http://www.suaramerdeka.com/harian/0104/06/kha1.htm
Jumat, 6 April 2001 Karangan Khas 

Mencermati Nasib Petani
Oleh: Bambang Sulistya

IBARAT ayam mati di lumbung padi, itulah selintas gambaran keterpurukan nasib petani 
saat ini. Panen raya tiba bukan disambut dengan rasa syukur, melainkan disongsong 
dengan perasaan panik dan putus harapan.Dinamika keprihatinan itu hampir terjadi di 
setiap musim panen padi yang diwarnai keanjlokan harga gabah jauh dari harga gabah 
yang ditetapkan oleh pemerintah. Persoalan tersebut tidak boleh dianggap enteng. Hal 
itu mengingat petani yang merupakan mayoritas penghuni negara agraris ini (ada 22 juta 
rumah tangga petani atau 60% jumlah warga) akan menjadi taruhan bagi stabilitas 
ketahanan pangan pada masa datang. Bisa jadi derita musim panen ini akan memengaruhi 
pasokan pangan tahun depan.Jika harga gabah belum menjanjikan dan kebijakan pemerintah 
terbukti masih tak mampu menolong kesejahteraan petani, tentu para petani akan 
berpikir kembali untuk mengambil sikap secara akrobatik: mengganti usaha tani padi 
dengan tanaman lain yang lebih menguntungkan. Berdasarkan kajian Institute for 
Development of Economica and Finance (Indef), telah terjadi pemiskinan petani selama 
pemerintahan Gus Dur. Hal itu ditunjukan oleh besarnya indeks nilai tukar petani 
(INTP) yang merosot hingga di bawah angka 100 yang menjadikan petani tidak berkutik 
menghadapi tekanan krisis ekonomi. Artinya, harga yang diterima petani dari hasil 
produk usaha taninya tidak lagi sebanding dengan harga yang harus dibayar untuk 
membeli sarana produksi pertanian dan kebutuhan hidup lain.Sebenarnya cukup sudah 
fakta yang dapat diambil sebagai indikasi selama ini berbagai kebijakan yang ditempuh 
pemerintah belum berpihak pada petani.Sebagai gambaran, saat pemerintah 
memprioritaskan upaya peningkatan kesejahteraan petani dengan menaikkan harga dasar 
gabah, pada saat yang sama keran impor beras masih dibuka lebar dan bea masuk dipatok 
rendah. Demikian pula pada waktu gabah melimpah saat panen raya, anggaran yang telah 
disediakan untuk pembelian gabah petani senilai Rp 6,6 triliun untuk pengadaan pangan 
tahun 2001 ternyata hanya sekadar retorika belaka karena dana tersebut belum secara 
maksimal dialokasikan ke daerah. 

Kondisi

Berbagai penelitian dan kenyataan menunjukan pembangunan pertanian selama ini semakin 
memarginalisasi petani baik karena proses ekonomi dan kultural, sehingga ada kesan 
menjadi petani identik dengan kemiskinan.Pembangunan ekonomi kita yang cenderung 
kapitalistik membuat petani makin terpuruk dan miskin.Sementara itu, proses kultural 
seperti pembagian warisan, telah membuat pemilikan petani menjadi makin sempit. Sensus 
pertanian tahun 1993 menunjukkan penguasaan lahan secara nasional sebesar 0,83 ha per 
keluarga tani, di Jawa bahkan lebih kecil lagi sekitar 0,41 ha, sedangkan jumlah 
keluarga tani yang memiliki lahan kurang dari 0,5 ha diperkirakan mencapai Rp 7 
juta.Sempitnya tanah garapan yang mereka miliki menjadikan petani harus hidup dalam 
penghasilan ganda, yaitu pemanfaatan sumber daya yang ada termasuk sebidang tanah 
untuk berbagai usaha: bertani, berternak, berdagang, bahkan menjadi buruh. Dengan cara 
ini aktivitas pertanian mereka bersifat subsisten semata, masih jauh dari orientasi 
pasar. Selain dipengaruhi kedua proses tersebut kondisi petani diperburuk oleh 
rendahnya kualitas SDM dan adanya berbagai program pengembangan petani yang 
menyebabkan petani semakin tergantung pada proyek pemerintah.Upaya membantu petani 
dari kondisi keterbelakangan dan kelemahan adalah mengubah kondisi tersebut menjadi 
lebih baik agar memperkuat keberadaannya, memantapkan posisi tawarnya ketika 
berhadapan dengan pihak lain yang lebih besar. Karena itu, diperlukan berbagai 
kebijakan yang dapat mengangkat tingkat kesejahteraan petani.

Kebijakan

Sejumlah kebijakan pemerintah yang kini sudah digulirkan sebagai upaya memperbaiki 
kesalahan kebijakan masa lalu dan sekaligus diharapkan mampu mendongkrak peningkatan 
kehidupan petani, antara lain meliputi:Pertama, restrukturisasi kredit petani dan KUD. 
Dengan kebijakan ini diharapkan KUD dan petani dapat memperoleh kredit kembali, 
sehingga petani mendapat tambahan modal untuk menerapkan teknologi dalam usaha 
taninya.Kedua, distribusi pupuk. Dengan kebijakan ini, pemerintah hanya membolehkan 
distributor membeli pupuk di lini III dan mewajibkan menyediakan stok di gudang untuk 
mengatasi kelangkaan pupuk di tingkat petani, sehingga diharapkan tidak terjadi lagi 
kelangkaan pupuk dan harga pupuk membumbung tinggi.Ketiga, memperbaiki term of trade 
gabah petani. Melalui kebijakan ini pemerintah akan menyediakan sarana pengering 
gabah, sehingga mutu gabah petani meningkat dan harganya akan naik. Hal itu seperti 
yang dilakukan oleh Bupati Blora Ir H Basuki Widodo dalam tahun anggaran 2001 akan 
membangun lantai jemur di berbagai daerah pusat lumbung padi.Keempat, diversifikasi 
usaha tani. Dalam kebijakan ini, petani diberi kebebasan memilih komoditas yang 
diusahakan. Diharapkan sesuai dengan pilihannya ini memberikan keuntungan yang lebih 
besar.Kelima, PPn 10% yang semula dikenakan atas produk pertanian dalam arti luas 
dihapuskan, karena mengurangi pendapatan petani dan daya saing.Di samping berbagai 
kebijakan tersebut, tentu untuk memandirikan petani yang sekaligus melepaskan diri 
dari kemiskinan dan keterbelakangan, perlu dilakukan berbagai kegiatan sebagai 
berikut.Pertama, meningkatkan fungsi dan peran selaku subjek pembangunan lebih dari 
fungsi dan peran yang selama ini diberikan oleh pemerintah, terutama dalam kebebasan 
mengambil putusan untuk menentukan jenis usaha tani yang dilakukan.Kedua, meningkatkan 
kapabilitas petani baik secara pribadi maupun organisasi sehingga secara bersama-sama 
mewujudkan organisasi yang tangguh memperjuangkan aspirasi anggota melalui berbagai 
proses dan mekanisme politik. Ketiga, memotivasi dan mendorong petani mengubah 
orientasi usaha tradisional ke pertanian modern yang berwawasan agrobisnis, sebagai 
wujud nyata mengantisipasi dan menyongsong era perdagangan bebas.Keempat, mendorong 
keterlibatan institusi pendidikan, lembaga riset dan Balai Informasi Penyuluh 
Pertanian di dalam mengembangkan berbagai pengetahuan lokal dan kebijaksanaan 
tradisional yang telah lama hidup dan berkembang di masyarakat.Kelima, perlu dibentuk 
lembaga yang dapat membantu peningkatan posisi tawar petani berkenaan dengan produk 
pertanian yang dihasilkan. Lembaga tersebut memberikan informasi kepada petani 
berbagai peluang pasar dan memperjuangkan harga produk pertanian dari petani.Keenam, 
untuk dikembangkan dan diperkuatnya berbagai lembaga keuangan (perbankan dan 
nonperbankan) dan mekanisme pendanaan yang dapat membantu modal usaha dengan suku 
bunga rendah.Ketujuh, agar ditinjau kembali berbagai kebijakan yang selama ini 
merugikan petani dan menyusun ulang kebijakan-kebijakan yang lebih berpihak pada 
kepentingan petani.Kedelapan, mendesak dibentuk jaringan kerja yang terdiri atas 
berbagai kelompok yang prihatin terhadap nasib petani untuk mengkritisi, menelaah, dan 
mengkaji berbagai kebijakan pemerintah yang berkait erat dengan kelangsungan tingkat 
kesejahteraan petani.Kesembilan, lembaga pemerintah desa dan organisasi desa yang ada 
diharapkan dapat menjadi institusi penyalur aspirasi kaum tani dan bukan sebagai 
mobilisator seperti yang terjadi selama ini. (18c)-Bambang Sulistya, staf Dinas 
Perkebunan Kabupaten Blora 

Copyright© 1996 SUARA MERDEKA

Kirim email ke