http://www.sinarharapan.co.id/berita/0108/25/opi01.html

 Tragedi dan Katastropi Masa Depan Kependudukan 

Oleh Syaefudin Simon

Siapa yang menentukan masa depan? Manusia! Tapi sejauh mana manusia berhak menentukan 
masa depannya? Pertanyaan itu tampaknya sederhana. Tapi bila kita lihat lebih jauh, 
ternyata menimbulkan problema yang rumit. Ini terjadi karena manusia punya watak dasar 
yang sulit dihindari: ambisi dan kekuasaan. 

‘’Masa depan’’, kata Aurelio Peccei salah seorang pendiri Club of Rome, ‘’Bukan lagi 
merupakan sesuatu yang dinginkan manusia, atau sesuatu yang akan terjadi bila manusia 
memanfaatkan otak dan kesempatannya secara efektif. Tapi masa depan adalah sesuatu 
yang kita inginkan bersama secara realistis dan rasional.’’ 

Pandangan Paccei itu menggambarkan, betapa jika keinginan manusia tidak dirumuskan 
secara rasional dan realistis, maka manusia tak akan memiliki masa depan bersama. 

Apa yang menjadi fikiran Peccei, dua dasa warsa lalu, kini benar-benar menjadi 
kenyataan. Jika manusia menginginkan masa depannya tanpa mempertimbangkan ”kita” 
manusia yang lain, yang terjadi adalah munculnya berbagai ketimpangan. Nafsu manusia 
yang azasi untuk menguasai telah menimbulkan problema dan tragedi kemanusiaan yang 
berkepanjangan. 

Akibat ketimpangan itulah, saat ini hanya 16 persen dari enam miliar ummat manusia di 
dunia yang bisa menikmati kehidupan yang wajar. Yang 16 persen itu, sebagian besar 
hidup di negara-negara maju. Sisanya, hidup dalam himpitan masalah yang kompleks, 
mulai dari kelaparan, penyakit, lingkngan buruk, minim pendidikan, sampai konflik 
sosial berkepanjangan. Natalia Rimachevskaya, seorang aktivis kependudukan dan 
lingkungan Rusia, menyatakan dengan pedih: ”Masalah penting yang dihadapi manusia 
dalam memprediksi kependudukan adalah kemerosotan kualitas lingkungan di berbagai 
wilayah yang sudah diambang katastropi, kemiskinan di bawah batas kebutuhan dasar bagi 
sebagian besar penduduk, kesenjangan ekonomi yang sangat menyolok yang mendorong 
perpecahan sosial, kriminalitas yang meningkat, ketiadaan jaminan kesehatan, dan 
terpinggirkannya potensi kaum buruh.”

Masalah kependudukan dan pertumbuhannya di dunia seperti dilukiskan Rimachevskaya 
tadi, memang sangat kompleks, karena problemnya tidak berdiri sendiri. Persoalan yang 
timbul dari problem kependudukan terkait dengan masalah sosial, ekonomi, dan budaya — 
yang secara keseluruhan terkait dengan problem peradaban ummat manusia itu sendiri. 

Kini kita berada dalam masa di mana bentuk sosial dan budaya cepat sekali berlalu 
sebelum bentuk-bentuk sosial dan budaya baru cukup waktu untuk menggantikannya. Akibat 
situasi seperti itu, manusia sekarang selalu hidup dalam transisi budaya. Dalam 
keadaan transisi budaya inilah, manusia mengalami kesulitan mentukan pilihan-pilihan 
hidupnya. Tragisnya lagi, sebagian ummat manusia tak mempunyai pilihan untuk 
menentukan hidupnya, karena memang pilihan itu tidak ada. 

Fenomena seperti itu, misalnya, pernah penulis saksikan tahun 1966 di perkampungan 
miskin Zimbabwe — sebuah negeri miskin di Afrika bagian selatan yang kemiskinannya 
diperparah oleh sistem politik dan pemerintahannya yang korup. Ironisnya, perkampungan 
miskin itu kadangkala letaknya hanya beberapa ratus meter dari perkampungan kaya 
tempat tuan-tuan tanah memuaskan kemewahan hidupnya. 

Keadaan itu menggambarkan dua wajah sosial dan budaya yang sangat berbeda, tapi tidak 
saling berinteraksi secara positif. Kini — terakhir saya dengar — timbul gejolak 
sosial di Zimbabwe akibat ketimpangan sosial budaya yang tajam tadi. Masyarakat miskin 
secara brutal merampas tanah-tanah pertanian orang kaya dan pemerintahan Robert 
Mugabe, demi mendapatkan simpati rakyat, mendukung revolusi sosial tersebut. 

Tanah yang gersang, uang yang langka, SDM yang rendah menyebabkan penduduk Zimbabwe 
yang miskin tak punya harapan lagi kecuali menggunakan kekerasan dan kriminalitas 
dengan merampas harta orang-orang di perkampungan kaya untuk mempertahankan 
kehidupannya. Sikap penduduk miskin Zimbabwe di atas hanya salah satu contoh problem 
sosial yang timbul akibat pengelolaan kependudukan yang timpang. 

Di bagian dunia lain, berbagai kemiskinan dan kesengsaraan makin menakutkan. Pada 
tahun 1990, misalnya, UNESCO — badan pendidikan dunia — mencatat ada 406 juta anak di 
negara berkembang yang tidak mencicipi bangku sekolah. Pada tahun 2000, jumlah anak 
miskin yang tak mengenyam pendidikan sama sekali itu meningkat jadi 450 juta. 

Jumlah orang dewasa yang butu huruf di negara berkembang juga meningkat menjadi 905 
juta orang pada tahun 1990 dibanding tahun 1970 yang jumlahnya 700 jutaan. Saat ini, 
sekitar satu miliar manusia tidak bisa mendapatkan pelayanan kesehatan, sedang 1,3 
miliar orang terpaksa memakai air kotor untuk minum karena langkanya air bersih. 

Dunia juga masih menderita kekuarangan pangan: Dari tahun 1988-1990, diperkirakan 786 
juta orang kekurangan makan secara kronis. Angka tersebut sampai tahun 2000 ternyata 
tak mengalami penurunan yang berarti; malah mengalami kenaikan di Amerika Latin 
sebanyak 59 juta. 

Gambaran kondisi penduduk dunia itu, tentu saja sangat memprihatinkan. Ironisnya, 
gambaran tersebut kontras sekali dengan belanja senjata dunia dari tahun ke tahun. 
Menurut Willy Braundt, dalam bukunya World Armament and World Hunger — jika belanja 
senjata dunia dikurangi seperempatnya saja, niscaya problem kemiskinan dunia tersebut 
dapat teratasi. 

Ingat apa yang dikatakan almarhum Ziaul Haq dari Pakitan, yang kini masih diikuti para 
pemimpin Pakistan lainnya: ‘’Kami rela makan rumput asal dapat membangun pabrik 
senjata nuklir.” Hal yang sama dikatakan pemimpin India. Para pemimpin despot di 
negara berkembang juga membelanjakan sebagian uangnya untuk membeli senjata ketimbang 
membangun sekolah dan rumah sakit untuk rakyatnya. Semua itu mengikuti contoh Paman 
Sam — yang selalu berteriak bagai pahlawan untuk perdamaian dan kesejahteraan penduduk 
dunia.

Penulis adalah , alumnus Leadership for Environment and Development, New York, pernah 
melakukan penelitian tentang kemiskinan dan masyarakat rural di Zimbabwe, Afrika. 
 


---------------------------------------------------------------------
Mulai langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED]
Stop langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED]
Archive ada di http://www.mail-archive.com/envorum@ypb.or.id

Kirim email ke