrir alias Aing. 
 
Belum ada kabar apakah anggota PKS itu ditangkap juga
seperti halnya anggota Jamaah Tabligh, atau tidak.
 
Hal lainnya, perang global melawan terorisme ini perlu
disikapi dan dikelola dengan hati-hati. Jika tidak bisa jadi akan menimbulkan
benturan horizontal layaknya yang poernah terjadi ditahun 1965 saat memberantas
para penganut dan pengikut Komunis PKI.  
 
Entah ini merupakan awal, atau tidak. Yang jelas rumah
Urwah alias Bagus Budi Pranoto, buron kasus terorisme, di Kadokan, Sukoharjo,
dilempari orang. akibat lemparan batu dan batu bata itu, salah satu kaca jendela
rumah yang belum selesai dibangun itu pecah.
 
Puluhan warga yang tinggal di kawasan Cijeruk, Bogor, Jawa
Barat membakar 2 buah gubuk berukuran 3x4 dari terpal biru yang berada di tengah
sawah persis di kaki Gunung Salak. Diduga tempat itu kerap digunakan oleh 
kelompok yang disuga oleh masyarakat sebagai
kelompoknya para terorisme.
 
Perlakuan masyarakat terhadap keluarga pelaku terorisme juga
dinilai mulai berlebihan.
 
Bahkan hukuman yang diterima mereka, sudah mirip dengan Social punishment yang 
pernah diterima
oleh keluarga mantan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) zaman tahun 1965-an
yang telah silam.

Menurut pakar psikologi, dampak akibat perlakuan ini
akan berpengaruh sampai dua generasi di bawah keluarga tersebut. Celakanya, ini
bukan penyelasaian, karena justru dengan perlakuan itu, kemungkinan mereka
untuk menjadi teroris pun malah sangat besar.

Untuk itu, sesungguhnya diperlukan langkah pencegahan
yang efektif dari pemerintah. Jika merujukm kepada apa yang pernah dilakukan di
beberapa Negara, seperti Iran dan Irlandia, mereka keluarga para teroris,
dipindahkan ke lingkungan baru agar berganti suasana. Di lokasi tersebut,
mereka kemudian dibina oleh Departemen Sosial

Cara tersebut terbukti mampu mencegah terulangnya
regenerasi teroris. Sebab, lingkungan yang baru tidak akan menekan keluarga
para keluarga. Anak-anak keturunan mereka juga tidak akan melakukan rebel atau
perlawanan lagi.
 
Nah, sekarang terserah kepada pemerintah. Dalam peperangan
melawan Teroris Islam Indonesia yang menurut racial
profiling-nya para aparat adalah mereka yang berjenggot, bergamis dan berjubah, 
bersurban, serta bercelana menggantung, ini akan menggunakan metoda 
pemberantasan
PKI tahun 1965 yang telah silam. Ataukah ada metode yang lebih baik dari itu ?.
 
Wallahualambishshawab. 
 
***
Catatan Kaki :
 
Referensi Sumber Berita dan Artikel Terkait :
        * Teroris Memang
Tunggu-tunggu Kedatangan Obama ke Indonesia, klik disini
        * SBY Perlu Terus Terang,
klik disini
        * Penembakan Obama
Dirancang di Rumah Urwah, klik disini
        * Apa Kaitan Castel Asia
dengan Bom Marriot-Carlton ?, klik disini.
        * Tentara Tak Dirancang
untuk Tegakkan Hukum, klik disini
        * Polisi Awasi Dakwah,
klik disini
        * Pantau Dakwah Ramadan,
Polisi Bergaya Orba, klik disini
        * Penyiksaan oleh CIA
Dibeberkan, klik disini
        * Obama Bentuk Unit
Khusus untuk Interogasi Teroris, klik disini
        * Pengawasan Ceramah
Agama Dinilai Kontraproduktif, klik disini
        * Poliis Lecehkan Dakwah,
klik disini
        * Berdakwah tak Lagi
Nyaman, klik disini
        * Terorisme Media, klik disini
        * My Name Is Khan, klik disini
        * watch your name, klik disini dan disini serta disini
        * Indonesia yang Semakin
Meng-Amerika ?, klik disini
        * Mencurigai Jenggot,
Mengawasi Dakwah, klik disini
        * Polisi Menyuburkan
Stigma Islam adalah Teroris, klik disini
        * Awas!! Skenario “BABAT
RUMPUT” Terhadap Fundamentalis Islam, klik disini
        * (Copas) A.E.Priyono:
Mereka adalah Neo Orde Baru, klik disini
        * Lacak Teroris, Pemilik
KTP Ganda Perlu Diperiksa, klik disini
        * Polri : 18 Jamaah
Tablig Asal Filipina Tak Punya Izin Ceramah, klik disini
        * Polisi Sulit Periksa
Anggota DPRD Asal PKS, klik disini
        * PKS : Bahaya dan
Sumber Ketegangan Baru, klik disini
        * Dilempari Orang, Kaca
Rumah Urwah di Sukoharjo Pecah, klik disini
        * Warga Bakar Tempat
Persembunyian 'Syaifudin Zuhri' di Kaki Gunung Salak, klik disini
        * Perlakuan Masyarakat
pada Keluarga Teroris Mirip Zaman PKI, klik disini
***
Artikel ini juga dapat dibaca di Kompasiana dengan mengklik disini atau juga 
dapat dibaca di Politikana dengan mengklik disini
***


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke