Artikel ini ditulis pada akhir November 2009:

Dilema Perbankan Syariah
Oleh: Ahmad Ifham Sholihin, Sharia Business Consultant – PT Anabatic Teknologi 
 
Semangat kuat, tapi tenaga kurang; inilah sedikit evaluasi tentang kinerja 
perbankan syariah. Segenap penggiat Bank Syariah harus bekerja lebih keras dan 
serius lagi, jika ingin bersaing memenangkan pasar perbankan. 
Berdasarkan Statistik Perbankan dan Perbankan Syariah Indonesia yang 
dikeluarkan oleh Bank Indonesia, aset Bank Syariah (termasuk Bank Pembiayaan 
Rakyat Syariah - BPRS) pada akhir tahun 2005 mencapai Rp.21,5 triliun, dan saat 
ini (data September 2009) mencapai Rp.60 triliun sehingga ada kenaikan Rp.38,5 
triliun. Bandingkan dengan aset bank konvensional pada akhir tahun 2005 sebesar 
Rp.1.469,8 triliun, melesat tajam menjadi Rp.2.388,6 triliun sehingga ada 
kenaikan sekitar Rp.919 triliun. Jelas, bank konvensional mengalami peningkatan 
aset 24 kali lipat dibandingkan dengan bank syariah.
Di samping itu, penerapan manajemen risiko yang kurang optimal menyebabkan 
prestasi buruk dalam hal Pembiayaan Bermasalah Bank Syariah (kategori Kurang 
Lancar – Macet) yang mencapai 5,72% (di atas batas maksimal yang ditentukan BI 
yaitu 5%). Pembiayaan Bermasalah BPRS lebih parah, yaitu 8,2%.
Dalam hal penambahan jaringan kantor, Bank Syariah (termasuk BPRS) sebenarnya 
cukup agresif dengan menambah 594 jaringan (selama tahun 2005 – September 
2009). Jumlah ini belum termasuk lebih dari 1770 jaringan bank konvensional 
yang dijadikan sebagai Office Channeling serta kantor pos yang juga dilibatkan 
sebagai jaringan layanan bank syariah. Bandingkan dengan bank konvensional yang 
hanya menambah 444 jaringan dalam kurun waktu yang sama. Jumlah ATM bank 
syariah juga cukup memadai karena bank syariah menggunakan jaringan ATM bank 
konvensional.
Data tersebut menunjukkan adanya infrastruktur yang cukup memadai bagi bank 
syariah untuk menggarap pasar perbankan yang ada. Estimasi market size pasar 
perbankan menurut KARIM Business Consulting (tahun 2003) adalah Sharia Loyalist 
(1%), Conventional Loyalist (25%), serta Floating Mass (74%). Jika bank 
konvensional tidak mungkin menggarap Sharia Loyalist yang mutlak mengharamkan 
bunga bank, justru bank syariah memiliki peluang untuk bisa menggarap semua 
pasar perbankan termasuk Floating Mass sebagai pasar mengambang dan 
Conventional Loyalist yang mementingkan return kompetitif serta layanan prima.
 
