Redaksi Kompas dan
Sindo, melalui surat pemanggilan bernomor R/636/XI/2009/Dit II Eksus tertangal
18 November 2009, dipanggil untuk menghadap penyidik Direktorat II Ekonomi
Khusus Bareskrim di Mabes Polri.
 
Pemanggilan itu
terkait dengan pemberitaan yang dimuat kedua media massa pada tanggal 4
November 2009, tentang rekaman dugaan rekayasa kasus Chandra dan Bibit yang
diputar di Mahkamah Konstitusi.
 
Namun, pada hari
Jumat pagi, panggilan tersebut dibatalkan lewat telepon.
Pembatalan itu
ditegaskan oleh Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Pol Nanan Soekarna, kepada
aliansi jurnalis yang melakukan demo di Mabes Polri sebelum salat Jumat.
 
Itu artinya polisi
mengurungkan niatnya memanggil redaksi kedua media massa itu ?.
 
Ternyata tidak, pada
hari Jumat siang, bakda sholat Jumat, redaksi media massa itu mendapatkan
telepon dari Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Pol Nanan Soekarna, agar segera
memenuhi surat panggilan tersebut diatas.
Rupanya polisi tetap
maju tak gentar dalam menindaklanjuti laporannya Anggodo.
 
Laporan Anggodo dan
Bonaran Situmeang serta KAI (Kongres Advokat Indonesia) kepada kepolisian ada
dua buah.
 
Pertama, laporan polisi No.
Pol.: LP/631/X/2009/Bareskrim tanggal 30 Oktober 2009 tentang dugaan telah
terjadi tindak pidana Penyalahgunaan wewenang, pencemaran nama baik dan fitnah,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 421 KUHP jo 310 KUHP jo 311 KUHP.
 
Kedua, laporan polisi No.
Pol. : LP/637/XI/2009/Bareskrim tanggal 2 November 2009 tentang dugaan telah
terjadi tindak pidana Penyalahgunaan wewenang dan penyadapan melalui media 
Elektronik,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 421 KUHP jo Pasal19 ayat (2) UU No 18 Tahun
2003 tentang Advokatjo Pasal 47 UURl No.II Tahun 2008 tentang ITE.
 
Apakah itu artinya Anggodo tetap mampu menunjukkan bahwa gelarnya
sebagai ‘Super Anggodo’ bukan sekedar gelar biasa saja ?.
 
Apakah tak gentarnya Polri dalam menindaklanjuti laporannya Anggodo itu
akan membuat ciut dan gentarnya dewan redaksi kedua media massa itu ?.
 
Selamat datang Era Kendali Media dan Kontrol Berita ?.
 
Wallahulambishshawab.
 
*
Polisi
interograsi Kompas
http://politik.kompasiana.com/2009/11/20/polisi-interograsi-kompas/
*****
 
 

Ditengah mosi
tidak percaya masyarakat akan peran para anggota DPR sebagai media kontrol
sosial terhadap berbagai kebijakan pemerintah, alih-alih malah mereka banyak
yang terlibat kasus korupsi. 
 
Demikian pula
rasa tidak percaya publik kepada para penyidik dan penuntut, maka suara
aspirasi tuntutan keadilan dan kebenaran hanya bisa disampaikan melalui media,
terutama media arus utama.
 
Belajar dari
pengalaman di jaman Orba selama 32 tahun, media seperti kerbau dicocok hidung,
sehingga desakan-desakan arus perubahan terutama iklim demokrasi hanya muncul
seperti buih dilautan, muncul lalu di sapu gelombang kekuasaan tirani Orba.
 
Ditengah
carut-marut penyidik Polri terhadap kasus Bibit-candra, media terutama yang
dialami Koran Kompas dan Sindo seolah akan kembali mengalami teror dari sang
penguasa, walaupun pemanggilan ini dikatakan Polri hanya sebagai saksi namun
kemudian pemanggilan ini dibatalkan, terlepas dari niat Polri atas pemanggilan
ini, setidaknya bagi media dianggap sebagai sock teraphy agar jangan terlalu
berani mengungkap fakta.
 
Ironinya kasus
pemanggilan ini terkait laporan anggodo yang dianggap nama baiknya dicemarkan,
sebegitu wangikah nama baik anggodo sehingga Polri segera menginterogasi
pimpinan media atas pemberitaan transkrip rekaman hasil penyadapan KPK terhadap
anggodo yang dipublish di lembaga MK. 
 
Kalau anggodo
itu orang baik, anggaplah saat itu pejabat KPK mau memeras duitnya, seharusnya
pada saat itulah dia melapor ke Mabes Polri, sehingga bisa dibuat scenario
untuk menangkap basah para pelakunya. 
 
nah, lha
sekarang, apa lacur, ketahuan dan gagal baru lapor, wajar dong publik geram,
anggodo bak maling teriak maling.
 
Kalau sekiranya
media bisa lagi dibungkam seperti jaman Orba, wah.., wah…., para blogger juga
harus puasa dong nulis tentang politik dan hukum, cukup soal-soal topik sex
saja atau sejenis anunya Inge, kalee.
 
Untuk
melengkapi tulisan sederhana ini berikut saya copas beberapa pemberitaan
seputar persoalan media ini.  wallahualam
 
Jakarta -
Puluhan jurnalis yang menamakan diriKoalisi Anti Kriminalisasi Pers tetap 
mendemo Mabes
Polri meskipun pemanggilan pada media massa telah dibatalkan. Mereka
menggantungkan ID Card dan kamera di gerbang Mabes Polri. 
 
“Kami menolak terhadap segala bentuk teror
terhadap pekerjaan kami. Jurnalis dibungkam, hak informasi publik terabaikan.
Jurnalis harus merdeka dan terbebas dari ancaman siapa pun,” demikian
siaran pers yang dibagikan di depan pintu masuk utama Mabes Polri, Jl
Trunojoyo, Jumat (20/11/2009) pukul 10.50 WIB.
 
Kepolisian
diminta agar tidak melakukan pembungkaman pers. 
 
“Jangan lagi dilakukan pemanggilan kepada
media karena dilindungi UU Pers,” kata Ketua Poros Wartawan Jakarta, Parni,
dalam orasinya. 
 
Peserta aksi
juga membawa sederetan poster sebagai bentuk protes. Poster-poster tersebut
antara lain bertulis ‘Anggodo dijamin, Jurnalis Diseret’, ‘Jangan Bungkam
Pers’, ‘Lindungi Kebebasan Pers’, ‘Tolak Kriminalisasi Pers’, dan ‘Save
Journalist’.
 
Rencana pemanggilan redaksi harian Kompas dan Seputar Indonesia oleh polisi
ditanggapi lucu oleh Ketua Umum Megawati Soekarnoputri dalam pembukaan Rakernas
VII PDI-P di Kantor DPP Lenteng Agung, Jumat (20/11). 
 
Awalnya, Mega
enggan berkomentar, menyadari nanti jawabannya akan menggelitik. “Saya ini 
pernah jadi presiden. Jadi,
seharusnya hal-hal yang ada itu diselesaikan dengan cepat, diberi kebebasan
pers. Rasanya dulu saya kok enggak pernah manggil-manggil (media) ya?”
ujarnya.
 
Kompas dan
Sindo dipanggil terkait transkrip rekaman Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
yang akhirnya diputar di Mahkamah Konstitusi (MK).
 
Polisi
mempertanyakan keluarnya transkrip rekaman sebelum rekaman diputar di MK.
 
Pemanggilan
redaksi Harian Kompas oleh Mabes Polri terkait pemberitaan rekaman percakapan
Anggodo Widjojo yang diputar dalam sidang Mahkamah Konstitusi adalah bentuk
intimidasi Polri terhadap media. 
 
Demikian
dikatakan Ketua BP Setara Institute, Kamis (19/11) malam.
Menurut
Hendardi, pemanggilan polisi itu sama sekali tidak berdasar. 
 
“Semua saluran
untuk mempersoalkan keberatan atas sebuah pemberitaan sudah tersedia. Sebaiknya
Polri melakukan konsolidasi internal di tengah ketidakpercayaan publik atas
institusi Polri. Jangan malah urus masalah-masalah yang tidak relevan,” tandas
Hendardi.
 
Ironinya, kata
Hendardi, Polri begitu cepat merespon laporan Anggodo untuk delik pencemaran
nama baik dengan memanggil Harian Kompas. 
 
“Sebaliknya,
Polisi amat lambat dan ogah-ogahan mengusut dugaan percobaan penyuapan yang
dilakukan oleh Anggodo. Langkah Polri ini menggenapi kekhawatiran dan
kecurigaan publik terhadap profesionalitas Polri dalam menangani kasus ini,”
kata Hendardi.
 
Menurut
Hendardi, kepercayaan publik terhadap aparat dan institusi Polri semakin
terpuruk ke titik nadir karena kesan publik saat ini terhadap Polri adalah
kepalsuan, kepanikan, dan salah langkah melulu.
 
*
Mari Peduli
Pada Media
http://new-media.kompasiana.com/2009/11/20/mari-peduli-pada-media/
*****
 



Didalam dokumen final report dari Tim Delapan, atau nama resminya adalah 
‘Laporan dan Rekomendasi dari Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum 
atas Kasus Sdr. Chandra M. Hamzah dan Sdr. Bibit Samad Rianto’, yang 
dikeluarkan hari Senin tanggal 16 Nopember 2009, terungkap temuan bahwa Anggodo 
ternyata bukan hanya ‘Super Anggodo’, namun juga ‘Super Dermawan’.
 
Di bagian Bab II yang memuat tentang Kegiatan Tim Delapan, tepatnya di butir C 
yang memuat perihal Mendengarkan dan Mendalami Keterangan, dijelaskan bahwa 
dalam melakukan pengumpulan fakta, Tim Delapan memulai dengan mendengarkan dan 
mendalami keterangan dari berbagai pihak.
 
Salah satu pihak yang didengar dan didalami keterangannya adalah Edy Widjaya 
yang merupakan pemilik show room Duta Motor.
 
Keterangan Edy Widjaya ini ada dibagian butir S, yang terletak di halaman 14-15 
pada dokumen laporan final itu.
 
Disitu disebutkan bahwa pertemuan dengan Edy Widjaya diadakan pada hari Minggu, 
15 November 2009.
 
Pertemuan dilakukan atas permintaan yang bersangkutan terkait dugaan pemberian 
mobil Mercy kepada Wisnu Subroto (mantan Jamintel Kejaksaan Agung) oleh Anggodo 
– sebagaimana terekam dalam pembicaraan telepon yang disadap oleh KPK.
 
Dalam keterangannya, Edy Widjaya menyatakan Anggodo membeli 2 (dua) buah mobil 
mercy (Mercedes Benz) seri S-300 yang diatasnamakan dua anak Anggodo.
 
Harga satu mobil mercy ter sebut, menurut Edy Widjaya adalah Rp. 1.600.000.000 
alias Rp. 1,6 miliar.
 
Cara pembelian salah satu mobil mercy tersebut, pembayarannya dengan cara 
menukar mobil BMW milik Wisnu Subroto, yang dihargai Rp. 500.000.000 alias Rp. 
500 juta, dan kekurangannya yang sebanyak Rp. 1.100.000.000 alias Rp. 1,1 
miliar itu ditambahkan oleh Anggodo.
 
Itulah salah satu fakta dan bukti tak terbantahkan perihal kedermawanannya 
seorang sosok manusia yang bernama Anggodo.
 
Jika untuk seorang mantan pejabat saja kedermawanannya mencapai sebesar Rp. 1,1 
Milyar, lalu seberapa besar kedermawanannya untuk para pejabat yang belum 
mantan ?.
 
Maka wajar dan menjadi pantas, jika banyak para pejabat di negara Indonesia ini 
yang menyayangi dan melindungi serta membantu segala keinginan dari ‘Super 
Anggodo‘.
 
Inginkah jugakah anda mendapatkan Mercedez Benz seri S-300 ?, cobalah saja 
hubungi ‘Super Anggodo‘ dan berdoa serta berharaplah semoga anda beruntung 
mendapatkan kedermawanan yang serupa.

 
Wallahualambishshawab.
 

*
Catatan Kaki :
        * Dokumen Final Report dari Tim Delapan secara selengkapnya (dari 
halaman 1 sampai dengan halaman 31) dapat dibaca dengan mengklik disini* atau 
disini** .
        * disini* = 
http://politik.kompasiana.com/2009/11/18/dokemen-final-report-tim-delapan/
        * disini** = 
http://politikana.com/baca/2009/11/17/copas-laporan-rekomendasi-final-tim-8.html
*
Anggodo yang Dermawan
http://politik.kompasiana.com/2009/11/18/anggodo-yang-dermawan/
http://politikana.com/baca/2009/11/18/anggodo-yang-dermawan.html
*
 


Redaksi surat kabar harian Kompas dan koran Sindo (Seputar Indonesia) telah 
menerima surat pemanggilan dari Mabes Polri yang tertanggal 18-November -2009.
 
Surat pemanggilan itu memerintahkan kepada redaksi Kompas dan Koran Sindo agar 
menghadap penyidik di Direktur II Ekonomi Khusus, pada hari Jumat tanggal 
20-Nopember-2009 pukul 10.00 WIB.
 
Redaksi harian Kompas dan koran Sindo dipanggil terkait dengan pemberitaan 
tentang rekaman dugaan rekayasa yang diputar di Mahkamah Konstitusi pada 
tanggal 3-November-2009, yang dimuat di kedua media massa itu pada tanggal 
4-November-2009.
 
Pemanggilan itu untuk menindaklanjuti laporan Anggodo Widjojo, adik dari 
buronan Anggoro Widjojo, terkait laporannya kepada pihak kepolisian perihal 
pencemaran nama baik dirinya lewat transkrip rekaman dugaan rekayasa KPK.
 
Laporan dari Anggodo kepada polisi yang tertanggal 30-Oktober-2009 merupakan 
laporannya Anggodo yang tidak terima karena disadap KPK, sebagaimana yang 
diatur dalam pasal 421 KUHP jo 310 jo 311 KUHP tentang pencemaran nama baik dan 
fitnah. 
 
Disamping itu, juga laporan dari Anggodo kepada polisi yang tertanggal 
2-November-2009 merupakan laporannya Bonaran Situmeang, pengacaranya Anggodo, 
perihal tindak pidana penyalahgunaan wewenang dan penyadapan melalui media 
elektronik, sebagaimana yang diatur dalam pasal 421 KUHP jo Pasal 19 ayat 2 UU 
No 18 tahun 2003 tentang advokat jo pasal 47 UU RI No 11 tahun 2008 tentang ITE.
 
Hal ini tentu akan menimbulkan keprihatinan di sementara pihak kepada pihak 
Polri, dimana saat ini menguat desakan untuk menahan Anggodo Widjojo, akan 
tetapi polisi malah bertindak sebaliknya, justru malahan mendahulukan serta 
menindaklanjuti laporan Anggodo Widjijo perihal pencemaran nama baik dirinya 
melalui transkrip rekaman dugaan rekayasa kasus KPK.
 
Akankah Kompas dan Sindo akan dijadikan model pembelajaran bagi pihak media 
massa arus utama agar membatasi diri dalam memberitakan kasus dugaan rekayasa 
kasus KPK ?.
 
Inikah saat jarum jam sejarah kembali berputar ke masa lalu dimana masa 
sekarang ini akan memulai kembali penerapan cara-cara lama dalam metode 
‘Kendali Media dan Kontrol Berita’ ?.
 
Wallahulambishshawab.
 
*
Anggodo meng-Kriminal-kan Kompas ?
http://politik.kompasiana.com/2009/11/19/anggodo-meng-kriminal-kan-kompas/
Kendali Media dan Kontrol Berita ?
http://politikana.com/baca/2009/11/19/kendali-media-dan-kontrol-berita.html
*



Betapa supernya Anggodo, ini hal yang barangkali sudah menjadi pengetahuan 
publik dan sudah dimaklumi bersama oleh banyak kalangan.
 
Betapa tidak, walau sudah terbukti menyebut-nyebut nama Presiden SBY di dalam 
rekaman pembicaraan teleponnya berkait kasus KPK, namun dirinya tetap bebas 
berkeliaran sekalipun penyebutan nama Presiden oleh dirinya itu dapat 
mencemarkan nama baik pak SBY juga merendahkan harkat dan martabat beliau 
sebagai Presiden yang merupakan Panglima Tertinggi TNI dan Kepala 
Pemerintahanmerangkap Kepala Negara Republik Indonesia.
 
 
Selainnya gelarnya sebagai ‘Super Anggodo’ yang kesuperannya melebihi Superman, 
sesungguhnya sosok Anggodo pantas juga ditabalkan gelar sebagai ‘Super 
Dermawan’ yang bahkan tak tertutup kemungkinan bahwa mungkin juga 
kedermawanannya melebihi para Muslim dan Muslimah yang Dermawan.
 
Gelar tersebut, barangkali dapat dimaklumi jika nisbatkan kepada Anggodo, 
mengingat betapa dermawannya Anggodo berkait dengan pembelian dua unit mobil 
mewah, Mercedez Benz seri S-300, yang harganya Rp. 1.600.000.000 per satu 
unitnya.
 
Mobil mewah yang dibelinya dari showroom Duta Motor, terungkap dalam 
pemeriksaannya Tim Delapan, dan dimasukkannya kedalam laporannya yang telah 
diserahkan kepada Presiden SBY pada tanggal 17-Nopember-2009.
 
Disamping tambahan penabalan gelar ‘Super Dermawan’, barangkali semakin sahih 
saja gelar lain yang telah dinisbatkan kepada dirinya sebagai ‘Super Anggodo’.
 
Polisi pun seperti tak berdaya menjeratnya walau sudah seabrek dan setumpuk 
hal-hal yang dapat disangkakan kepada Anggodo.
 
