http://kompas.com/kompas-cetak/0104/09/DAERAH/ptin25.htm >Senin, 9 April 2001 PT Inti Indorayon Utama, Buah Simalakama bagi Sumut Kompas/surya makmur nasution SAAT ini sungguh tidak mudah untuk meramalnasib PT Inti Indorayon Utama (PT IIU), di Porsea, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara (215 km selatan Medan). Apakah perusahaan pulp dan rayon yang dihentikan kegiatannya oleh mantan Presiden Habibie pada 19 Maret 1999 ini akan beroperasi kembali bagian pulp-nya atau tutup untuk selama-lamanya. BOLEH dikatakan, kasus perusahaan yang mulai beroperasi sejak tahun 1989 untuk pulp dan tahun 1993 untuk rayon ini sudah seperti benang kusut. Didirikan dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Negara Riset dan Teknologi/ Ketua BPPT dan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor SK/681/ M/BPP/XI/1986 dan Nomor Kep/43/MNKLH/11/1986, perusahaan ini disahkan dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) menjadi Penanaman Modal Asing (PMA) dengan Surat Keputusan Menteri Investasi/Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 07/ V/1990. Di satu sisi, warga di sekitar lokasi pabrik tak henti-hentinya bersuara lantang menolak keberadaannya di Tanah Bona Pasogit itu. Berbagai aksi penentangan warga-dari yang lunak sampai yang memakan korban-telah terjadi. Aksi mengumpulkan massa ataupun mengirim delegasi ke instansi pemerintah atau wakil rakyat di Medan dan di Jakarta sudah berulangkali terjadi. Di sisi lain, pemerintah belum memberi kepastian konkret statusnya secara hitam-putih. Walau pemerintahan Abdurrahman Wahid dalam sidang kabinet telah memutuskan membuka kembali pabrik ini tetapi hanya pabrik pulp-nya dan menutup secara total pabrik rayonnya, kenyataannya tak mudah juga bagi Indorayon untuk menjalankan "keputusan" ini. Apalagi, legalitas keputusan itu pun sebagaimana dikemukakan Direktur Utama Indorayon Drs Bilman Butarbutar MBA, baru bersifat lisan. Bagi pemerintah, PT IIU masih menyisakan "harapan" akan pemasukan dari investasi asing. Apalagi, dalam kampanyenya untuk beroperasi kembali, PT IIU menyatakan akan memberikan satu persen dari hasil bersihnya kepada Kabupaten Toba Samosir (Tobasa). Ini sebuah pemasukan tidak main-main yaitu sekitar Rp 6,6 milyar setahun. Dalam era otonomi, memang jumlah ini menggiurkan bagi Kebupaten Tobasa (baca: Paradigma Baru Indorayon, Bukan Sekadar Ganti Baju?). Saat masih beroperasi sampai dengan tahun 1997, pabrik ini telah menghasilkan total sekitar 1,5 juta ton pulp dan sekitar 200.000 ton rayon. Itu artinya pemasukan devisa bagi Indonesia sekitar Rp 1,7 trilyun. *** MENTERI Perindustrian dan Perdagangan Luhut Panjaitan ketika dihadang warga Porsea di Simpang Siraituruk sepulang dari kunjungan kerja di Balige, ibu kota Toba Samosir, 8 Januari 2001, tak tegas memberi jawaban saat ditanya warga soal PT IIU yang akan dibuka lagi ini. Panjaitan memang mengatakan, sebelum Indorayon beroperasi kembali sebaiknya ditanya dulu apa maunya rakyat. Kalau memang rakyat setuju, silakan jalan terus. Tetapi kalau rakyat menolak, jangan dibuka kembali. Mantan Dubes RI untuk Singapura ini lalu menegaskan, hingga sekarang ini pemerintah belum pernah mengeluarkan izin dioperasikannya kembali Indorayon. Namun, jenderal purnawirawan ini juga mengingatkan, di tengah situasi sulit sekarang negeri ini membutuhkan investasi. Semua pihak harus berhati-hati menyikapi kasus Indorayon agar tidak mengorbankan kepentingan lebih besar dan menguntungkan kepentingan segelintir orang. Secara implisit, sebenarnya Luhut Panjaitan mengharapkan agar PT IIU bisa beroperasi kembali. Yang lebih membingungkan lagi, Gubernur Sumut T Rizal Nurdin justru tidak mengetahui secara pasti apakah Indorayon masih harus menunggu izin baru karena berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari (PT TPL), atau cukup dengan izin lama saja untuk bisa beroperasi kembali. Gubernur Rizal Nurdin juga masih memerintahkan stafnya di Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) untuk mengecek prosedurnya. Atas dasar itulah ia meminta Indorayon untuk sementara menunda pengoperasiannya, tidak pada 31 Maret 2001 seperti telah direncanakan. Dengan adanya dua kubu ini, yaitu yang pro dan yang kontra, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Emmy Hafield mengakui, memang tak mudah untuk menyelesaikan konflik antara warga dengan Indorayon. Pemerintah bukan hanya berhadapan dengan rakyat, tetapi akhirnya juga dengan dunia internasional, terutama soal jaminan berinvestasi di Tanah Air. Ketika Namura International yang mengaku telah berinvestasi 40 juta dollar AS mendatangi kantor Walhi di Jakarta, Emmy Hafield secara tegas menyatakan tentang kekeliruan perusahaan tersebut mau berinvestasi di Indorayon. "Sudah tahu Indorayon dipersoalkan keberadaannya karena letaknya yang keliru, berada di antara dua lembah dan di tengah permukiman penduduk, masih mau juga berinvestasi. Salah siapa?" jelas Emmy. Emmy menyadari, di tengah krisis ekonomi sekarang negeri ini memang memerlukan investasi. Tetapi, apakah karena negeri ini membutuhkan investasi, lalu rakyat dikorbankan? "Siapa yang bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu terhadap rakyat? Apa pemerintah mau bertanggung jawab?" jelasnya. SEBALIKNYA, Pemerintah Kabupaten Toba Samosir bersama manajemen PT IIU sejak beberapa waktu lalu telah aktif melakukan sosialisasi beroperasinya kembali pabrik yang telah berganti nama menjadi PT TPL ini ke masyarakat. Bahkan, Direktur Utama PT TPL Bilman Butarbutar mengklaim sosialisasi yang dilakukan Indorayon sudah mendapat dukungan sebagian besar masyarakat. Bagi Pemerintah Kabupaten Tobasa, uluran tangan PT TPL akan bagi hasil satu persen itu jelas sebuah tawaran menggiurkan di tengah krisis ekonomi yang parah saat ini. Sayangnya, kesuksesan sosialisasi yang diklaim Butarbutar itu tak mampu menyentuh warga yang tetap menolak Indorayon, apa pun nama barunya (baca: Iming-iming Uang Itu tak Mempan ). Menurut pengakuan warga di sekitar Porsea, sejak Indorayon ditutup mereka kembali dapat menghirup udara segar selama 24 jam. Tak ada lagi bau busuk yang menyengat ke hidung dan mengganggu kesehatan warga. Atap seng rumah pun tidak lagi keropos-keropos, seperti yang terjadi sampai dua tahun lalu. Selain itu, hasil panen padi maupun ikan mas yang ditanam di sawah pun mulai membaik. Sebagaimana dikemukakan M Sirait (53), Sekretaris Desa Silamosik, Kecamatan Porsea, tanaman padi warga di desanya yang disemai di sawah cukup subur. Hasilnya jauh lebih baik dibandingkan ketika Indorayon beroperasi. Sebagai bukti, semasa Indorayon beroperasi, hasil panen sawah miliknya dari seluas 400 meter hanya bisa menghasilkan 10 kaleng (300 liter) beras. Setelah Indorayon tutup, penghasilannya meningkat menjadi 25 kaleng (750 liter). "Lihat saja sawah ini, kan tanaman padinya sehat-sehat," ungkap Sirait yang memiliki dua hektar sawah itu. "Kondisi seperti sekarang ini tak ternilai harganya bagi kami. Sudah cukup kami mengalami penderitaan selama ini. Jangan usik lagilah ketenangan sekarang ini," tambahnya. Berbagai rangkaian kegiatan yang dilakukan Pemerintah Provinsi Sumut, Pemerintah Kabupaten Toba Samosir, dan manajemen Indorayon menyosialisasikan beroperasinya kembali perusahaan tersebut tetap belum mampu mengambil simpati warga sekitar. Bukan tanggung-tanggung upaya yang sudah dilakukan dalam sosialisasi ini. Sebuah pertemuan ilmiah antarpakar, baik yang kontra maupun pro Indorayon, digelar di Parapat akhir September 2000. Kemudian dilakuan sosialisasi paradigma baru Indorayon ke tengah-tengah masyarakat berupa hasil dari pertemuan pakar itu, baik oleh Indorayon maupun oleh pemerintah setempat. Kenyataannya, Indorayon sepertinya hanya mampu menyosialisasikan visi dan misi paradigma barunya kepada kalangan aparat pemerintahan dan masyarakat yang tempat tinggalnya jauh dari lokasi pabrik, misalnya Kecamatan Balige. *** SAMPAI saat ini, yang kasat mata di depan adalah PT TPL gagal beroperasi kembali pada 31 Maret lalu. Ribuan warga di sekitar Porsea pada tanggal itu berkumpul di Simpang Siraituruk atau tujuh kilometer dari pabrik Indorayon di Sosorladang, melakukan aksi bersama menolak beroperasinya kembali pabrik pulp itu. Hari itu, di lokasi pabrik, kegiatan yang terlihat hanyalah aparat Kepolisian Resor Tapanuli Utara yang dilengkapi senjata laras panjang berjaga-jaga di dalam pabrik dan luar pabrik. Sementara karyawan Indorayon yang terlihat hanyalah petugas security, maintenance mesin-mesin, penjaga kantin, dan karyawan bagian umum. Sampai kini suasana di lokasi pabrik memang sangat sepi. Setelah perusahaan memutuskan hubungan kerja terhadap semua karyawan di pabrik rayon, yaitu 405 orang dan sebagian besar di pabrik pulp dan umum yaitu sebanyak 760 orang, tak ada lagi iring-iringan karyawan keluar-masuk Indorayon. Jumlah total karyawan Indorayon di pabrik sebanyak 1.658 orang dan karyawan di Divisi Hutan Tanaman Industri (HTI) sebanyak 5.636 orang, termasuk karyawan tidak tetapnya. Ditambah berhentinya bekerja mesin penggiling dan penghancur kayu di pabrik, kawasan Indorayon pun kini seperti kuburan. Tak ada lagi tercium bau busuk limbah atau keluarnya gumpalan asap dari cerobong pabrik ke awan atau menembus rumah-rumah penduduk. Malah, pengakuan General Affair & Lecence Indorayon Mulia Nauli, mesin-mesin pabrik rayon mulai dibongkar karena total tak beroperasi lagi. Malah sebagian mesin pabrik pulp yang didirikan tahun 1989 itu mulai berkarat. Sisa-sisa kayu atau sisa-sisa penggilingan pulp pun dibiarkan telantar di lokasi pabrik. Hal sama terlihat juga di permukiman penduduk kawasan Sosorladang. Kota "mati" yang sejak Indorayon berdiri disulap menjadi kota kecil yang ramai kini kembali "mati" lagi. Aspal jalan pun terlihat mulai memutih dan sebagian mulai berlubang-lubang. Di sepanjang pinggir jalan mulai banyak tumbuh ilalang yang merambat ke badan jalan. Padahal, di desa itu sudah berdiri pertokoan sederhana, warung telekomunikasi, atau bengkel sepeda motor dan mobil. Kita memang bisa menyesalkan sebuah investasi raksasa dan berpotensi besar yang kini terbengkelai. Tetapi, kita juga boleh mensyukuri satu hal: sebuah kesalahan telah dihentikan sebelum makin berlarut menjadi kesalahan berikutnya. PT IIU memang buah simalakama bagi Sumut. (Surya Makmur Nasution)