Tantangan dan Peluang
Konsep citra dan positioning bank syariah adalah lebih dari sekedar bank dengan 
prinsip keadilan, kejujuran, transparansi, serta bebas dari riba, gharar 
(penipuan), maysir (spekulasi), dan hal-hal lain yang tidak sesuai syariah. 
Namun, mengapa laju bank syariah seakan tersendat?
Sebagian masyarakat masih memiliki persepsi bahwa bank syariah dan bank 
konvensional hanya beda istilah dan akad, sedangkan prakteknya kurang lebih 
sama saja. Inilah salah satu faktor penyebab masyarakat (yang heterogen dan 
crowded) menjadi ragu dengan bank syariah. Apalagi masyarakat terbiasa 
menggunakan sistem perbankan konvensional yang masih unggul dari sisi return, 
kemudahan, teknologi, akses, jaringan dan layanan prima.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut bisa terpenuhi jika didukung oleh tersedianya 
Sumber Daya Manusia (SDM) dan Teknologi Informasi (TI) yang memadai. Muliaman 
D. Hadad, Deputi Gubernur BI & Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), 
menyatakan bahwa di Indonesia sudah ada lebih dari 100 perguruan tinggi yang 
membuka jurusan/studi perbankan syariah. Jumlah ini belum termasuk pesantren 
dan madrasah. Sebuah potensi besar untuk memenuhi kebutuhan SDM bank syariah 
yang mencapai  42 ribu orang dalam waktu 5 tahun ke depan. Tentu bukan hanya 
SDM sekedarnya, karena mereka harus paham konsep, praktek, sekaligus patuh 
terhadap aturan perbankan syariah.
Di samping itu, saat ini juga sudah tersedia aplikasi Core Banking System (CBS) 
bank syariah, baik PC based, platform AS/400, maupun web based yang bisa 
mengakomodir semua kebutuhan transaksi perbankan syariah dalam jumlah jaringan 
yang banyak, askes mudah, proses cepat, teknologi canggih, user friendly, serta 
kemudahan-kemudahan yang lain. Kurangnya dana ditengarai menjadi kendala utama 
bank syariah dalam menyediakan infrastruktur TI yang canggih.
Belum lagi faktor Marketing Public Relations (PR) bank syariah yang seakan 
tidak ada aktivitas. Biaya promosi yang dikeluarkan bank syariah juga jauh di 
bawah bank konvensional. Coba bandingkan biaya promosi total bank syariah tahun 
2007 sebesar Rp.91 miliar, ternyata lebih besar biaya promosi satu produk BRI 
Britama yang mencapai lebih dari Rp.96 miliar. Dan ternyata pada periode 
Januari – September 2009 ini, seluruh bank syariah pun hanya mampu mengeluarkan 
biaya promosi sebesar Rp.92 miliar.
Rasanya memang tidak adil jika head to head membandingkan antara kemampuan 
promosi bank syariah dengan bank konvensional yang notabene sudah mapan dan 
memiliki dana cukup untuk promosi. Namun, bank syariah bisa dengan cerdas 
mengoptimalkan fungsi kotak ajaib (televisi) dengan berbagai strategi efektif 
namun efisien. Televisi masih menjadi primadona masyarakat luas untuk menjadi 
sumber informasi, hiburan sekaligus “teman hidup” yang bisa masuk ke ruang 
publik maupun pribadi.
Publikasi melalui media televisi ini bisa dilakukan secara efektif, efisien, 
bahkan gratis jika penggiat bank syariah mampu dengan cermat dan kreatif 
melihat peluang. Bank syariah bisa melakukan berbagai kegiatan yang bisa 
menjadi “konsumsi kamera televisi”, seperti kegiatan-kegiatan yang melibatkan 
publik figur, hot issue atau trend. 
Di sisi lain, bank syariah patut merasa beruntung karena memperoleh dukungan 
dari berbagai komponen. Presiden, DPR, Departemen Keuangan, Bank Indonesia, DSN 
MUI serta dukungan dari berbagai pihak terus mengalir seiring pertumbuhan dan 
kebutuhan industri perbankan syariah. Permisivitas terhadap pajak murabahah dan 
sukuk, juga merupakan dukungan yang luar biasa dari pemerintah. 
Dukungan-dukungan ini harus diikuti dengan keseriusan seluruh penggiat bank 
syariah untuk melakukan langkah konkret menyuguhkan sebuah produk/jasa/layanan 
bank yang memihak pada kebutuhan dan keinginan masyarakat.
Fatwa MUI tentang haramnya bunga bank juga merupakan support fenomenal dalam 
hingar bingar tumbuh kembang bank syariah. Namun, fatwa ini akan menjadi 
bumerang jika tidak diikuti dengan kekuatan bank syariah dalam menggerakkan 
segenap public figure panutan masyarakat (yang mayoritas muslim) untuk 
menggunakannya. Faktor psiko sosio kultural masyarakat Indonesia yang majemuk 
ini masih bergantung pada teladan. Bunga bank konvensional diharamkan, namun 
jika berbagai komponen seperti ormas Islam, partai Islam, ulama, dan komponen 
panutan lain tidak memberikan teladan, masyarakat yang mayoritas muslim ini 
akan semakin tidak yakin dengan nilai lebih bank syariah. Akhirnya, bank 
syariah hanya akan dianggap sebagai sekedar alternatif, bukan solusi.


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke