http://kompas.com/kompas-cetak/0108/25/JATENG/manu26.htm >Sabtu, 25 Agustus 2001 Manusia Pemimpin Indra Tranggono Definisi manusia, ditentukan oleh sudut pandang di mana engkau berada. Jika engkau rohaniwan atau agamawan, maka engkau akan menganggap, sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang patuh pada perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Jika engkau guru, maka engkau menganggap sebaik-baiknya manusia adalah yang berilmu tinggi dan mampu mewujudkannya dalam praksis sosial. Agamawan/rohaniwan dan guru melihat manusia sebagai eksistensi yang berpotensi tinggi untuk melakukan mobilitas vertikal-spiritual. Ujung dari pencapaian itu ialah "menjadi". Artinya menjadi manusia dengan "M" besar; totalitas dari sifat-sifat ideal manusia: berkemampuan, cerdas, memiliki kematangan intelektual dan emosional, jujur, adil, dan demokratis. Namun, lain persoalannya jika engkau pedagang, atau penguasa. Pedagang melihat manusia dari sudut kepentingannya, yakni keuntungan. Pertanyaan penting yang selalu muncul darinya adalah apa yang bisa dijual. Setiap sisi manusia selalu dilihat dalam dimensi profit, laba. Jadi bagi pedagang, sebaik-baik manusia adalah yang memiliki daya jual, kemedol alias marketable. Sedang penguasa selalu meletakkan manusia pada dimensi kekuasaan. Baginya, manusia yang baik adalah patuh, loyal untuk selalu ikhlas atau legawa untuk dikuasai dan dieksploitasi demi kepentingan politiknya. Karena itu, penguasa yang "murni dan konsekuen", selalu "konsisten" menciptakan kepatuhan dan ketakutan kolektif atas rakyatnya. Rakyat, yang semestinya memegang kedaulatan tertinggi hanya memiliki hak untuk dibohongi, dimarahi, dihardik, diteror, diperah, dilucuti hak-hak asasinya, dikerdilkan mentalitasnya, dibonsai pertumbuhan daya kritisnya, dan seterusnya. Di atas singgasana ketakutan itu, penguasa bersama para kroninya menangguk keuntungan material dan imaterial. Yang mencemaskan, jika terjadi sinergi potensi pedagang dan penguasa (dan biasanya memang begitu!) dalam diri seseorang yang mengaku pemimpin warga atau bangsa. Rakyat benar-benar runyam. Tidak hanya dalam kehidupan sosial-ekonominya, tapi juga hari depan martabat kemanusiaannya. Kekuasaan, di tangan penguasa yang mengaku pemimpin ini, bukan lagi menjadi wahana untuk mensejahterakan manusia lahir dan batin, melainkan mesin kepentingan yang terus dipacu untuk menghasilkan keuntungan sepihak yang mencekik di pihak yang dikuasai. Dalam praktik kekuasaan bengis ini, kata rakyat telah tereduksi menjadi sekadar "sapi perah". Itulah bedanya penguasa dengan pemimpin. Jika definisi penguasa memiliki konotasi buram seperti diurai di atas, maka pemimpin yang sejati adalah manusia yang mengoperasikan totalitas integritas dan kapasitasnya untuk membuka partisipasi ekonomis, politik, dan budaya bagi mobilitas sosial-vertikal rakyat menuju ke tingkat eksistensi yang lebih tinggi. Artinya, dalam pemimpin sejati terkandung juga potensi rohaniwan/agamawan sekaligus seorang guru. Artinya juga, pemimpin sejati tidak hanya punya visi sosial-politik-ekonomi-budaya, melainkan juga memiliki visi "profetik": membebaskan manusia dari posisi fakir, baik secara material maupun secara intelektual. Melihat tugas yang memiliki tingkat kesulitan yang berlapis-lapis ini, mestinya pemimpin itu menjalaninya dengan laku prihatin, menempuh jalan asketis, madhep manteb pada Yang Maha Pemberi amanat. Maka menjadi aneh jika ada seorang yang terpilih menjadi lurah, kadus, kades, camat, bupati, wali kota (baik dengan atau tanpa politik uang), atau menteri, bahkan presiden justru berpesta, atau menjanjikan jatah lahan basah pada hadai tolan dan kerabat. Pemimpin jenis ini barangkali menganggap kekuasaan adalah bancakan. Maka, pernah kita dengar kata Indonesia Raya diganti dengan Indonesia rayahan, artinya Indonesia yang saling berebut, bancakan tadi. Atau barangkali ia atau mereka sedang berpikir ala pedagang: selalu mengkalkulasi pengeluaran dan memproyeksikan pemasukan.... (Indra Tranggono, cerpenis, pekerja seni tinggal di Yogyakarta) --------------------------------------------------------------------- Mulai langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED] Stop langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED] Archive ada di http://www.mail-archive.com/envorum@ypb.or.id