Anggodo oleh pihak Polri pada tanggal 3-November-2009 pernah diperiksa secara 
intensif. Namun pihak Polri tak mampu menahannya dalam sel penjara tahanan 
Mabes Polri, dengan alasan tak cukup bukti untuk menjadikannya sebagai 
tersangka.
 
Sekali lagi, pihak Polri, dalam hal ini adalah Komisaris Besar (Pol) Raja 
Erisman, Direktur II Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, pada hari Rabu tanggal 
18-Nopember-2009 sekitar pukul 14.00 WIB, mengatakan bahwa Anggodo telah 
menjadi tersangka.
 
Ada enam hal yang dituduhkan kepada Anggodo berdasarkan hasil sadapan 
pembicaraan Anggodo yang rekamannya pernah diperdengarkan di Mahkamah 
Konstitusi, yaitu pencemaran nama baik Presiden SBY, menfitnah orang lain, 
permufakatan jahat untuk korupsi, percobaan suap, pemerasan, dan penghinaan 
institusi Polri.
 
Namun lagi-lagi Anggodo menunjukkan kesuperannya. Berselang beberapa jam, 
Inspektur Jenderal (Pol) Nanan Soekarna, Kepala DivisiHumas Polri, membantah 
bahwa pihak Polri sudah menetapkan Anggodo sebagai tersangka.
 
“Sepengetahuan saya, belum tuh. Ada enam pasal yang terkait dengan kasus itu, 
tapi belum ada yang bisa untuk menjadikan dia sebagai tersangka”, kata Irjen 
(pol) Nanan Soekarna.
 
Itu tentu bagi kalangan masyarakat yang berempati dan bersimpati kepada 
kalangan Cicak, telah memberi tambahan yang lebih panjang lagi dari daftar 
bukti betapa pantasnya jika anggodo digelari ‘Super Anggodo’, seperti yang 
pernah disebutkan oleh aktivis Cicak dalam puisinya yang berjudul ‘Republik 
Mimpi Buruk’.
 
 
Walau begitu, jika sudah menyangkut kebenaran yang hakiki dan rasa keadilan, 
seharusnya betapapun supernya Anggodo, seharusnya kesuperannya Anggodo itu tak 
boleh diberlakukan lagi.
 
Juga, seharusnya kesuperan Anggodo juga tak layak diperhadapkan lagi jika sudah 
menyangkut pencemaran nama baik dan merendahkan kehormatan Presiden yang 
merupakan Panglima Tertinggi TNI dan Kepala Pemerintahan serta Kepala Negara 
Republik Indonesia.
 
Sehubungan dengan hal yang dikatakan sebagai fitnah dan pencemaran nama 
Presiden SBY, pada hari Rabu tanggal 18-Nopember-2009, Presiden SBY 
memperingatkan kepada berbagai fihak yang menyebarkan fitnah terkait dirinya 
dan keluarganya.
 
“Kalau masih begitu dan sama sekali tak ada kebenarannya, cara yang lalu akan 
saya tempuh demi kebenaran dan kehormatan sebagai Kepala Negara, tak boleh 
menolerasi ke hal-hal yang tak bertanggungjawab”, kata Presiden SBY.
 
Tentunya Kapolri dan Jaksa Agung yang merupakan pejabat berwenang di institusi 
penegakan hukum, haruslah tanggap dan sigap serta cepat menterjemahkan apa yang 
dikehendaki oleh Presiden SBY.
 
Mengingat Kapolri dan Jaksa Agung adalah pejabat negara yang secara hirarki 
langsung berada dibawah kendali dan kekuasaannyaPresiden. Dimana Presiden 
merupakan Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara Republik Indonesia serta 
Panglima Tertinggi TNI.
 
Tak boleh dilupakan juga oleh kapolri dan Jaksa Agung, bahwa Presiden SBY telah 
sedemikian jelas mengutarakan peringatan kerasberkait soal kebenaran dan 
kehormatannya itu, yang bahkan untuk itu maka tak akan segan-segan 
mempergunakan cara-cara lama.
 
Oleh sebab itu, berkait dengan semua hal yang tersebut diatas, apakah 
peringatan keras dari Presiden SBY yang akan menempuh cara-cara lama dalam 
membela kebenaran dan kehormatannya itu juga dialamatkannya untuk Anggodo ?.
 
Wallahualambishshawab.
 
*
Presiden ancam Anggodo ?
http://politik.kompasiana.com/2009/11/19/presiden-ancam-anggodo/
http://politikana.com/baca/2009/11/19/presiden-ancam-anggodo.html
*


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke