-- --------- Forwarded Message --------- DATE: Wed, 14 Feb 2001 16:11:24 From: "Riza V. Tjahjadi" <[EMAIL PROTECTED]> To: [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED] Menyimak berita surat kabar hari ini masuknya (lagi) beras impor diduga karena importir tidak membayar bae masuk, alias juga pemalsuan dokumen. Demikian pokok pernyataan Menko Perekonomian Rizal Ramli. Kami PAN Indonesia memberikan tanggapan, dari hasil studi penjajakan mengenai implementasi dan dampak dari proses negosiasi Persetujuan pertanian (Agreement on Agriculture) di WTO pada akhir Januari silam, sudah menunjukkan mulai "banjirnya" beras. Petikan ulasan kami: Pada awal tahun 2000, dengan banjirnya beras impor sebanyak 950.800 ton dari Thailand dan Vietnam, setelah keluar dari Tanjung Priok dijual dengan kisaran harga Rp 1.400 hingga Rp 1.600 per kg. Beras tersebut, jelas lebih murah sebesar Rp 600 per kg dari harga beras lokal, yakni berkisar antara Rp 2100 2.200 per kg (Bisnis Indonesia, 13 April 2000). Namun pada Januari 2001 - secara akal sehat linear - besar kemungkinan hal tersebut tidak terulang separah waktu sebelumnya, karena ada dua alasan pokok. Pertama, produksi padi di dalam negeri relatif cukup memadai. Produksi beras diperkirakan mencapai 35 juta ton. Selain itu, sudah beberapa kali tersiar kabar telah tersedianya dana untuk pembelian beras petani oleh Bulog. Kedua, terbersit pendapat, bahwa telah terciptanya situasi disinsentif atau kurang terangsangnya importir untuk memasukkan beras dari pasar dunia, karena nilai kurs mata uang dolar yang relatif tinggi dalam tempo enam bulan terakhir ini. Secara logis, karenanya, beras impor tidak dapat bersaing, atau lebih murah harganya dibandingkan dengan beras domestik, terkecuali jika beras itu adalah dumping atau spanyol alias separuh nyelonong, atau slundupan. Pada tahun kuartal IV tahun 2000 silam keadaan tarif hanya sedikit membantu petani padi dalam meningkatkan daya saing harga beras di dalam negeri. Namun dari hasil pantauan Kompas (7 Januari 2000), para pedagang perantara membeli gabah petani di beberapa sentra produksi dengan harga di bawah standar harga dasar gabah (HDG) yang ditetapkan oleh pemerintah, yakni untuk harga gabah kering panen rata-rata adalah Rp 800 per kg dengan HDG Rp 1.050. Untuk harga beras kering giling (GKG) adalah Rp 12001.400 dengan HDG adalah Rp 1.400 per kg. Padahal di sini beras impor sudah begitu tidak dominan lagi karena, terbantu dengan tingginya nilai dollar Amerika Serikat terhadap rupiah sehingga mengendorkan semangat pengusaha untuk mengimpor beras selain harga dollar yang tinggi ditambah dengan bea masuk (BM). Dan pemerintah di sini harus hati-hati dengan kebijakannya, karena ini hanya bersifat sementara atau tergantung pada satu faktor yaitu rendahnya harga mata uang rupiah di pasar internasional. Kenyataan berbicara lain. Kekhawatian masuknya beras impor masih besar di kalangan peduli petani padi. Secara spekulatif, HKTI menyatakan kekhawatiran bahwa pada musim panen mendatang, sekitar Maret hingga April 2001, beras impor akan membanjiri lagi pasar di dalam negri (Suara Pembaruan, 24 Januari 2001). Bahkan Menteri negara Koperasi dan Usaha kecil dan Menengah (mennegkop dan UKM) Zarkasih Nur, menyatakan pemerintah untuk sementara waktu tidak mengeluarkan izin impor beras bagi swasta guna menjaga harga gabah petani tidak makin jatuh akibat kelebihan pasok beras. Kalimat jelasnya, pemerintah memutuskan tidak akan mengimpor, tapi bukan melarang impor beras karena bertentangan dengan WTO, cuma tidak lagi memberi izin untuk impor. Kalau beras impor masuk (Bisnis Indonesia, 30 Januari 2000). Ini semua menunjukkan, bahwa perdagangan beras boleh dikatakan mengandung makna berpengaruh pada ekonomi makro, namun kebijakan publiknya tidak dapat mudah diduga publik, apalagi bagi petani. Selain itu keterkaitan dagang dengan kurs mata uang tidak memberikan pengaruh signifikan. Dan, ketiga, sangat mungkin terjadi munculnya destabilisasi kebijakan harga dasar gabah, entah semata-mata profit ekonomis, maupun bercampur motif politis. Yang jelas petani padi akan terpukul kembali, sebagaimana terjadi pada minggu-minggu pertama Januari 2001. Dalam rumusan kesimpulan, di antara kami tuliskan, bahwa beras impor yang mengalir masuk seringkali mengejutkan khalayak publik. Entah salah tempat/berlabuh, entah buka-tutup (jalur hijau-jalur merah) tampaknya selalu dipertanyakan atau mendapat reaksi publik, maupun petani padi. Lebih-lebih, jika disimak bahwa kedatangan beras impor itu nyaris bertepatan dengan musim panen. Situasi ini mengandung tanda tanya besar, apakah ada kandungan ekonomis semata, atau terkait dengan motif politis yang jauh lebih besar? Salam. Tim peneliti: Agus Salim, Efendi YS, dan Riza VT (ed). PAN (Pesticide Action Network) Indonesia Jl. Persada Raya No. 1 Menteng Dalam Jkt 12870 --------- End Forwarded Message --------- Join 18 million Eudora users by signing up for a free Eudora Web-Mail account at http://www.eudoramail.com --------------------------------------------------------------------- Mulai langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED] Stop langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED] Archive ada di http://www.mail-archive.com/envorum@ypb.or.id