UU Keistimewaan DIY, Kemarin Menggantung, kini Tak Jelas
lokasi: Home / Berita / OPINI / [sumber: Jakartapress.com]

Rabu, 21/10/2009 | 11:00 WIB 
UU Keistimewaan DIY, Kemarin Menggantung, kini Tak Jelas

OLEH: ARIEF TURATNO
RANCANGAN Undang-Undang (RUU) Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY) yang dijadwalkan rampung sebelum akhir jabatan pertama
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ternyata sampai dengan 
berakhirnya jabatan Presiden tersebut belum juga selesai. Sebelumnya,
sudah kita ungkap di rubric ini, bahwa dengan kemenangan secara
meyakinkan pasangan SBY-Boediono dalam Pemilu Presiden (Pilpres) 8 Juli
2009, maka kemungkinan besar nasib RUU Keistimewaan DIY bakal
menggantung.
Sekarang RUU itu tidak hanya menggantung, malah semakin tidak jelas.
Mengapa? Sebelum Pemlu Legislatif (Pileg) 9 Aperil 2009, dan
dilanjutkan Pilpres 8 Juli 2009, sebenarnya Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPR-RI) sudah membahas RUU tersebut. Bahkan ada
yang menyebutkan pembahasan itu sudah hampir sampai finalisasi.
Pertanyaannya adalah mengapa kemudian molor? Mengenai tersendat atau
molornya pembahasan RUU itu terjadi,  ketika sampai kepada Pemilihan
Kepala Daerah (Pilkada).
Sebagian pembahas menghendaki agar diadakan Pilkada
langsung—kabarnya ini usulan dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri)
Mardiyanto—alasannya, karena Pilkada langsung adalah amanat UU No
22/1999 tentang Pemerintahan Daerah atau yang kemudian lebih dikenal
dengan sebutan Undang-Undang tentang Otonomi Daerah (Otda). Dalam
revisi UU tersebut, yakni UU No 32/2004 pun sama, agar semua Kepala
Daerah dipilih langsung melalui mekanisme Pilkada.
Kontan sikap dan pandangan semacam itu mendapat reaksi keras dari
semua elemen masyarakat DIY. Mereka melakukan demo yang menolak rencana
Pilkada langsung tersebut. Alasan penolakan adalah dengan adanya
Pilkada langsung sama artinya dengan menodai keistimewaan DIY. Padahal,
sesuai dengan amanat Presiden RI pertama, Ir Soekarno—tahun 1950—Yogya
karena keistimewaannya, jabatan Gubernur secara otomatis dijabat Raja
Ngayogyakarta Hadiningrat, yakni Sultan Hamengku Buwono. Maka jadilah
Sultan Hamengkubuwono ke IX sebagai Gubernur DIY.
Ketika Sultan Hamengkubuwono IX wafat, jabatan Raja digantikan
Hardjuno Darpito yang kemudian setelah menjadi Sultan bergelar Sultan
Hamengkubuwono ke X. Dan secara otomatis pula, Sultan Hamengkubuwono
diangkat menjadi Gubernur DIY menggantikan ayahandanya. Namun sejak
reformasi bergulir, berhembuslah angina berubahan, dan ada yang mulai
mengusik ketenangan Keraton Yogya. Karena itu, sebagai wujud protes
ketidakkonsistenan pemerintah, Sultan Hamengkubuwono X mengancam tidak
akan mencalonkan diri bilamana untuk Kepala Daerah DIY dilakukan
Pilkada langsung.
Sikap Sultan tersebut mendapat respon luar biasa dari rakyat Yogya
yang merasa berhutang budi kepadanya. Mereka demo dengan menolak
rencana Pilkada langsung, sekaligus mempertanyakan soal RUU
Keistimewaan DIY tersebut. Mendagri Mardiyanto yang sebentar lagi akan
diganti, kemudian mengusulkan agar Pilkada di DIY dilakukan oleh DPRD
setempat. Jadi Mardiyanto ingin menerapkan model yang pernah
diberlakukan sesuai dengan Undang-Undang No 5 tahun 1974 tentang
Pemerintahan Daerah, sebelum diperbarui dengan UU No 5 tahun 1979, UU
No 22/1999 dan terakhir UU No 32/2004.
Kontan usulan tersebut kembali ditolak rakyat Yogya yang menyebut
sikap Mendagri sebagai akal-akalan saja. Dengan begitu, pembahasan RUU
Keistimewaan DIY itu seakan mati suri. Sekarang, dengan tampilnya
DPR-RI yang baru, maka mereka yang menghendaki adanya status yang jelas
soal Keistimewaan DIY kembali berharap, agar masalah tersebut diproses.
Hanya saja, harapan ini pun nampaknya tinggal harapan. Sebab DPR-RI
yang baru tentu tidak berkeinginan melanjutkan masalah yang lama.
Terlebih jika PR peninggalan anggota dewan yang lalu banyak menyimpan
bom waktu.
Dengan demikian, maka nasib RUU Keistimewaan DIY pun semakin tidak
jelas alias tidak menentu. Kapan dibahas nya pun kita belum tahu,
apalagi jika ditanya, kapan rampungnya? Sementara jabatan Gubernur DIY
yang diperpanjang tiga tahun hampir selesai. Pertanyaannya adalah
bagaimana jika perpanjangan jabatan tersebut usai, sementara RUU
Keistimewaan DIY belum juga menjadi UU? Jawabnya, kemungkinan kembali
kepada aturan yang lama. Artinya, Sri Sultan Hamengkubuwono X tetap
menjadi Gubernur DIY sampai ada aturan lain yang lahir. (*)
RE:UU Keistimewaan DIY, Kemarin Menggantung, kini Tak Jelas 

Rabu, 21/10/2009 | 22:49 WIB, oleh Pandji R Hadinoto
Dikotomi Gubernur PilKaDa vs Pemangku Adat Kerajaan mendera DIY dalam kerangka 
perUUan yang diberlakukan.
Namun Sejarah mencatat bahwa DIY adalah Ibukota saat Mempertahankan
Proklamasi Indonesia Merdeka 1945-1949, bahkan menurut keterangan
almarhum bapak Joesoef Ronodipoero kepada penulis di gedung DHN45,
bahwa HB IX telah menyerahkan sejumlah tunai bermata uang gulden dari
aset beliau kepada pemerintah RI kala itu, yang dapat dianggap sebagai
“initial balance” keuangan negara RI.
Oleh karena itulah Keistimewaan DIY perlu berlanjut ditegakkan dan
dikawal, guna menghindari ingkar janji yang berdampak dosa politik
lahir batin.
Saran penulis adalah digunakan istilah Gubernur Jenderal atau
Gubernur Kehormatan berdasarkan kontrak politik yang berlaku antara
Presiden Soekarno dengan HB IX kala itu, sehingga ada pembedaan dengan
istilah Gubernur berdasarkan PilKaDa.
Dengan demikian dikotomi sirna sekaligus menghormati sejarah
kebangsaan dan kenegaraan RI., sekaligus perkuatan sila ke-3 Pancasila
yaitu Persatuan Indonesia.
Politika Konstitusi Pancasila Indonesia [www.pkpi.co.cc]


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke