http://kompas.com/kompas-cetak/0107/06/DIKBUD/jala38.htm >Jumat, 6 Juli 2001 Jalan Panjang Menuju "Civil Society" Oleh Agus Muhammad WACANA civil society sebetulnya sudah mulai berkembang sejak dekade 70-an bersamaan dengan mulai maraknya lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Indonesia. Memasuki dekade 80-an, wacana ini makin merebut perhatian publik. Ini tidak heran, karena pada dekade tersebut, kekuasaan Orde Baru sedang di puncak kejayaannya dengan wacana tunggal yang sangat hegemonik yang ditandai penetapan Pancasila sebagai asas tunggal. Wacana lain di luar Pancasila ibarat barang haram yang bukan saja dilarang, tetapi juga diimbangi dengan tindakan hukum yang represif. Kita tentu masih ingat dua orang muda di Yogyakarta pada tahun 1987 yang ditangkap karena menjual dan mengedarkan buku-buku Pramoedya Ananta Toer, yakni Bambang Isti Nugroho dan Bonar Tigor Naipospos, dengan tuduhan subversif.Wacana civil society berhasil merebut perhatian publik, terutama kalangan terpelajar, LSM, dan akademisi karena ia menjadi satu-satunya wacana "perlawanan" terhadap kekuasaan yang otoriter. Sedangkan wacana lain yang lebih keras, seperti wacana oposisi, sama sekali tidak mendapat tempat dalam diskursus publik. Dengan beralasan oposisi tidak sesuai dengan budaya bangsa, penguasa bukan saja melarang oposisi dalam praktik politik, tetapi sebagai wacana juga tidak diberi hak hidup. Itulah sebabnya, wacana civil society seolah-olah menjadi alternatif sebagai wacana tandingan. Karena itu pula, wacana civil society lebih dimaknai sebagai "masyarakat sipil" yang diperhadapkan secara diametral dengan negara. Dari wacana civil society yang berkembang di Tanah Air, penekanan makna oposisi terhadap negara nampak sangat dominan. Padahal, wacana ini sebetulnya tidak semata-mata sebagai konsep yang secara diametral berhadap-hadapan dengan negara, tetapi lebih menunjuk pada keadaan sosial di mana masyarakat memiliki ciri-ciri kemandirian, kesukarelaan, kemampuan mengorganisasikan diri untuk memperjuangkan kepentingannya, serta ketaatan terhadap aturan main yang berupa hukum-hukum positif. Kemandirian dan kemampuan mengorganisasikan diri mengandaikan suatu keadaan di mana masyarakat memiliki tidak hanya kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri tanpa tergantung kepada pemerintah, tetapi juga kesadaran politik untuk selalu ikut terlibat dalam proses-proses politik melalui mekanisme kontrol terhadap kekuasaan, khususnya berkenaan dengan aturan-aturan publik yang secara langsung bersentuhan dengan mereka. Perspektif inilah yang agaknya sangat dominan dalam wacana civil society selama dua dekade terakhir ini. Sedangkan perspektif yang berkenaan dengan ciri ketiga, yakni kepatuhan terhadap hukum seolah-olah terlepas dari wacana civil society. Padahal ciri yang terakhir ini tidak kalah pentingnya bagi upaya penguatan civil society. Pemaknaan civil society sebagai wacana yang berhadapan secara diametral dengan kekuasaan sering kali kemudian diidentifikasikan pada kelompok-kelompok masyarakat yang tidak terkooptasi oleh negara. Kelompok-kelompok masyarakat, terutama LSM serta organisasi massa seperti NU dan Muhammadiyah, sering kali dianggap representasi dari civil society, karena kelompok-kelompok ini relatif mandiri, otonom, dan tidak tergantung pada pemerintah. Identifikasi semacam ini sebetulnya bisa dipahami-meski masih bisa diperdebatkan- karena pada masa Orde Baru hampir-hampir tidak ada organisasi yang terbebas dari kooptasi kekuasaan. Organisasi dengan massa dan keanggotaan yang luas seperti NU dan Muhammadiyah saja tidak sepenuhnya bisa dianggap mandiri, otonom, dan steril dari intervensi negara. Bukan hanya karena organisasi itu tidak mampu bersikap independen dan otonom, tetapi juga karena negara versi Orde Baru adalah negara yang mengurusi hampir segala hal hingga yang paling pribadi seperti dalam kasus KB. Bisa dipahami jika civil society tidak mengalami kemajuan yang berarti dalam kekuasaan Orde Baru. *** SEBAGAI konsep sosial yang lahir pada abad ke-18, civil society sangat terbuka terhadap berbagai perkembangan, pemaknaan, dan penafsiran. Dicetuskan pertama kali oleh Cicero-seorang filsuf Romawi-dengan gagasan cocieties civilis, civil society berkembang seiring dengan kemajuan pemikiran waktu itu. Pada mulanya civil society dipahami sebagai komunitas negara yang anggota-anggotanya adalah warga. Dalam konteks ini, civil society identik dengan negara. Hegel termasuk yang membolehkan negara melakukan intervensi terhadap civil society. Karena, dengan kebebasan mengembangkan aspirasi dan kepentingan dari setiap warga, maka civil society dengan sendirinya butuh bantuan negara untuk melakukan pengaturan, lewat kontrol hukum, administrasi, dan politik. Dalam sejarahnya kemudian, civil society mengalami perkembangan makna sebagai entitas yang terpisah dari negara. Adalah Thomas Pain (1792) yang mulai memaknai civil society dalam posisi diametral dengan negara, bahkan civil society dinilai sebagai antitesis negara. Dalam teori-teori liberal, civil society dipahami sebagai prakondisi bagi pembentukan kesadaran politik, penggalangan political will, terwujudnya kontrol sosial untuk mengawasi kekuasaan negara. Hak-hak terpenting pada civil society menurut teori-teori liberal adalah kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat serta kebebasan berkumpul dan berserikat. Dalam civil society tidak diperjuangkan kepentingan privat atau kepentingan kelas, tetapi kepentingan umum, di mana baik kepentingan perorangan maupun kepentingan kelas sudah dianggap terwakili. Namun, kelompok Marxis melihatnya justru sebagai bagian dari kelas borjuasi yang harus dilawan. Dengan memosisikan civil society pada basic material-nya, ia dianggap hanya mewakili kelompok-kelompok borjuis dan pemilik modal. Ketaatan terhadap hukum sebagai prasyarat civil society juga dianggap nonsens. Karena, hukum sebagai aturan main dipandang kelompok ini tak lebih dari sebuah produk politik. Sementara politik hanya menjadi alat bagi kepentingan pemilik modal. Dengan perdebatan yang seperti itu, wacana civil society memang bukan konsep yang dengan mudah bisa diapresiasikan dalam konteks Indonesia. Bukan hanya karena karakter sosial, budaya, serta politik kita berbeda dengan tempat asal konsep ini lahir, tapi secara teknis kebahasaan juga sulit ditemukan padanannya. Ada yang menerjemahkan sebagai 'masyarakat sipil', yang kemudian diperhadapkan dengan 'masyarakat militer'. Ada yang menerjemahkan sebagai 'masyarakat madani' dengan merujuk pada ideal type masyarakat Islam di Madinah pada masa-masa awal kedatangan Islam. Padahal civil society merujuk pada sebuah masyarakat yang ada dalam suatu negara yang disebut nation-state (negara-bangsa), bukan negara yang didasarkan agama maupun negara yang didasarkan pada suku (tribal-state). Kemudian ada juga yang menerjemahkan sebagai masyarakat warga, atau masyarakat kewargaan. Terjemahan yang terakhir inilah yang agaknya lebih dekat dengan substansi civil society. Sementara ada kelompok lain lagi yang enggan menerjemahkan istilah ini sehingga tetap menggunakan istilah civil society. Sebagai konsep sosial, civil society merujuk pada sebuah masyarakat dalam suatu negara. Masyarakat ini, berbeda dengan masyarakat yang ada dalam suatu komunitas etnis tertentu, ditandai pertama-tama tidak pada kemandirian dan otonominya dari negara, tetapi pada kepatuhannya terhadap produk-produk hukum yang sudah disepakati sebagai aturan main bersama dalam kehidupan publik. Tulisan ini akan mengikuti paradigma Hegel yang membagi masyarakat menjadi tiga, yakni keluarga, civil society, dan negara dengan sedikit modifikasi seperti yang dikemukakan Ignas Kleden melalui pembagian tiga wilayah sosial, yakni apa yang disebut sebagai wilayah privat (private sphere), negara sebagai wilayah politik (political sphere), dan civil society sebagai wilayah publik. Wilayah privat (private sphere), merupakan kehidupan komunal dari berbagai jenis komunitas, baik berdasarkan keturunan, kedaerahan, etnisitas, ataupun kesamaan agama dan bahasa. Dalam komunitas ini para anggotanya umumnya saling mengenal satu sama lain. Kehidupan dalam komunitas ini dan interaksi di antara anggotanya diatur berdasarkan adat-kebiasaan dan nilai-nilai budaya yang berlaku dalam kelompok tersebut. Hal terpenting yang merupakan ciri khas suatu komunitas adalah bahwa tiap-tiap anggotanya pertama-tama tidak dipandang sebagai individu yang otonom, tetapi lebih sebagai anggota komunitas yang terikat pada kelompoknya. Termasuk dalam kategori wilayah privat adalah komunitas etnis dan komunitas agama. Wilayah kedua yaitu negara yang bisa disebut juga dengan istilah wilayah politik (political sphere) di mana kekuasaan diorganisasikan dan digunakan, baik untuk mengatasi berbagai masalah dan konflik maupun untuk mewujudkan kepentingan umum. Representasi paling jelas dari kekuasaan negara adalah monopoli untuk menggunakan kekerasan (violence) mengatasi konflik dan memulihkan ketertiban. Tidak mengherankan jika negara sebagai organisasi kekuasaan selalu mempunyai suatu kecenderungan yang boleh dikatakan alamiah untuk bersikap otoriter, yaitu sikap memaksakan kehendak dengan menggunakan kekuasaan dan kekerasan sebagai sarananya. Itulah sebabnya kekuasaan negara perlu diawasi dan dibatasi, baik dengan membagi-bagikannya sehingga tercipta suatu keseimbangan kekuasaan maupun dengan mengontrolnya sehingga penggunaannya tidak menjadi sewenang-wenang. Sedangkan wilayah ketiga adalah civil society atau yang juga dikenal dengan istilah wilayah publik (public sphere), suatu wilayah yang bebas dan otonom di mana masyarakat saling berinteraksi dalam berbagai bentuknya tanpa ada batasan etnis, kedaerahan, maupun keyakinan. Kekhasan wilayah ini adalah dia tidak bisa menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan-tujuannya (seperti yang diperbolehkan pada negara), tetapi juga tidak bisa lagi merujuk pada nilai-nilai budaya sebagai normanya (sebagaimana yang terjadi pada wilayah privat dalam suatu komunitas). Norma-norma yang berlaku adalah hukum positif yang disepakati semua pihak dan berlaku untuk semua kalangan. Dengan demikian, untuk mengatasi konflik, maka penyelesaiannya tidak menggunakan norma-norma budaya tertentu sebagaimana yang berlaku pada wilayah privat dalam suatu komunitas, tetapi menggunakan hukum positif yang berlaku untuk semua orang. *** DALAM sebuah negara yang menganut nation-state (negara-bangsa), pembagian wilayah itu merupakan keharusan yang tidak bisa ditolak, karena masing-masing wilayah memiliki aturan main, prosedur, mekanisme dan logikanya sendiri-sendiri yang bersifat otonom. Ketiga wilayah tersebut harus dibatasi dengan garis demarkasi yang jelas dan tegas sehingga tidak sampai terjadi intervensi wilayah yang satu terhadap wilayah lainnya. Dalam konteks Indonesia, pembagian tiga wilayah sosial itu tidak mudah karena akan berhadapan langsung dengan kendala struktur sosial politik yang meletakkan agama tidak hanya pada wilayah privat, tetapi sekaligus wilayah publik bahkan masuk juga ke wilayah politik. Departemen Agama adalah contoh paling nyata dari masuknya wilayah privat ke wilayah politik. Padahal, dalam kategorisasi di atas, agama sesungguhnya termasuk wilayah privat. Bukan hanya karena agama adalah simbol yang paling eksplisit dari kehidupan komunal yang menjadi ciri khas wilayah privat, tetapi terutama karena ia adalah ekspresi dari kebebasan individu yang bersifat mutlak. Tidak ada satu kekuatan pun termasuk kekuatan negara-yang bisa memaksa seseorang agar memilih agama tertentu. Di sini bisa dikatakan bahwa urusan privat yang seharusnya cukup diserahkan kepada komunitas yang bersangkutan, justru diintervensi oleh negara. Dalam banyak hal, menurut Masdar F Mas'udi, masuknya agama ke dalam wilayah politik sebetulnya lebih sering berdampak negatif daripada positif. Paling tidak ada tiga risiko besar yang akan terjadi. Pertama, risiko yang bersifat ke dalam, membuat independensi keagamaan menjadi hilang. Keagamaan yang semula bertumpu pada kebebasan iman, lalu tereduksikan menjadi urusan birokrasi yang memiliki kecenderungan memaksa. Kedua, komunitas keagamaan pun terpaksa juga ikut tertundukkan oleh kepentingan negara, terutama kalangan elitenya. Ini bisa dilihat dari kecenderungan agama menjadi legitimasi politik. Ketiga, yang bersifat keluar, campur tangan negara pada domain keagamaan ini cenderung mendiskriminasikan faham keagamaan yang satu atas faham keagamaan yang lain, menganakemaskan kelompok keagamaan yang satu sambil menganaktirikan kelompok keagamaan yang lain. Lalu agama terseret ke derajat yang rendah, menjadi faktor pemecah belah. Agama yang semestinya menjadi rahmat berubah menjadi sumber fitnah. Ketika agama sebagai isu privat muncul dalam wilayah publik maupun politik, ia juga cenderung menjadi garis pemisah antara "kelompok kami" (in group) dan "kelompok mereka" (out group). Hal ini membawa akibat lebih jauh: ke dalam, ia berfungsi merangkul; dan ke luar, ia berfungsi menyangkal. Jika ditarik ke dalam wilayah publik maupun politik, kecenderungan itu membawa implikasi yang tidak kalah seriusnya. Karena, agama yang berwatak subyektif, tertutup dan "mutlak", harus menangani masalah-masalah publik dan politik yang pada hakikatnya bersifat obyektif, rasional dan terbuka. Kasus Ajinomoto yang dipersoalkan status kehalalannya beberapa waktu yang lalu adalah contoh yang sangat telanjang. Sebagai bagian dari wilayah publik, Ajinomoto adalah bumbu masak yang bisa diakses siapa saja tanpa ada batasan-batasan etnis, status sosial, keyakinan, dan sebagainya. Ia adalah produk publik, semua orang berhak mendapatkannya. Tetapi, ia kemudian diintervensi oleh dua wilayah sekaligus: agama dan negara. Agama sebagai wilayah privat mempersoalkan status kehalalannya. Negara, berdasarkan fatwa MUI atas nama agama, melakukan intervensi yang sama dengan menarik seluruh produk Ajinomoto dan bahkan menutup pabrik bumbu masak itu. Meski akhirnya dibuka kembali, di sini terlihat bahwa perlindungan terhadap konsumen Muslim secara berlebihan telah membawa efek mengesampingkan perlindungan terhadap kepentingan konsumen lainnya yang juga punya hak untuk memperoleh produk itu. Konsumen Muslim jelas perlu dilindungi. Tapi bukan berarti konsumen non-Muslim kemudian tidak berhak untuk mendapat perlindungan yang sama. Persoalannya adalah, agama sudah telanjur menjadi isu publik-sekaligus isu politik-bahkan sejak negeri ini berdiri. Perdebatan sengit di Dewan Konstituante yang berlarut-larut soal dasar negara merupakan ekspresi yang sangat nyata mengenai kecenderungan menempatkan agama sebagai isu publik sekaligus isu politis. Dan, dalam kadar tertentu, kecenderungan ini bersifat permanen. Hampir-hampir mustahil bagi bangsa yang terkenal religius ini untuk melepaskan agama dari isu publik dan kemudian meletakkannya hanya semata-mata sebagai isu privat. Islam sebagai agama mayoritas diyakini pemeluknya lebih dari sekadar sistem ritual. Islam din wa daulah-Islam adalah sistem ajaran (agama) dan sekaligus sistem kekuasaan-adalah adigium yang sudah telanjur menancap kuat dalam memori kolektif umat yang terus dipertahankan, dipraktikkan, dan direproduksi secara berkelanjutan. Dengan demikian, agak susah untuk "menurunkan" agama sebagai isu publik dan politik pada level privat. *** KEBERADAAN agama sebagai isu publik maupun politik sebetulnya tidak perlu dipersoalkan sejauh pengaruh agama terhadap norma-norma yang berlaku di wilayah publik didasarkan pada kesepakatan bersama. Sebab, pembagian wilayah secara jelas dan tegas itu tidak berarti menafikan interaksi di antara ketiga wilayah itu. Interaksi justru merupakan suatu hal yang wajar dan alami, karena dari interaksi inilah kemudian terjadi saling mempengaruhi. Hanya saja, interaksi dan saling mempengaruhi itu harus terjadi dalam koridor yang bersifat sukarela dan tidak memaksa. Hubungan agama sebagai isu publik dan negara sebagai wilayah politik mestinya terjadi dalam konteks itu. Kecenderungan agama untuk mempengaruhi kehidupan publik, baik di level politik (negara) maupun di level civil society, adalah wajar-wajar saja. Karena itu, kita tidak perlu membongkar paksa keberadaan agama sebagai isu publik dan sekaligus isu politis karena justru kontra-produktif dan akan berhadapan secara langsung dengan memori kolektif umat yang sudah demikian kokoh menganggap agama sebagai isu publik dan sekaligus isu politik. Yang paling "realistis" adalah "mengeksploitasi" sisi-sisi publik dari agama untuk kepentingan publik sambil secara perlahan-lahan menurunkan sisi-sisi agama yang bersifat komunal ke wilayah privat. Yang pertama-tama perlu dilakukan tentu saja adalah memilah-milah mana ajaran agama yang bersifat publik dan mana ajaran privat. Upaya pemilahan ini sebetulnya tidak terlalu sulit, karena di samping masing-masing agama memiliki ajaran privat dan ajaran publik, perbedaan di antara keduanya pun cukup jelas. Ajaran publik adalah hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan umum. Sedangkan ajaran privat adalah hal-hal yang hanya menyangkut kehidupan pribadi umat dan kehidupan komunitas agama yang bersangkutan. Dalam Islam, misalnya, ajaran privat terlihat jelas dalam bidang ubudiyah yang mengatur masalah-masalah ritual dan bidang al-ahwal al-syahshiyah yang mengatur kehidupan domestik keluarga dan komunitas Muslim. Sedangkan ajaran publik tercermin dalam bidang mu'amalah (hubungan horizontal antarsesama manusia tanpa mengenal batas etnis, bahasa, maupun keyakinan) yang biasanya berisi prinsip-prinsip moral dan etika sosial. Ajaran-ajaran publik inilah yang harus dipertahankan dan diperkuat pada agama sebagai isu publik maupun politik. Sedangkan ajaran-ajaran privat yang hanya berlaku bagi pribadi dan komunitas umat sedikit demi sedikit diturunkan dari wilayah publik dan wilayah politik ke wilayah privat. Tentu saja tidak cukup sampai di sini. Paradigma Koentowidjojo yang terkenal dengan pendekatan "obyektifikasi" mungkin menarik untuk dikembangkan lebih jauh. Obyektifikasi yang dimaksudkan adalah eksternalisasi dari keyakinan agama yang tidak hanya dirasakan oleh orang yang bersangkutan dan kalangan komunitasnya, tetapi juga dirasakan agama lain sebagai sesuatu yang natural. Secara lebih gamblang, Ignas Kleden menawarkan "sekularisasi simbol agama". Yang dimaksudkan adalah, substansi dari ajaran agama yang bersifat publik itu dipertahankan, tetapi label dan referensi yang secara simbolik menunjuk pada agama tertentu ditanggalkan. Sehingga, ketika berada di ruang publik, substansi ajaran-meski berasal dari agama tertentu-bisa diapresiasi dan diakui sebagai bagian dari kehidupan publik. Ignas Kleden mengambil contoh komunitas Kristen yang dapat menawarkan nilai cinta-kasih Kristiani sebagai sumbangan kepada wilayah publik. Akan tetapi, sambil tetap mempertahankan substansinya, nilai itu haruslah diterjemahkan menjadi suatu nilai publik yang dapat diterima juga oleh komunitas agama lainnya. Caranya ialah dengan menanggalkan label Kristen dan referensi Kristennya dan menerjemahkannya menjadi solidaritas sosial. Dengan istilah solidaritas sosial dimaksudkan sebagai kesanggupan dan kewajiban untuk melihat penderitaan orang lain sebagai penderitaan kita sendiri. Demikian pula dalam hal pemihakan, yakni menghormati kelompok yang berhasil dalam usaha ekonominya, tetapi memihak golongan yang kalah dan tersingkir dalam usaha ekonomi yang sama. Menurut Ignas, ada berbagai nilai yang amat mencolok dalam setiap komunitas agama yang sangat layak untuk disumbangkan ke wilayah publik dengan cara yang sama. Nilai-nilai keadilan dan egalitarianisme sebagai nilai yang sangat kuat pada komunitas Islam, etika antikekerasan dalam komunitas Buddha atau kepekaan terhadap alam dan ekologi pada komunitas Hindu dapat memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi kehidupan publik. Semua nilai-nilai itu dapat disumbangkan untuk memperkuat civil society setelah referensi-referensi yang bersifat komunal ditanggalkan sehingga dapat diterima oleh komunitas agama lain yang juga menjadi anggota dari wilayah publik. Karena itu pula, sumbangan agama terhadap civil society perlu mendapat rumusan baru. Gejala kebangkitan agama, khususnya Islam, pada era reformasi ini seharusnya dapat menjadi momentum untuk memberikan sumbangan bagi kehidupan publik. Dalam ungkapan Ignas Kleden, seseorang yang menjalankan ibadahnya dengan sungguh-sungguh biasanya akan termotivasi untuk berkorban bagi kepentingan orang banyak, bahkan juga untuk kepentingan orang-orang yang berasal dari komunitas agama lain. Di sinilah kesalehan harus mendapat tafsiran baru. Kesalehan seseorang sebagai bagian dari wilayah publik tidak diukur dari intensitasnya dalam menjalankan berbagai macam ibadah, tetapi lebih ditentukan oleh sejauh mana dia sanggup menerjemahkan berbagai macam ibadah yang dijalaninya serta beragam latihan rohaninya menjadi kesadaran baru untuk mendukung kepentingan publik yang melampaui batas-batas agama, etnis, kedaerahan, ataupun kesamaan bahasa. *** MELIHAT berbagai persoalan di Tanah Air, jalan menuju civil society yang bebas dan otonom agaknya masih panjang, bukan hanya karena tidak ada garis pemisah yang jelas dan tegas antara wilayah privat (private sphere) dalam suatu komunitas, wilayah politik (political sphere) dalam kehidupan negara, dan wilayah publik (civil society), tetapi terutama karena sejauh ini belum ada usaha-usaha konkret untuk memisahkan ketiga wilayah tersebut. Yang terjadi justru sebaliknya, campur aduk di antara ketiga wilayah tersebut dibiarkan carut-marut. Keadaan ini masih diperparah oleh kenyataan bahwa penegakan hukum sebagai prasyarat mutlak kehidupan civil society nyaris terbengkalai sama sekali. "Pembangkangan" terhadap hukum tidak hanya terjadi di wilayah politik (political sphere) dalam kehidupan negara dengan maraknya apa yang disebut korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), tetapi juga di wilayah publik yang ditandai dengan ketidakpercayaan dan ketidakpedulian terhadap hukum. Sementara itu, kebangkitan komunalisme menjadi tantangan tersendiri. Salah satunya adalah keinginan untuk memberlakukan syariat Islam untuk wilayah-wilayah yang basis penduduknya Muslim. Bahkan, untuk sebagian, keinginan ini sudah mulai diekspresikan dengan memberlakukan hukum rajam pada orang yang melakukan zina. Rajam adalah sanksi hukum dalam Islam bagi orang yang melakukan zina dengan dilempar batu sekepal tangan sampai mati. Hal ini sudah terjadi pada salah seorang anggota lasykar jihad yang mengaku berzina dan kemudian dihukum rajam. Kebangkitan komunalisme juga muncul dalam bentuk lain yang tidak kalah seriusnya, yakni konflik horizontal bernuansa SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) seperti yang terjadi di Sambas dan Sampit, sebelumnya juga di Ambon dan Maluku. Pertikaian antar-etnis yang seharusnya diselesaikan berdasarkan hukum positif, justru menggunakan cara-cara adat dalam komunitas yang bersangkutan. Ironisnya, aparat juga tidak mampu berbuat banyak hingga melahirkan korban nyawa yang demikian banyak. Semua gejala di atas bermuara pada penghancuran nilai-nilai civil society yang seharusnya dijaga dan dipelihara bersama. Bahwa masyarakat kehilangan kepercayaan tidak hanya terhadap aparat hukum, tetapi bahkan terhadap hukum itu sendiri, tidak bisa dijadikan alasan untuk melakukan tindakan main hakim sendiri, apalagi dengan cara-cara kekerasan. Di sinilah usaha pemberdayaan civil society menemukan pijakannya yang paling nyata. Perlunya pemberdayaan civil society tidak hanya dalam arti bahwa masyarakat memiliki ruang publik yang bebas dari intervensi negara dan komunitas baik dalam pengertian etnis maupun agama, tetapi juga kesediaan untuk memandang norma-norma hukum yang berlaku di wilayah publik sebagai komitmen bersama yang harus dipegang teguh. Pentingnya penguatan civil society sebagai wilayah yang bebas dari intervensi negara maupun komunitas akan semakin nyata karena, menurut Ignas Kleden (1999), civil society mengemban dua fungsi sekaligus. Terhadap negara ia berfungsi menerjemahkan kekuasaan negara menjadi the rule of law; sementara terhadap kehidupan komunitas dalam wilayah privat, dia menerjemahkan nilai-nilai budaya dari tiap-tiap komunitas menjadi peraturan hukum yang bersifat publik. Di sinilah negara menjadi "wasit" dalam wilayah civil society. Sebagai "wasit", negara bukan hanya dituntut untuk berlaku adil, tetapi juga memerlukan kontrol dan pengawasan dari segenap masyarakat warga (civil society) agar kewenangannya tidak sampai diselewengkan. Agus Muhammad, Peneliti pada Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Jakarta. --------------------------------------------------------------------- Mulai langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED] Stop langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED] Archive ada di http://www.mail-archive.com/envorum@ypb.or.id