Sama-sama sekedar berbagi kebaikan. 

 



________________________________
From: jamila lestyowati <jee...@yahoo.com>
To: ekonomi-nasional@yahoogroups.com
Sent: Wed, March 31, 2010 11:42:17 AM
Subject: Re: [ekonomi-nasional] Kisah Pemeriksa Pajak Yg Lurus "antitesa gayus"

  
terima kasih pak ISa ..saya cari file itu gak ketemu.alhamdulilla h anda share 
disini.

____________ _________ _________ __
From: isa achmad <isaach...@yahoo. com>
To: ekonomi-nasional@ yahoogroups. com
Sent: Tue, March 30, 2010 11:21:42 PM
Subject: [ekonomi-nasional] Kisah Pemeriksa Pajak Yg Lurus "antitesa gayus"

Rekan2
Sekedar share mohon maaf bila tidak berkenan
Wass
IA 
------------ --------- --
Sebagai pegawai Departemen Keuangan, saya tidak gelisah dan tidak kalang kabut 
akibat prinsip hidup [anti] korupsi. Ketika misalnya, tim Inspektorat Jenderal 
datang, BPKP datang, BPK datang, teman-teman di kantor gelisah dan belingsatan, 
kami tenang saja. Jadi sebenarnya hidup tanpa korupsi itu menyenangkan sekali. 
Hidup tidak korupsi itu sebenarnya lebih menyenangkan. Meski orang melihat kita 
sepertinya sengsara, tapi sebetulnya lebih menyenangkan. Keadaan itu paling 
tidak yang saya rasakan langsung.Saya Arif Sarjono, lahir di Jawa Timur tahun 
1970, sampai dengan SMA di Mojokerto, kemudian kuliah di Sekolah Tinggi 
Akuntansi Negara (STAN) dan selesai pada 1992. Pada 17 Oktober 1992 saya 
menikah dan kemudian saya ditugaskan di Medan. Saya ketika itu mungkin termasuk 
generasi pertama yang mencoba menghilangkan dan melawan arus korupsi yang sudah 
sangat lazim. Waktu itu pertentangan memang sangat keras. Saya punya prinsip 
satu saja, karena takut pada Allah,
jangan sampai ada rezeki haram menjadi daging dalam diri dan keturunan. Itu 
saja yang selalu ada dalam hati saya.Kalau ingat prinsip itu, saya selalu 
menegaskan lagi untuk mengambil jarak yang jelas dan tidak menikmati sedikit 
pun harta yang haram. Syukurlah, prinsip itu bisa didukung keluarga, karena 
isteri juga aktif dalam pengajian keislaman. Sejak awal ketika menikah, saya 
sampaikan kepada isteri bahwa saya pegawai negeri di Departemen Keuangan, meski 
imej banyak orang, pegawai Departemen Keuangan kaya, tapi sebenarnya tidak 
begitu. Gaji saya hanya sekian, kalau mau diajak hidup sederhana dan tanpa 
korupsi, ayo. Kalau tidak mau, ya sudah tidak jadi.Jabatan saya sampai sekarang 
adalah petugas verifikasi lapangan atau pemeriksa pajak. Kalau dibandingkan 
teman-teman seangkatan sebenarnya karir saya bisa dikatakan terhambat antara 
empat sampai lima tahun. Seharusnya paling tidak sudah menjabat Kepala Seksi, 
Eselon IV. Tapi sekarang baru Eselon V.
Apalagi dahulu di masa Orde Baru, penentangan untuk tidak menerima uang korupsi 
sama saja dengan karir terhambat. Karena saya dianggap tidak cocok dengan 
atasan, maka kondite saya di mata mereka buruk. Terutama poin ketaatannya, 
dianggap tidak baik dan jatuh.Banyak pelajaran yang bisa saya petik dari semua 
pengalaman itu. Antara lain, orang-orang yang berbuat jahat akan selalu 
berusaha mencari kawan apa pun caranya. Cara keras, pelan, lewat bujukan atau 
apa pun akan mereka lakukan agar mereka mendapat dukungan. Mereka pada dasarnya 
tidak ingin ada orang yang bersih. Mereka tidak ingin ada orang yang tidak 
seperti mereka.Pengalaman di kantor yang paling berkesan ketika mereka 
menggunakan cara paling halus, pura-pura berteman dan bersahabat. Tapi 
belakangan, setelah sekian tahun barulah ketahuan, kita sudah dikhianati. Cara 
seperti inI seperti sudah direkayasa. Misalnya, pegawai-pegawai baru didekati. 
Mereka dikenalkan dengan gaya hidup dan cara bekerja
pegawai lama, bahwa seperti inilah gaya hidup pegawai Departemen Keuangan. Bila 
tidak berhasil, mereka akan pakai cara lain lagi, begitu seterusnya. Pola-pola 
apa saja dipakai, sampai mereka bisa merangkul orang itu menjadi teman.Saya 
pernah punya atasan. Dari awal ketika memperkenalkan diri, dia sangat simpatik 
di mata saya. Dia juga satu-satunya atasan yang mau bermain ke rumah bawahan. 
Saya dengan atasan itu kemudian menjadi seperti sahabat, bahkan seperti 
keluarga sendiri. Di akhir pekan, kami biasa memancing sama-sama atau 
jalan-jalan bersama keluarga. Dan ketika pulang, dia biasa juga menitipkan uang 
dalam amplop pada anak-anak saya. Saya sendiri menganggap pemberian itu hanya 
hadiah saja, berapalah hadiah yang diberikan kepada anak-anak. Tidak terlalau 
saya perhatikan. Apalagi dalam proses pertemanan itu kami sedikit saja 
berbicara tentang pekerjaan. Dan dia juga sering datang menjemput ke rumah, 
mangajak mancing atau ke toko buku sambil membawa
anak-anak.Hingga satu saat saya mendapat surat perintah pemeriksaan sebuah 
perusahaan besar. Dari hasil pemeriksaan itu saya menemukan penyimpangan sangat 
besar dan luar biasa jumlahnya. Pada waktu itu, atasan melakukan pendekatan 
pada saya dengan cara paling halus. Dia mengatakan, kalau semua penyimpangan 
ini kita ungkapkan, maka perusahaan itu bangkrut dan banyak pegawai yang 
di-PHK. Karena itu, dia menganggap efek pembuktian penyimpangan itu justru 
menyebabkan masyarakat rugi. Sementara dari sisi pandang saya, betapa tidak 
adilnya kalau tidak mengungkap temuan itu. Karena sebelumnya ada yang melakukan 
penyimpangan dan kami ungkapkan. Berarti ada pembedaan. Jadwal penagihannya pun 
sama seperti perusahaan lain.Karena dirasa sulit mempengaruhi sikap saya, 
kemudian dia memakai logika lain lagi. Apakah tidak sebaiknya kalau temuan itu 
diturunkan dan dirundingkan dengan klien, agar bisa membayar pajak dan negara 
untung, karena ada uang yang masuk negara.
Logika seperti ini juga tidak bisa saya terima. Waktu itu, saya satu-satunya 
anggota tim yang menolak dan meminta agar temuan itu tetap diungkap apa adanya. 
Meski saya juga sadar, kalau saya tidak menandatangani hasil laporan itu pun, 
laporan itu akan tetap sah. Tapi saya merasa teman-teman itu sangat tidak ingin 
semua sepakat dan sama seperti mereka. Mereka ingin semua sepakat dan sama 
seperti mereka. Paling tidak menerima. Ketika sudah mentok semuanya, saya 
dipanggil oleh atasan dan disidang di depan kepala kantor. Dan ini yang amat 
berkesan sampai sekarang, bahwa upaya mereka untuk menjadikan orang lain tidak 
bersih memang direncanakan. Di forum itu, secara terang-terangan atasan yang 
sudah lama bersahabat dan seperti keluarga sendiri dengan saya itu mengatakan, 
Sudahlah, Dik Arif tidak usah munafik. Saya katakan, “Tidak munafik bagaimana 
Pak? Selama ini saya insya Allah konsisten untuk tidak melakukan korupsi?” 
Kemudian ia sampaikan terus terang
bahwa uang yang selama kurang lebih dua tahun ia berikan pada anak saya adalah 
uang dari klien. Ketika mendengar itu, saya sangat terpukul, apalagi merasakan 
sahabat itu ternyata berkhianat. Karena terus terang saya belum pernah 
mempunyai teman sangat dekat seperti itu, kecuali yang memang sudah sama-sama 
punya prinsip untuk menolak uang suap. Bukan karena saya tidak mau bergaul, 
tapi karena kami tahu persis bahwa mereka perlahan-lahan menggiring ke arah 
yang mereka mau. Ketika merasa terpukul dan tidak bisa membalas dengan 
kata-kata apa pun, saya pulang. Saya menangis dan menceritakan masalah itu pada 
isteri saya di rumah. Ketika mendengar cerita saya itu, isteri langsung sujud 
syukur.Ia lalu mengatakan, Alhamdulillah. Selama ini uang itu tidak pernah saya 
pakai, katanya. Ternyata di luar pengatahuan saya, alhamdulillah, amplop-amplo 
itu tidak digunakan sedikit pun oleh isteri saya untuk keperluan apa pun. Jadi 
amplop-amplop itu disimpan di sebuah
tempat, meski ia sama sekali tidak tahu apa status uang itu. Amplop-amplop itu 
semuanya masih utuh. Termasuk tulisannya masih utuh, tidak ada yang dibuka. 
Jumlahnya berapa saya juga tidak tahu. Yang jelas, bukan lagi puluhan juta. 
Karena sudah masuk hitungan dua tahun dan diberikan hampir setiap pekan.Saya 
menjadi bersemangat kembali. Saya ambil semua amplop itu dan saya bawa ke 
kantor. Saya minta bertemu dengan kepala kantor dan kepala seksi. Dalam forum 
itu, saya lempar semua amplop itu di hadapan atasan saya hingga bertaburan di 
lantai. Saya katakan, makan uang itu, satu rupiah pun saya tidak pernah gunakan 
uang itu. Mulai saat ini, saya tidak pernah percaya satu pun perkataan kalian! 
Mereka tidak bisa bicara apa pun karena fakta obyektif, saya tidak pernah 
memakai uang yang mereka tuduhkan. Tapi esok harinya, saya langsung dimutasi 
antar seksi. Awalnya saya diauditor, lantas saya diletakkan di arsip, meski 
tetap menjadi petugas lapangan pemeriksa
pajak. Itu berjalan sampai sekarang. Ketika melawan arus yang kuat, tentu saja 
da saat tarik-menarik dalam hati dan konflik batin. Apalagi keluarga saya hidup 
dalam kondisi terbatas. Tapi alhamdulillah, sampai sekarang saya tidak tergoda 
untuk menggunakan uang yang tidak jelas.Ada pengalaman lain yang masih saya 
ingat sampai sekarang. Ketika saya mengalami kondisi yang begitu mendesak. 
Misalnya, ketika anak kedua lahir. Saat itu persis ketika saya membayar kontrak 
rumah dan tabungan saya habis. Sampai detik-detik terakhir harus membayar uang 
rumah sakit untuk membawa isteri dan bayi kami ke rumah, saya tidak punya uang 
serupiah pun. Saya mau bcara dengan pihak rumah sakit dan terus terang bahwa 
insya Allah pekan depan akan saya bayar, tapi saya tidak bisa ngomong juga. 
Akhirnya saya keluar sebentar ke masjid untuk sholat dhuha. Begitu pulang dari 
sholat dhuha, tiba-tiba saja saya ketemu teman lama di rumah sakit itu. 
Sebelumnya kami lama sekali tidak
pernah jumpa. Dia dapat cerita dari teman bahwa isteri saya melahirkan, maka 
dia sempatkan datang ke rumah sakit. Wallahua'lam apakah dia sudah diceritakan 
kondisi saya atau bagaimana, tetapi ketika ingin menyampaikan kondisi saya pada 
pihak rumah sakit, saya malah ditunjukkan kwitansi seluruh biaya perawatan 
isteri yang sudah lunas. Alhamdulillah. Ada lagi peristiwa hampir sama, ketika 
anak saya operasi mata karena ada lipoma yang harus diangkat. Awalnya, saya 
pakai jasa askes. Tapi karena pelayanan pengguna Askes tampaknya apa adanya, 
dan saya kasihan karena anak saya baru berumur empat tahun, saya tidak pakai 
Askes lagi. Saya ke Rumah Sakit yang agak bagus sehingga pelayanannya juga agak 
bagus. Itu saya lakukan sambil tetap berfikir, nanti uangnya pinjam dari mana? 
Ketika anak harus pulang, saya belum juga punya uang. Dan saya paling susah 
sekali menyampaikan ingin pinjam uang. Alhamdulillah, ternyata Allah cukupkan 
kebutuhan itu pada detik terakhir.
Ketika sedang membereskan pakaian di rumah sakit, tiba-tiba Allah pertemukan 
saya dengan seseorang yang sudah lama tidak bertemu. Ia bertanya bagaimana 
kabar, dan saya ceritakan anak saya sedang dioperasi. Dia katakan, kenapa tidak 
bilang-bilang? ? Saya sampaikan karena tidak sempat saja. Setelah teman itu 
pulang, ketika ingin menyampaikan penundaan pembayaran, ternyata kwitansinya 
juga sudah dilunasi oleh teman itu. Alhamdulillah. Saya berusaha tidak terjatuh 
ke dalam korupsi, meski masih ada tekanan keluarga besar, di luar keluarga inti 
saya. Karena ada teman yang tadinya baik tidak memakan korupsi, tapi jatuh 
karena tekanan keluarga. Keluarganya minta bantuan, karena takut dibilang 
pelit, mereka terpaksa pinjam sana sini. Ketika harus bayar, akhirnya mereka 
