Buletin Elektronik www.Prakarsa-Rakyat.org SADAR
Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi Edisi: 261 Tahun V - 2009 Sumber: www.prakarsa-rakyat.org Pelarangan Buku dan Restorasi Budaya Orba Oleh Oki Hajiansyah Wahab * Menjelang akhir tahun publik kembali dikejutkan oleh keputusan Kejaksaan Agung yang melarang peredaran buku. Kelima buku yang dilarang beredar tersebut adalah Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto karangan John Roosa; Suara Gereja bagi Umat Tertindas Penderitaan, Tetesan Darah, dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karya Cocrates Sofyan Yoman; Lekra Tak Membakar Buku Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 karangan Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan; Enam Jalan Menuju Tuhan karya Darmawan MM; serta Mengungkap Misteri Keberagamaan Agama yang ditulis Syahrudin Ahmad. Kejaksaan Agung menilai kelima buku tersebut dianggap mengganggu ketertiban umum dengan bahasa yang lebih lugas dinilai bertentangan dengan UUD 1945, Pancasila, agama dan SARA seperti yang dikatakan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung. Uniknya salah satu buku yang dilarang yaitu buku Dalih Pembunuhan Massal karya John Roosa konon termasuk nominasi buku terbaik dalam International Convention of Asian Scholars pada tahun 2007. Buku-buku yang di luar negeri mendapatkan apresiasi dan penghormatan justru terbalik nasibnya di Indonesia. Pelarangan peredaran buku oleh Kejaksaan Agung tentunya kembali menuai kritik dari berbagai pihak. Belum hilang dari ingatan kita, dua tahun lalu tepatnya tahun 2007, Kejaksaan Agung lewat SK Nomor 19/A/JA/03/2007 juga melarang peredaran 13 judul buku pelajaran sejarah tingkat SMP dan SMA. Alasan pelarangan adalah hanya karena isi buku tersebut tidak memuat Pemberontakan Madiun dan 1965 serta tidak mencantumkan kata PKI dalam penulisan G30S. Praktis, sejak surat larangan itu dikeluarkan Jaksa Agung, razia bahkan pembakaran buku-buku sejarah gencar dilakukan di berbagai daerah Restorasi Budaya Orba Pelarangan buku di era yang katanya demokratis ini mengingatkan kita pada pencabutan SIUPP dan pelarangan buku kiri pada masa rezim Orde Baru. Saat itu, rezim lah yang bisa menentukan mana buku ataupun informasi yang bisa dibaca atau tidak oleh rakyatnya. Orde Baru tidak segan membunuh kebebasan berpendapat demi mengamankan kekuasannya. Perbedaan pendapat dengan rezim dimaknai sebagai sebuah pembangkangan yang tidak bisa diampuni. Di era Orde Baru setiap barang cetakan mendapat pengawasan ketat dari institusi pemerintah. Pada masa awal berdirinya Orde Baru, Komando Operasi untuk Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) menjadi lembaga yang sangat berkuasa untuk melakukan kontrol dan pelarangan peredaran sebuah buku. Pengawasan barang cetakan sendiri diatur dalam Undang-undang nomor 4 / PNPS / 1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya dapat Mengganggu Ketertiban Umum dan Kepja 190/A/JA/3/2003 tanggal 25 Maret 2003 yang menetapkan sebuah badan bernama clearing house. Di masa Orde Baru, proses clearing house dilakukan oleh Tim 9 yang anggotanya terdiri dari Badan Intelijen Negara (BIN), Departemen Dalam Negeri, TNI, dan Kepolisian. Berbagai alasan dapat diajukan sebagai pertimbangan untuk melakukan pelarangan terhadap sebuah buku. Dari alasan ideologi, politik, masalah SARA, sampai pada usaha untuk membatasi serbuan pornografi. Sejak tahun 1965-1996 diperkirakan sekitar 2.000 buku telah dilarang sejak 1965 (Sen & Hill, 2001). Akibatnya buku-buku berkualitas-pun tak luput dari larangan beredar oleh Rezim Soeharto. Buku Militer dan Politik yang merupakan terjemahan dari buku Army and Politics in Indonesia karya Harold Crouch dilarang beredar pada 1986 karena berisi analisis tentang sejarah kemunculan militer Indonesia sebagai kekuatan politik dan ekonomi serta berbagai pergulatan politik sejak masa awal kemerdekaan hingga rezim Orde Baru berdiri. Buku Yoshihara Kunio berjudul Kapitalisme Semu Asia Tenggara, The Rise of Ersatz Capitalism in Southeast Asia, terbitan 1990 juga dilarang beredar akibat analisisnya tentang gejala kapitalisme kroni di lingkungan seputar kekuasaan Soeharto. Beberapa buku berbahasa Inggris yang juga sempat dilarang beredar di Indonesia karena menampilkan data dan analisis kritis tentang praktik kotor kekuasaan Soeharto dan kroninya diantaranya The Indonesian Tragedy karya Brian May, Soeharto and His Generals karya David Jenkins, dan Indonesia: The Rise of Capital karya Richard Robison. Secara umum batasan pelarangan sendiri sebenarnya sangat kabur. Sebuah buku dapat dilarang karena dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Aturan ini sebenarnya sangat terbuka untuk diinterpretasikan dan diperdebatkan. Celakanya, hanya penguasa yang berhak mengartikan apa batasan bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 tersebut. Faktanya, kebanyakan pelarangan peredaran sebuah buku lebih banyak akibat ketersinggungan penguasa karena adanya informasi baru atau analisis yang mempersoalkan praktik kotor dalam pengelolaan negara. Hal lainya adalah sikap paranoid terhadap ideologi tertentu. Di era reformasi beberapa kali Kejaksaan Agung menggunakan Pasal 30 ayat 3 huruf c UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan untuk melegitimasi pelarangan buku. Kejaksaan Agung menggunakan pasal tersebut untuk menjelaskan kewajiban kejaksaan untuk ikut mengawasi peredaran barang cetakan. Padahal penjelasan pasal tersebut berbunyi "Yang dimaksud dengan 'turut menyelenggarakan' adalah mencakup kegiatan-kegiatan bersifat membantu, turut-serta, dan bekerja sama. Dalam turut menyelenggarakan tersebut, kejaksaan senantiasa memperhatikan koordinasi dengan instansi terkait. Jika dilihat dari pasal tersebut, maka kewenangan Kejaksaan hanyalah "turut menyelenggarakan kegiatan pengawasan barang cetakan." Artinya Kejaksaan Agung hanyalah pihak yang "membantu, turut serta dan kerja sama dengan" instansi lain untuk "mengawasi" peredaran barang cetakan. Jadi UU Kejaksaan Nomor 16 Tahun 2004 pun sejatinya sama sekali tidak memberikan kewenangan mutlak kepada Kejaksaan Agung untuk melarang penerbitan buku. Persoalanya kemudian adalah dalam melaksanakan kewenangan tersebut, Kejaksaan masih menggunakan paradigma lama. Mereka tidak mengikuti kondisi sosial politik yang kini telah beralih sejak masa reformasi. Pelarangan buku tentunya sudah tidak sesuai lagi dengan nilai-nilai demokrasi yang menjamin kebebasan berpendapat dan hak untuk memperoleh informasi. Pelarangan buku tersebut juga dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 28 dan Pasal 23 ayat (2) UU HAM Nomor 39 Tahun 1999. Hukum sesungguhnya tidak boleh mencampuri, memaksa, dan melarang perdebatan dan pencarian kebenaran sejarah itu. Tapi hukum baru hadir apabila salah satu pihak atau para pihak sudah mulai memaksakan kehendaknya dengan kekerasan. Jadi, apa yang dilakukan kejaksaan melarang buku sejarah tersebut sesungguhnya melampaui kewenangannya sebagai institusi hukum. Bahwa hukum mempunyai batas untuk menuntut ketaatan warganya, seperti kebebasan berpikir tidak boleh dibatasi oleh hukum. Dan kalau batas itu dilampaui, apa yang menamakan diri hukum dan institusi hukum kehilangan legitimasinya. Karena itu, kejaksaan harus kembali pada fungsinya sebagai penegak hukum dan tidak boleh tergelincir menjadi "departemen ideologi" yang mengontrol pikiran dan memonopoli tafsir (Widodo : 2007). Pelaksanaan kekuasaan seperti yang digambarkan Foucault hadir dalam wujud produktif seperti hukum. Pelarangan buku sejarah oleh kejaksaan itu mirip praktek panoptikon sebagaimana dilukiskan Michel Foucault dalam bukunya berjudul Discipline and Punish: The Birth of the Prison. Dalam kacamata Foucault panoptikon merupakan konsep untuk memahami aturan hukum yang dipakai sebagai topeng yang canggih untuk menutupi intervensi kekuasaan yang berlebihan. Setiap orang dengan latar belakang apa pun kemudian ditata untuk memiliki sistem berpikir, berbicara, yang sesuai dengan totalitas "apriori" kebenaran yang sudah dirumuskan dalam bentuk peraturan. Pada gilirannya hukum menjadi teknologi yang mengawasi dan mendisiplinkan sampai masuk wilayah yang paling otonom dari manusia, yaitu kesadaran. Konsep panoptikon memberikan pelajaran bahwa kekuasaan yang canggih tidak lagi memerlukan kehadiran fisik, tapi yang terpenting adalah bagaimana efek kekuasaan tersebut dirasakan. Layaknya rezim Orde Baru, meski telah tumbang, doktrin dan praktek kontrolnya masih tetap dirasakan sampai sekarang. Sejarawan LIPI, Dr Abdurrachman Suryomihardjo, pernah menulis sebuah anekdot yang menggambarkan konsep panoptikon. Seorang pencopet dikejar oleh kelompok keamanan, tapi pihak keamanan tidak mampu menangkapnya. Akhirnya, karena putus asa, mereka berteriak, "Tangkap PKI!" Akhirnya orang yang dikejar tersebut berhenti, dan berbalik kepada orang yang mengejarnya dan berkata: "Saya bukan PKI! Saya tukang copet!" Rupanya, ketakutan menjadi PKI begitu merasuki mental semua orang Indonesia, maka lebih baik ditangkap sebagai maling daripada dituduh PKI. Dewasa ini, dilarang atau tidaknya sebuah buku saat ini tentunya tidak akan berarti banyak, Fakta membuktikan bahwa sebuah buku secara fisik bisa dihambat peredarannya, tetapi motif dan rasa ingin tahu publik untuk membacanya tidak bisa serta-merta dibendung. Pelarangan buku di era teknologi informasi yang semakin luas justru membuat buku tersebut semakin populer di publik. Jika sebelumnya publik tidak mengetahui keberadaan buku tersebut, justru setelah dilarang publik menjadi tahu meskipun belum tentu serta-merta ikut membaca buku tersebut. Buku-buku Pramoedya adalah salah satu contoh yang baik dimana tetraloginya yang monumental plus novel Arus Balik pernah dinyatakan terlarang oleh Rezim Soeharto, ternyata sangat diminati baik di dalam maupun luar negeri dengan sekarang. Akhirnya sejarah pelarangan buku di Indonesia, baik zaman Orde Lama, Orde Baru bahkan di era reformasi sesungguhnya lebih banyak dilakukan atas dasar latar belakang politik dan stigma ideologi penulisnya, bukan sepenuhnya berdasarkan isi buku atau opini yang mesti dilarang. Sejarah yang sesungguhnya amat penting keberadaannya sebagai media untuk bercermin dalam kenyataannya juga lebih banyak ditulis berdasarkan kepentingan yang menang dan berkuasa. Arif Susanto pernah menuliskan sejarah menunjukkan bahwa kebebasan berpikir menjadi pilar utama bagi lahirnya banyak pencapaian luar biasa di negeri-negeri besar. Jika pengetahuan mesti mengabdi kepada kekuasaan semata, sangat mungkin ia akan gagal memahamkan kepada manusia tentang makna hidup yang beradab. Sebab, hanya peradaban yang berpijak pada kebebasan dan pengetahuan yang akan mampu melahirkan pencerahan nalar. * Penulis adalah peminat masalah sosial, sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek. ** Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat. Setiap pengutipan, penggandaan dan penyebarluasan sebagian atau seluruh materi harus mencantumkan sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org). webmas...@prakarsa-rakyat.org http://www.prakarsa-rakyat.org/download/Buletin%20SADAR/SADAR%20261%20tahun%20V%202009.html