http://kompas.com/kompas-cetak/0104/30/METRO/hati18.htm >Senin, 30 April 2001 Hati-hati Membeli Tanah di Kawasan Puncak Chris Verdiansyah PEMERINTAH ternyata tidak menutup mata terhadap rusaknya Kawasan Puncak atau Bogor-Puncak-Cianjur (Bopunjur) akibat derasnya pembangunan vila dan rumah-rumah peristirahatan mewah di daerah penyangga tersebut. Pertengahan tahun 1999, pemerintah mulai menggodok satu rancangan baru tentang Penataan Ruang Kawasan Bopunjur. Bila rampung, akan diterbitkan satu Keputusan Presiden (Keppres) baru untuk menjaga konservasi tanah dan air di kawasan resapan air tersebut.Bila Keppres baru itu terbit-sampai sekarang belum ada kabar sudah rampung atau belum-maka bertambah satu lagi peraturan perundang-undangan yang semuanya mengatur pembangunan di Bopunjur. Sebelumnya, sudah ada Keppres No 48/1983, Keppres 79/1985, Keputusan Bersama Mendagri, PU dan Kehutanan, Keputusan/Instruksi Mendagri (dua buah), Keputusan/Instruksi Gubernur (juga dua buah) dan sejumlah Perda (peraturan daerah). Tetapi, semua peraturan perundang-undangan itu ternyata tidak mampu mengendalikan pembangunan baru di Bopunjur. Sementara menunggu Keppres baru tersebut, tanggal 8 Oktober 1999, Hasan Basri Durin dalam kapasitasnya sebagai Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) menulis surat kepada Kepala Kantor Wilayah BPN Jawa Barat. Isinya, menegaskan agar Kantor Wilayah BPN tidak memberikan Hak Milik kepada para pemohon hak atas tanah di kawasan Puncak atau Bopunjur (Bogor-Puncak-Cianjur). Walaupun pemohon memenuhi semua persyaratan. Kantor Wilayah BPN Jawa Barat ditegaskan hanya memberikan Hak Pakai untuk jangka waktu 10 tahun. Dalam percakapan dengan beberapa notaris di sekitar Kawasan Puncak pertengahan April 2001, terungkap, selama beberapa bulan terakhir tahun 1999, pengurusan permohonan baru hak atas tanah memang ditolak BPN Jawa Barat. Tetapi, pertengahan tahun 2000, permohonan baru diterima lagi dan diproses. Para notaris itu mengaku tak tahu mengapa diperbolehkan lagi, sementara ihwal Penataan Ruang Kawasan Bopunjur belum diberi tahu kepada mereka apakah sudah selesai diproses dan sudah tertuang berupa Keppres baru. Kawasan Puncak atau Bopunjur lewat Keputusan Presiden No 79/985 ditetapkan meliputi 14 kecamatan-yang kemudian karena pemekaran menjadi 18 kecamatan-terbagi dalam tiga kawasan. Yakni, kawasan lindung, kawasan penyangga dan kawasan budidaya. Kawasan lindung adalah Kecamatan Citeureup, Cisarua, Cugenang, Ciawi, Pacet, Megamendung, dan Sukaresmi. Kawasan penyangga di Kecamatan Citeureup, Cisarua, Cugenang, Ciawi, dan Pacet. Sementara kawasan budidaya di Kecataman Gunung Sindur, Ciputat, Sawangan, Parung, Semplak, Cibinong, Cimanggis, Gunung Putri, Citeureup, Pacet, Cisarua, Kedung Halang, Ciawi, Cugenang, Cipanas, dan Pamulang. Dari 18 kecamatan tersebut, ditetapkan enam kecamatan prioritas dalam rangka meningkatkan perlindungan lingkungan. Masing-masing, tiga kecamatan di Kabupaten Daerah Tingkat Dua Bogor (Megamendung-Ciawi-Cisarua) dan tiga kecamatan di Kabupaten Daerah Tingkat Dua Cianjur (Pacet-Selaresmi, dan Cugenang). *** PENOLAKAN BPN Jawa Barat atas permohonan baru tersebut sempat melahirkan kabar, bahwa pemerintah telah menyadari kekeliruannya yang tidak kosekuen dan konsisten menjaga peran Bopuncur sebagai kawasan penyangga. Sebelumnya, terutama antara tahun 1990-1994, terutama Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor sering melakukan pembongkaran atas bangunan/vila/ rumah peristirahatan mewah yang dibangun tanpa Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Catatan Kompas, sedikitnya 300 bangunan tanpa IMB telah dibongkar. Penggarapan atas tanah HGU Sumber Sari juga dilirik oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. Pada tahun 1990, sembilan bangunan vila di atas tanah perkebunan tersebut dibongkar. Tahun 1991, lima vila dan tahun 1992 sebanyak 30 vila dibongkar dengan cara dibuldozer. Pelanggaran lainnya, yakni pengalihan peruntukan lahan basah-lahan pertanian yang telah memiliki jaringan irigasi-dicoba ditangani setelah tahun 1994. Namun, sejauh ini belum terdengar ada bangunan vila yang dibangun di atas lahan basah, dibongkar. Padahal, pelanggaran jenis ini paling menonjol. Lahan basah memang adalah milik warga lokal, milik petani berdasi. Soalnya, untuk masa yang cukup panjang, sudah sulit menemukan petani pemilik lahan di Kawasan Bopunjur. Awalnya memang punya, tetapi kemudian dijual kepada orang-orang berduit yang umumnya adalah warga Jakarta. Era tahun 1970-an, ketika kawasan Puncak mulai efektif digarap menjadi daerah tujuan wisata-yang dicirikan dengan pembangunan vila-vila-lahan-lahan basah itu pun dijual lagi. Maka, petani penggarap yang selama itu menjaga dan mengurus lahan basah tersebut, langsung kehilangan pekerjaan. Mereka hanya bisa menjadi buruh bangunan, pencabut rumput, atau membersihkan jalan di kawasan-kawasan real estat. Atau menjadi pedagang sayur, buah-buahan, jagung bakar dan sudah merasa lumayan bila diterima menjadi Satpam (Satuan Pengamanan). Dan celakanya lagi, agar tidak dituding melanggar peraturan perundang-undangan, tali air yang mengairi lahan pertanian tersebut diputus dengan sengaja. Setelah lahan menjadi kering, barulah dijual. Padahal, pemerintah telah mengeluarkan uang yang lumayan besar untuk membangun irigasi tersebut. Pelanggaran secara sengaja juga terjadi menyangkut ketentuan building coverage. Ketentuan yang semestinya dipatuhi itu menyebutkan, perbandingan luas bangunan dan lahan kosong harus 30 : 70. Tetapi, terutama oleh para developer, ketentuan itu dilanggar dengan cara mendirikan vila-vila yang saling dempet, dan kemudian sarana jalan dan sedikit taman dinyatakan sebagai lahan terbuka. Padahal, ketentuan itu secara jelas menyebutkan, satu bangunan-bukan deretan bangunan-luasnya tak boleh lebih kecil dibanding lahan kosong yang mengitarinya. Lahan kosong berupa halaman yang tentunya-dalam konteks Kawasan Puncak sebagai areal konservasi tanah dan air-harus ditanami pepohonan. Pelanggaran semakin lengkap, setelah sejumlah real estat menggarap tanah-tanah miring dan perbukitan serta kantung-kantung air, untuk membangun vila-vila. Seperti yang terjadi, semisal di Sindanglaya, Pacet, dan Cimacan. Pelanggaran-pelanggaran itu sepertinya tak pernah disentuh, terutama setelah era jatuhnya Presiden Soeharto tahun 1998. Tetapi, ketika BPN Jawa Barat menolak permohonan baru hak atas tanah, muncul berita pemerintah telah mengakui kesalahannya. Dan untuk itu, tidak lagi diberikan Hak Milik, melainkan hanya Hak Pakai yang masa berlakunya pun cuma 10 tahun. Setelah 10 tahun, negara akan mengambil kembali tanah serta bangunan-bangunan bermasalah tersebut dan dikembalikan kepada fungsinya semula. MAKA, pada masa itu beredar luas semacam "nasihat" agar hati-hati membeli tanah/ vila di kawasan Puncak. Bisa-bisa, tanah atau vila yang dibeli hanya untuk masa 10 tahun dan setelah itu akan diambil lagi oleh negara. Entah karena "nasihat" itu, atau memang bersamaan dengan krisis ekonomi yang melanda negeri ini mulai Juli 1997, pembangunan baru di Kawasan Puncak memang berkurang. Tetapi, tak lama, karena memasuki tahun 2000, proses pemindahan lahan ke tangan pendatang bangkit kembali. Bangkit dengan semangat yang lebih besar. Dan masih berlangsung hingga sekarang. Suatu proses peruntukan daya dukung Kawasan Puncak sebagai daerah konservasi air yang sangat dibutuhkan oleh warga Jakarta, oleh warga Jakarta sendiri...(lom --------------------------------------------------------------------- Mulai langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED] Stop langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED] Archive ada di http://www.mail-archive.com/envorum@ypb.or.id