terjerat korupsi juga. Karena banyak yang seperti itu, dan saya tidak mau 
terjebak begitu, saya berusaha dari awal tidak demikian. Saya berusaha cari 
usaha lain, dengan mengajar dan sebagainya.
Isteri saya juga bekerja sebagai guru.Di lingkungan kerja, pendekatan yang saya 
lakukan biasanya lebih banyak dengan bercanda. Sedangkan pendekatan serius, 
sebenarnya mereka sudah puas dengan pendekatan itu, tapi tidak berubah. Dengan 
pendekatan bercanda, misalnya ketika datang tim pemeriksa dari BPK, BPKP, atau 
Irjen. Mereka gelisah sana-sini kumpulkan uang untuk menyuap pemeriksa. Jadi 
mereka dapat suap lalu menyuap lagi. Seperti rantai makanan. Siapa memakan 
siapa. Uang yang mereka kumpulkan juga habis untuk dipakai menyuap lagi. Mereka 
selalu takut ini takut itu. Paling sering saya hanya mengatakan dengan 
bercanda.. Uang setan ya dimakan hantu! Dari percakapan seperti itu ada juga 
yang mulai berubah, kemudian berdialog dan akhirnya berhenti sama sekali. Harta 
mereka jual dan diberikan kepada masyarakat. Tapi yang seperti itu tidak 
banyak. Sedikit sekali orang yang bisa merubah gaya hidup yang semula mewah 
lalu tiba-tiba miskin. Itu sulit sekali.Ada
juga diantara teman-teman yang beranggapan, dirinya tidak pernah memeras dan 
tidak memakan uang korupsi secara langsung. Tapi hanya menerima uang dari 
atasan. Mereka beralasan toh tidak meminta dan atasan itu hanya memberi. Mereka 
mengatakan tidak perlu bertanya uang itu dari mana. Padahal sebenarnya, dari 
ukuran gaji kami tahu persis bahwa atasan kami tidak akan pernah bisa 
memberikan uang sebesar itu. Atasan yang memberikan itu berlapis-lapis. Kalau 
atasan langsung biasanya memberi uang hari Jum'at atau akhir pekan. Istilahnya 
kurang lebih uang Jum’atan. Atasan yang berikutnya lagi pada momen berikutnya 
memberi juga. Kalau atasan yang lebih tinggi lagi biasanya memberi menjelang 
lebaran dan sebagainya. Kalau dihitung-hitung sebenarnya lebih besar uang dari 
atasan dibanding gaji bulanan. Orang-orang yang menerima uang seperti ini yang 
sulit berubah. Mereka termasuk rajin sholat, puasa sunnah dan membaca 
Al-Qur'an. Tetapi mereka sulit berubah.Ternyata
hidup dengan korupsi memang membuat sengsara. Di antara teman-teman yang 
korupsi, ada juga yang akhirnya dipecat, ada yang melarikan diri karena 
dikejar-kejar polisi, ada yang isterinya selingkuh dan lain-lain. Meski secara 
ekonomi mereka sangat mapan, bukan hanya sekadar mapan.Yang sangat dramatis, 
saya ingat teman sebangku saya saat kuliah di STAN. Awalnya dia sama-sama ikut 
kajian keislaman di kampus. Tapi ketika keluarganya mulai sering minta bantuan, 
adiknya kuliah, pengobatan keluarga dan lainnya, dia tidak bisa berterus terang 
tidak punya uang. Akhirnya ia mencoba hutang sana-sini. Dia pun terjebak dan 
merasa sudah terlanjur jatuh, akhirnya dia betul-betul sama dengan teman-teman 
di kantor. Bahkan sampai sholat ditinggalkan. Terakhir, dia ditangkap polisi 
ketika sedang mengkonsumsi narkoba. Isterinya pun selingkuh. Teman itu sekarang 
dipecat dan dipenjara.Saya berharap akan makin banyak orang yang melakukan 
jihad untuk hidup yang bersih. Kita
harus bisa menjadi pelopor dan teladan di mana saja. Kiatnya hanya satu, terus 
menerus menumbuhkan rasa takutmenggunakan dan memakan uang haram. Jangan sampai 
daging kita ini tumbuh dari hasil rejeki yang haram. Saya berharap, 
mudah-mudahan Allah tetap memberikan pada kami keistiqomahan (matanya 
berkaca-kaca)
Powered by Q-Tel BlackBerry®
"Then which of the Blessings of Allah will you deny?"

--

[Non-text portions of this message have been removed]

[Non-text portions of this message have been removed]





      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke