"Dilarang Mengemis"

Kamis, 15 Juli 2010 |Editorial


Dengan merujuk pada Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, 
Pemerintah DKI Jakarta telah menegaskan, bahwa pihaknya akan melakukan 
tindakan tegas untuk membersihkan kota Jakarta dari pengemis saat bulan 
Ramadhan nanti. Ini bukan hal yang baru, namun sudah menjadi pendekatan 
umum para penguasa di Indonesian dalam menghadapi kemiskinan.

Perda nomor 8 tahun 2007, yang sangat ditolak warga miskin di  Jakarta,
merupakan peraturan yang sangat koersif terhadap kemiskinan,  namun
tidak menyediakan solusi sedikitpun, soal bagaimana mengatasi 
kemiskinan itu sendiri. Ini sama saja dengan menyuruh kita memadamkan 
api dengan menyiramkan minyak tanah.

Jika ditelisik lebih jauh, keberadaan pengemis di Jakarta dan  kota-kota
besar lainnya tak bisa dilepaskan dari fenomena urbanisasi.  Ini
merupakan fenomena umum yang terjadi di kota-kota besar di dunia, 
terutama kota-kota besar di dunia ketiga. Sesungguhnya, urbanisasi 
didorong oleh kegagalan pembangunan pertanian dan proses pembangunan 
(industrialisasi) yang tidak merata.

Sudah diketahui bersama, bahwa sektor pertanian Indonesia sudah lama 
dilempar kebelakang dalam agenda pembangunan ekonomi, bahkan kini 
dijadikan "santapan" penting dari program liberalisasi ekonomi,
misalnya  penghapusan proteksi produk pertanian, penghapusan subsidi
pertanian,  dan lain sebagainya. Akibatnya, selain mencari penghidupan
di kota-kota  besar, sebagain penduduk desa kini rela menjadi
"pencari kerja" di  negeri orang.

Demikian pula dengan proses pembangunan atau industrialisasi, yang 
selama orde baru hingga kini selalu berjalan pincang, lebih terkonstrasi
di kota-kota besar. Ibarat gula bagi semut, kota-kota seperti Jakarta, 
Surabaya, Makassar, Medan, telah menjadi "sasaran" untuk mencari
penghidupan bagi orang-orang dari desa. Booming ekonomi yang bersifat 
sementara pada tahun 1990-an, telah menarik begitu banyak pemuda-pemudi 
dari desa untuk mencari kesempatan "menggapai mimpi" di kota.

Sementara di kota-kota besar yang menjadi sasaran itu, terjadi proses 
de-industrialisasi secara besar-besaran akibat neoliberalisme. 
Akibatnya, karena kesempatan kerja sangat terbatas, sebagaian besar 
"pendatang baru" ini terlempar pada sektor informal, selebihnya
menjadi  pengemis dan gelandangan.

Terlebih pada saat bulan Ramadhan, dimana sebagian orang memandang, 
bahwa inilah kesempatan untuk mendapatkan belas-kasihan berupa sedekah 
dari mereka-mereka yang sedang menjalankan ibadah.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa, pengemis merupakan ekses dari budaya 
tidak produktif, hasil dari basis ekonomi produktif yang hancur—atau
sengaja dihancur-leburkan oleh imperialisme. Sebagian besar mereka yang 
menyerbu kota adalah orang-orang yang kurang dalam hal skill dan 
pendidikan, sementara lapangan pekerjaan di perkotaan sangat terbatas.

Dalam persoalan ini, negara merupakan pihak yang harus memikul 
tanggung-jawab besar, karena di tangan negaralah keputusan mengenai 
alokasi sumber daya, anggaran, dan prioritas pembangunan diputuskan.

Pepatah Tiongkok Kuno mengatakan, "Beri saya seekor ikan dan saya 
makan selama satu hari. Ajari saya memancing dan saya akan makan seumur 
hidup." Jika hendak mengatasi persoalan ini, maka janganlah
menggunakan  cara koersif untuk menghilangkan pengemis, yaitu dengan
membasmi mereka.

Negara harus segera memikirkan untuk mengalihkan industri ke daerah 
pedalaman, misalnya mendorong pembangunan industri olahan produk 
pertanian di desa-desa, sehingga bisa memberi nilai tambah bagi petani 
dan menyerap tenaga kerja di daerah pedalaman.

Khusus untuk mengantisipasi para "pendatang baru" di bulan
Ramadhan  mendatang, sudah seharusnya pemerintah DKI bersama pemerintah
pusat  melakukan terobosan besar, misalnya mendorong Departemen Sosial
dan  Departemen Tenaga Kerja untuk menampung mereka; melakukan pelatihan
ketrampilan, program sosial, dan menyalurkan mereka dalam proyek-proyek 
padat karya.

Jika kita sudah menyediakan pancing dan mengajari orang cara  memancing,
namun mereka masih terus meminta ikan kepada kita, maka baru  tiba
waktunya mengatai mereka; tidak produktif!


Anda dapat menanggapi editorial kami di:  redaksiberdik...@yahoo.com
http://berdikarionline.com/editorial/20100715/%E2%80%9Cdilarang-mengemis\
%E2%80%9D.html









[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke