*Merumahkan korban gempa
Korban gempa sebaiknya mendapat kemudahan fasilitas kredit* Bisa dipastikan
para korban gempa yang rumahnya rusak berat akan kesulitan mencari tempat
tinggal yang layak, walaupun ada bantuan tenda darurat kondisinya akan serba
terbatas.

Agar kehidupan mereka bisa kembali produktif, saat ini menyiapkan rumah yang
layak bagi mereka adalah kebutuhan penting penanganan pascabencana.

Penyediaan rumah ini bisa diartikan dua hal yaitu; pertama, pemugaran rumah
yang rusak dengan merenovasi agar tampak seperti semula atau membuat pondok
sementara di samping rumah mereka yang rusak, serta perbaikan infrastruktur
lingkungan sekitar. Kedua, penyediaan rumah baru yang dibangun dalam satu
kawasan terpadu bagi korban gempa yang rumahnya sudah hancur total.

Dalam hal perbaikan rumah yang rusak ini memang sulit sekali direalisasikan
oleh warga, mengingat biaya yang dikeluarkan akan besar dan prosesnya pun
membutuhkan waktu lama. Selain itu bantuan yang diberikan untuk proses
renovasi sering kali tidak cukup untuk membangun kembali rumah yang rusak.
Biasanya kebanyakan warga lebih memilih merenovasi seadanya dan menggunakan
uang bantuan tersebut untuk hal-hal lain.

Untuk itu proses rekonstruksi rumah warga korban gempa tersebut perlu
dilakukan secara bertahap mulai dari penyediaan rumah sementara yang layak,
pembangunan rumah baru hingga perbaikan infrastruktur dan rencana tata ruang
yang sesuai dengan kepentingan daerah. Semua itu perlu dikoordinasi oleh
pemerintah secara menyeluruh dan terpadu. Dalam proses pelaksanaannya perlu
melibatkan warga secara partisipatif, agar hasilnya bisa diterima warga
korban gempa.

Proses penyediaan rumah sementara bisa dilakukan dengan desain yang serba
minimalis baik dari segi bahan maupun luasan yang terpenting warga bisa
berteduh layak. Namun, perlu dipikirkan biaya pembangunan pondok sementara
tersebut dengan biaya rekonstruksi secara total, jika perbedaanya tidak
banyak. Maka lebih baik membangun secara total.

Sebetulnya untuk penyediaan rumah bagi korban gempa pilihan dengan
menyediakan rumah pada kawasan baru yang sesuai dengan rencana tata ruang
kawasan di daerah tersebut lebih mudah dilakukan daripada harus
merekonstruksi rumah rusak pada area yang sama. Dengan menyediakan rumah di
kawasan baru, proses perencanaannya akan lebih terpadu dan bisa dilakukan
secara sistematis.

Namun, untuk membangun kawasan terpadu tersebut perlu prinsip kehati-hatian
karena warga sering kali menolak untuk direlokasi ke kawasan baru, mereka
lebih memilih bertahan ditempat lama karena alasan lahan tersebut sudah lama
menjadi tempat tinggal atau ada alasan-alasan prinsip yang sulit untuk
diubah.

Belajar dari proses rekonstruksi gempa yang terjadi di Aceh, banyak bantuan
baik dari Indonesia maupun dari luar negeri yang fokus memberikan bantuan
pengadaan rumah. Dari sekian banyak bantuan itu, ada beberapa kasus
penolakan warga terhadap pemberian bantuan rumah tersebut.

Hal itu dikarenakan warga tidak dilibatkan dalam mendesain bangunan yang
sesuai dengan kebiasaan adat istiadat warga didaerah tersebut. Untuk itu
penyediaan rumah ini perlu dilakukan secara partisipatif dan dilakukan
secara bertahap sesuai kehendak warga sekitar.

*Kebutuhan rumah*

Dalam penyediaan rumah bagi korban gempa pada kawasan baru secara
partisipatif, ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan yaitu; pertama,
melakukan identifikasi secara menyeluruh mengenai kebutuhan jumlah unit
rumah dan lahan yang akan dibangun sebagai kawasan perumahan bagi korban
gempa. Kedua, melakukan perencanaan partisipatif dalam menentukan
pelaksanaan pembangunan fisik rumah dan sarana-prasarana kawasan baru
perumahan tersebut. Ketiga, membentuk organisasi manajemen estat kawasan
perumahan tersebut agar tertata dengan rapi.

Proses identifikasi mengenai kebutuhan jumlah unit rumah yang akan dibangun
dan lahan yang siap untuk dijadikan kawasan baru ini, dimulai dengan mendata
setiap warga yang terkena gempa dengan cara membentuk kelompok kecil antar
warga, setiap kelompok kecil tersebut diberikan kewenangan untuk merumuskan
kebutuhan dan anggota yang berhak mendapat rumah.

Pihak pemberi bantuan atau donor hanya memonitor prosesnya dan menyusun
rencana kerja secara menyeluruh sekaligus menyiapkan bujet untuk proses
penyediaan rumah tersebut.

Setelah itu proses perencanaan partisipatif yaitu merencanakan proses
pelaksanaan pembangunan fisik rumah yang akan disediakan bagi korban gempa.

Proses itu sedianya hanya diikuti oleh koordinator perwakilan kelompok
warga, sehingga prosesnya lebih cepat. Selebihnya masukan warga akan
diterjemahkan oleh pengembang dan tim konsultan lainnya untuk membangun
kawasan terpadu.

Selama proses pembangunan berjalan, proses pengorganisasian warga tetap
harus dilakukan terutama menyangkut penempatan dan pengaturan manajemen
estat kawasan baru tersebut. Dengan adanya proses partisipatif, warga
menjadi bagian dari proses rekonstruksi tersebut, sehingga hasilnya bisa
diterima warga.

Dalam proses partisipatif tersebut, memang tidak mudah melakukan komunikasi
dengan warga korban gempa. Mereka biasanya sulit untuk diajak berkomunikasi
karena trauma.

Membangun kembali semangat hidup mereka butuh kesabaran, yang perlu diingat
cara berkomunikasi dengan para korban gempa tidak menampakkan seolah-olah
para pemberi bantuan adalah raja yang perlu diikuti semuanya. Perlu sikap
yang sama rata sama rasa yaitu bersikap sewajarnya berempati secara mendalam
sambil mendorong agar mereka semangat menyongsong hidup baru.

Dalam proses penempatan rumah bagi korban gempa tersebut, apakah warga
mendapatkan rumah secara gratis? Dalam hal ini perlu dipikirkan mekanisme
memperoleh rumah tersebut, menurut hemat penulis proses memperoleh rumah
tersebut tidak gratis melainkan warga korban gempa diberi berbagai kemudahan
misalnya dengan fasilitas kredit.

Hal itu dilakukan untuk membangun tanggung jawab warga korban gempa dalam
merawat rumah juga dalam kaitannya dengan sumber dana pembangunan kawasan
tersebut.

Kemudahan yang bisa diambil oleh para pemberi bantuan kepada korban gempa
khususnya dalam hal penyediaan rumah ini adalah dengan memperbolehkan warga
korban gempa tidak melalui proses bankable seperti; administrasi uang muka,
kependudukan, slip gaji, bunga cicilan yang berat, dan sistem cicilan yang
ringan.

Untuk menghindari risiko yang lebih besar Bank harus memiliki sistem seleksi
khusus penerima kredit pemilikan rumah atau KPR khusus ini dengan cara
menerapkan sistem kelompok kecil yang memiliki tanggung jawab atas pinjaman
yang macet.

Penerapan sistem ini adalah salah satu sumbangsih dalam meringankan korban
gempa. Sehingga mereka bisa tetap memiliki optimisme dalam memulai kehidupan
baru, dengan adanya kemauan dari semua pihak terkait penyediaan rumah ini,
bantuan yang seperti ini, akan lebih berguna dan bermanfaat bagi mereka.

Oleh *Ilham M. Wijaya*
Direktur Badan Diklat DPP Realestat Indonesia (REI), Ketua Masyarakat Peduli
Perumahan dan Permukiman Indonesia (MP3I) DKI Jakarta


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke