http://kompas.com/kompas-cetak/0105/02/NASIONAL/kere08.htm
>Rabu, 2 Mei 2001

Kerelawanan Itu Mencairkan Kotak-kotak SARA 

DATANGLAH ke Kota Sampang, Madura. Di rumah setengah jadi di Jalan Kusuma Bangsa 13, 
Anda dapat menjumpai puluhan anak muda sibuk mengurus logistik bantuan kebutuhan pokok 
bagi ribuan pengungsi asal Sampit dan Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Mereka bukan 
hanya pemuda asal Sampang, namun juga mahasiswa-mahasiswi dan pelajar asal Kota 
Surabaya, Malang, dan kota-kota lain. Keluarga Haji Muhammad Hisham, sang tuan rumah, 
rupanya sudah mulai terbiasa dengan tambahan puluhan "anggota keluarga" baru ini. Para 
relawan muda terkait tidur dengan alas seadanya di lantai semen. Mandi pun harus antre 
karena hanya ada dua kamar mandi di rumah itu. 
"Toko kelontong saya sementara saya tutup dulu. Kebetulan anak saya baru saja 
melahirkan, jadi tidak bisa menjaga. Saya khawatir nanti barang-barang bantuan untuk 
pengungsi dikira saya jual, karena ditumpuk dekat barang dagangan saya. Malah 
permen-permen di toko habis dimakan oleh para relawan, ha ha ha...," kata haji yang 
menjadikan rumahnya juga sebagai sekretariat Gerakan Advokasi Masyarakat Pembela 
Rakyat (Gampar). 

Haji Hisham dikenal sebagai tokoh penggerak masyarakat tiga desa penghasil garam di 
Kecamatan Torjun, yang melakukan gugatan ke PN Garam untuk hak kepemilikan tanah. Tak 
heran jika haji aktivis ini segera terketuk hatinya untuk membantu Tim Relawan 
Kemanusiaan dan merelakan rumahnya untuk tumpangan dan kantor gratis. Rumah 
tetangganya yang coba disewa untuk posko, ternyata tidak diberikan, karena keberatan 
menampung para relawan. 

Posko Relawan Kemanusiaan yang sudah berjalan hampir dua bulan ini memang kebanjiran 
amat banyak bantuan kebutuhan pokok, namun mereka cukup kesulitan dana operasional, 
mulai dari anggaran untuk distribusi ke 134 desa di 12 kecamatan yang amat tersebar, 
hingga biaya untuk konsumsi para relawan. Biaya telepon dan makan untuk para relawan 
yang dimasakkan keluarga Haji Hisham adalah Rp 350.000 per minggu. Biaya itu sangat 
murah mengingat jumlah relawan yang ada bisa mencapai 50 orang dan mereka makan tiga 
kali sehari.

Tim relawan yang putra asli Kabupaten Sampang justru datang dari kecamatan-kecamatan 
di luar Sampang. Pemuda Kota Sampang sendiri tidak ada yang mau bergabung, karena uang 
transpor yang diberikan hanya Rp 3.000 per hari. Menurut H Hisham, pemuda Kota Sampang 
baru mau bergabung kalau upahnya Rp 10.000 per hari. "Dari mana uangnya, untuk beli 
kantung plastik saja sulit, apalagi untuk bayar uang transpor sebegitu besar," katanya.

Makhrus, salah seorang relawan mengatakan, dirinya bergabung ke tim relawan sama 
sekali tidak memikirkan soal upah. Sebagian besar relawan Sampang adalah pemuda-pemuda 
lulusan sekolah menengah umum (SMU) yang tidak lagi melanjutkan sekolah, tetapi belum 
mempunyai pekerjaan. Hati mereka terketuk karena para pengungsi adalah saudara mereka 
sendiri.

Sebelum bergabung di tim relawan, Makhrus juga telah ikut mengumpulkan dana 
kemanusiaan di kecamatannya, Banyuates. Lumayan, telah terkumpul Rp 1,2 juta dan telah 
dibelikan beras dan mi instan. Ia sebenarnya sudah memperoleh ta-waran untuk membantu 
sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional yang memperoleh dukungan USAID, 
namun ia lebih tertarik memenuhi ajakan Amirusi (Koordinator Umum Posko Relawan 
Kema-nusiaan Sampang), yang tidak memasang bendera apa pun. "Di sini tidak pakai 
kontrak-kontrakan, walaupun uang hariannya cuma Rp 3.000," katanya.


***
SETIAP hari para relawan itu mendatangi secara bergiliran kecamatan-kecamatan yang 
menampung pengungsi. Sebelumnya, data lapangan mereka peroleh dari tim investigasi 
yang setiap hari Senin, Selasa, dan Rabu mendatangi desa-desa di berbagai kecamatan 
untuk mendata berapa pengungsi yang membutuhkan bantuan. Setelah didata, kepada para 
pengungsi itu kemudian dibagikan kupon. Cara ini ditempuh untuk mengurangi risiko 
kebocoran bantuan kepada para pengungsi. Hingga kini, jumlah pengungsi yang berada di 
12 kecamatan di Sampang tercatat 17.262 kepala keluarga atau 71.454 jiwa. Umumnya 
mereka tinggal di pedalaman.

Setelah jumlah pengungsi didapat, tim investigasi ini melaporkan ke posko. Para 
relawan pun kemudian disibukkan dengan mengemas sumbangan ke kantung-kantung plastik. 
Pengemasan kantung plastik ini ternyata mengambil biaya operasional yang cukup tinggi.

Setiap hari biaya operasional itu dipatok Rp 30.000. Namun, kenyataannya setiap kali 
membungkus bantuan itu, pembelian kantung plastik menghabiskan dana lebih dari Rp 
200.000. Tergantung dari banyaknya pengungsi yang dibantu pada minggu itu. Kantung 
plastik dimaksud dibutuhkan untuk mengemas minyak goreng, kacang hijau, beras, 
pakaian, dan sebuah plastik besar untuk membungkus satu paket. 

Yang membuat pusing para relawan, sebenarnya banyak bantuan yang datang dari berbagai 
pihak. Namun, tidak ada yang mau menyumbang untuk biaya operasional. Para pe-nyumbang 
itu lupa bahwa untuk mendistribusikan sumbangan juga diperlukan biaya yang tidak 
murah. Untuk mengangkut bantuan ke desa-desa yang letaknya di gunung, para relawan itu 
mendapat bantuan pinjaman sebuah truk berikut solar dari Robby, seorang warga 
keturunan Tionghoa di Sampang. Para relawan cukup membayar Rp 30.000 kepada sopirnya, 
tanpa ada batasan jam kerja.

Menurut Makhrus, yang juga anggota tim investigasi, setiap kali dirinya melakukan 
investigasi, dirinya selalu berbekal pisau atau celurit. Hal itu penting, untuk 
menghindari adanya serangan terhadap dirinya. Apalagi ada satu kecamatan, Ketapang, 
yang sulit ditembus karena konflik politik pemilihan bupati juga dikaitkan dalam 
pemberian bantuan kepada pengungsi.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa ribuan pengungsi di beberapa desa di Kecamatan Ketapang 
terancam kelaparan karena tidak mendapat pasokan bantuan kemanusiaan yang masuk ke 
Sampang. Mereka sulit mendapatkan bantuan, karena mereka menolak untuk ikut aksi 
dukung-mendukung kubu-kubu yang terlibat konflik politik pemilihan bupati. Bupati 
terpilih Fadillah Budiono, yang didukung oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP), 
memperoleh 23 suara, namun satu suara dinyatakan tidak sah, sementara saingannya 
didukung 22 suara, utamanya dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Hingga kini Fadillah 
belum juga dilantik.

"Kalau mereka tidak mendukung Fadillah, mereka tidak akan mendapatkan bantuan. Para 
relawan yang mau menolong mereka pun dilarang untuk masuk dan membantu," kata Ajiy, 
salah seorang relawan dari Posko Relawan Kemanusiaan Sampang.

"Kami baru saja mengantar truk Kodikal (Komando Pendi-dikan TNI Angkatan Laut-Red) 
berisi bantuan untuk pengungsi di Desa Bunten Barat, Ke-tapang. Karena pakai truk AL 
maka bantuan tidak dihalangi. Para pengungsi itu sampai me-nangis, karena mengaku 
belum pernah menerima bantuan apa pun dari Pemda maupun Sat-korlak (Satuan Koordinator 
Pe-laksana-Red). Seharusnya, untuk urusan kemanusiaan seperti ini tidak boleh ada lagi 
bendera politik, apalagi bendera agama," tutur Amirusi, ketika ditemui di Sampang, 
Sabtu malam, 21 April 2001 lalu. 

PERBEDAAN yang sering mengental di masyarakat, seperti isu-isu suku, agama, ras, dan 
antargolongan (SARA), ternyata luluh dan cair di kalangan orang muda seperti para 
relawan di Posko Relawan Kemanusiaan Sampang. Di posko itu, puluhan pemuda dan 
mahasiswa dari Sampang, Malang, Surabaya, Yogyakarta, dan Jakarta berkumpul bekerja 
sama. Pemuda Sampang yang beragama Islam bisa duduk, bercanda, makan, bekerja bareng 
dengan mahasiswa Surabaya dan Malang yang mayoritas beragama Katolik atau Buddha. 

Pada hari raya Jumat Agung dan Paskah pertengahan April lalu, Miftah, remaja dari 
Kedundung Sampang, dengan senang hati mengantarkan para rela-wan yang ingin beribadah 
di Pamekasan. "Di Sampang ini tidak ada gereja. Yang ada cuma stasi, dan jadwal 
misanya sedikit. Jadinya, saya antar mereka ke Pamekasan. Tidak ada masalah, dan saya 
ikut pesta Paskah-nya. Ini pengalaman pertama saya," katanya.

Menurut Miftah, dirinya tergugah mengantarkan kawan-kawan Kristiani, karena mereka 
telah bekerja untuk pengungsi dan masyarakat Sampang hingga tidak sempat beribadah. 
"Benar-benar tidak ada waktu untuk merayakan Paskah. Jadwal distribusi bantuan dan 
trauma center memang hari Jumat, Sabtu, dan Minggu. Sementara ibadah Paskah-nya juga 
Jumat dan Minggu. Mereka saja datang ke Pamekasan dengan baju lecek dan sandal. 
Pokoknya kumal banget," cerita Miftah.

Sementara, Caecelia dari Fa-kultas Farmasi Universitas Airlangga mengaku, sebenarnya 
dirinya agak takut datang ke Sampang, mengingat karakter orang Sampang yang 
keras-terlebih di Sampang sedang ada konflik politik. Dia khawatir, ketika berada di 
sana konflik tersebut muncul kembali. 

"Akan tetapi, pengungsi Sampang sangat membutuhkan bantuan kesehatan. Kalau bukan kami 
yang agak mengerti soal kesehatan, siapa lagi yang bisa membantu mereka. Apalagi kerja 
kemanusiaan ini berbarengan dengan Paskah. Saya juga ingin Paskah ini dilewatkan 
dengan hal-hal positif," kata Caecelia.

Penuturan jujur Miftah dan Caecilia menunjukkan bahwa persaudaraan insan sebangsa 
terbukti mampu mengalahkan kekerdilan kotak-kotak suku, agama, ras, dan antargolongan. 
Kaum muda di Sampang itu ti-dak perlu berslogan "Jangan Pisahkan Kami" segala.... (M 
Clara Wresti/Irwan Julianto) 


---------------------------------------------------------------------
Mulai langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED]
Stop langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED]
Archive ada di http://www.mail-archive.com/envorum@ypb.or.id

Kirim email ke