Urgensi Supremasi Sipil bagi Polisi
Oleh Nico Harjanto
Peneliti CSIS dan kandidat Doktor Ilmu Politik, Northern Illinois University USA
 
Reformasi yang telah satu dekade masih menyisakan banyak persoalan mendasar. 
Salah satunya adalah belum diletakkannya Polri di bawah otoritas sipil. Sebagai 
salah satu elemen keamanan, polisi sudah seharusnya berada di bawah kendali 
otoritas sipil sebagaimana telah berlaku untuk Tentara Nasional Indonesia. 
Penempatan ini menjadi mendesak karena institusi kepolisian di Indonesia masih 
hierarkis dan sentralistis, sehingga pimpinan Polri benar-benar memiliki 
otoritas luas dalam hal penganggaran, pembinaan personel, penggunaan 
sumber-sumber daya, dan urusan politik lainnya. Karena berada langsung di bawah 
Presiden dan pengawasan oleh DPR yang tidak bisa optimal, kemungkinan 
penyalahgunaan wewenang sangatlah besar dan perbaikan kinerja dan 
profesionalisme polisi menjadi tergantung sekali pada ‘selera’ pimpinan Polri. 

Kasus kontroversial terakhir yang sangat mempertaruhkan integritas dan 
profesionalisme Polri adalah pemeriksaan terhadap dua pimpinan KPK dengan 
dugaan kesalahan yang berganti-ganti dan bahkan indikasinya pun dibantah oleh 
pihak-pihak yang terkait. Polisi tidak saja mempertaruhkan kepercayaan publik 
yang sangat sulit didapatkan karena banyaknya perilaku korup di kalangan 
kepolisian. Namun, tindakan tersebut telah mengancam dasar-dasar demokrasi yang 
telah dibangun dengan susah payah selama ini. Pemeriksaan terhadap dua pimpinan 
KPK di tengah adanya upaya pengungkapan kasus besar yang telah merugikan 
triliunan uang rakyat dipandang merupakan bentuk bela diri dan balas dendam 
dari salah satu pimpinan Polri. Ini tentu ancaman besar buat demokrasi 
Indonesia, karena lembaga negara dapat dipergunakan oleh individu pimpinan 
untuk melindungi perilakunya yang layak diinvestigasi lebih lanjut. 

Demokrasi juga terancam karena upaya pemberantasan korupsi yang merupakan extra 
ordinary crime dapat mengalami kemunduran. Demokrasi tidak hanya terkonsolidasi 
dan stabil ketika ada pemilu yang rutin, pergantian kepemimpinan yang damai 
maupun tingkat kehidupan ekonomi masyarakatnya telah mencapai sekian ribu 
dollar perkapita. Basis prosedural dan ekonomi tentu penting untuk demokrasi 
bisa berkembang. Akan tetapi, demokrasi hanya bisa bertahan dan terus mengalami 
pendalaman ketika korupsi, money politics, pelanggaran hak-hak asasi manusia, 
dan kejahatan luar biasa lainnya dapat ditekan seminimal mungkin. Dengan 
memeriksa dua pimpinan KPK berdasar bukti-bukti yang lemah dalam pemahaman 
masyarakat saat ini, polisi berarti telah ikut mematikan upaya pemberantasan 
korupsi, dan secara tidak langsung mengancam orde demokrasi. 

Polisi tentu memiliki segudang alasan dengan langkah-langkahnya. Sayangnya hal 
ini tidak bisa diawasi secara efektif. Keberadaan Komisi Kepolisian Nasional 
terasa kurang artinya dalam kasus kontroversi ini karena minimnya otoritas yang 
dimilikinya. Akan berbeda jika polisi berada di bawah otoritas sipil. Mau tidak 
mau setiap langkah penting polisi harus sepengetahuan dan sepersetujuan menteri 
sipil yang menaunginya. Polisi sebagai organ fungsional harus dapat mendapatkan 
clearance dari otoritas politik untuk melakukan tindakan-tindakan yang dapat 
mengancam tertib maupun tatanan politik. Dalam konteks pemeriksaan dua pimpinan 
KPK ini, polisi harusnya bisa meyakinkan dulu menteri sipil yang menaunginya 
sebelum melangkah dengan pemeriksaan maraton belasan jam yang rasanya kurang 
tepat untuk dua pimpinan KPK yang sejauh ini tidak memiliki rekam jejak buruk. 

Demikian pula dalam penggunaan kewenangannya, polisi tentunya akan lebih dapat 
dimintai pertanggungjawabann ya ketika ada otoritas sipil yang mengontrolnya 
secara langsung sehari-harinya. Memang Polri saat ini berada di bawah Presiden 
yang notabene adalah otoritas sipil. Namun presiden tidaklah mungkin untuk 
melakukan kontrol sehari-hari terhadap pelaksaan tugas dan wewenang polisi. 
Oleh karena itu, sangat mungkin sekali pimpinan polisi memanfaatkan kelemahan 
institusional ini untuk kepentingan- kepentingan sempit dan pribadi lainnya. 
Presiden juga memiliki kendala psikologis untuk langsung mengontrol polisi 
karena ada ketakutan dianggap intervensi ke dalam lembaga keamanan negara yang 
seharusnya obyektif. 

Polisi saat ini semakin kuat dan anggarannya meningkat terus. Ditambah dukungan 
dari negara-negara sahabat, polisi telah mampu mengembangkan berbagai macam 
kemampuan untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Sayangnya peningkatan kemampuan 
teknikal dan manajerial ini tidak diimbangi dengan peningkatan kontrol secara 
kelembagaan dan rutin. Akibatnya, sulit bagi rakyat untuk meminta 
pertanggungjawaban polisi terhadap kinerjanya. Padahal polisi masih memiliki 
banyak sekali kewenangan eksklusif yang belum diberikan ke lembaga-lembaga 
lainnya. Hanya polisi yang boleh menilang, mengeluarkan surat ijin mengemudi, 
menangkap penjahat, dan lain sebagainya. Padahal semakin hari semakin kompleks 
tantangan keamanan yang ada, dan itu semua tidak mungkin dapat diatasi oleh 
polisi sendiri. 

Ke depan selain mendudukkan polisi di bawah otoritas menteri sipil, perlu juga 
dikembangkan adanya pemberian kewenangan-kewenang an untuk penegakan law and 
order dan pelayanan administrasi terkait ke lembaga-lembaga lain. Surat ijin 
mengemudi misalnya, di hampir semua negara bagian di Amerika diurusi oleh 
kantor Sekretaris Negara Bagian, tidak oleh polisi. Dalam menegakkan aturan di 
jalan raya, aparat keamanan lainnya seperti kantor Sheriff atau bahkan polisi 
kampus dapat melakukannya dan tentunya semua kasusnya masuk ke kantor 
pengadilan. Tidak ada bentrok atau sengketa antar lembaga-lembaga ini karena 
koordinasi dijalankan dengan norma-norma tertib sipil dan secara profesional. 

Hal tersebut tentunya harus dimulai di Indonesia supaya tidak ada alasan lagi 
bagi polisi untuk tidak dapat melindungi masyarakat, menjaga ketertiban, dan 
ikut mengawal demokrasi karena minimnya dana, personel, peralatan, dan lain 
sebagainya. Polisi yang civilian dan professional tentunya akan lebih memiliki 
kinerja yang bagus dan peduli dengan tatanan demokrasi yang ada. Adalah menjadi 
tugas mendesak anggota DPR yang baru untuk merumuskan hal ini dalam 
undang-undang kepolisian dan presiden SBY untuk menuntaskan reformasi sektor 
keamanan.


============ =========
http://muhtada. blogspot. com
============ =========
















      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke