Daftar berita terlampir: * Penyelesaian Kasus PT Freeport Perlu Negosiasi Baru * Kobaran Api Hampir Usai, Pejabat Baru Belajar * Rente Hutan di Negara Lain * Paradoks Sistem Rente Hutan * Pemberdayaan Masyarakat Hutan Gagal * DPRD NTB Tolak Raperda Retribusi Limbah * DAK Reboisasi Dikhawatirkan Tidak Efektif * Sulit, Mengampanyekan Pendidikan Lingkungan * Menneg LH: Segera Dikeluarkan PP tentang Produk Transgenik * Pengelolaan SDA Hendaknya Tak Dipisah dengan Agraria
Kliping tematik lainnya dapat diperoleh di http://www.terranet.or.id/terramilis.php http://www.terranet.or.id/berita.php TerraNet: Portal Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan http://www.terranet.or.id ================================================================ Penyelesaian Kasus PT Freeport Perlu Negosiasi Baru http://www.terranet.or.id/goto_berita.php?id=2200 Penyelesaian masalah pencemaran lingkungan oleh PT Freeport perlu melibatkan berbagai instansi terkait, terutama masyarakat yang terkena langsung dampaknya. Ketua subkomisi VIII DPR bidang pengendalian lingkungan Moh Askin mengatakan penyelesaian yang menyeluruh itu, prinsipnya harus mengacu pada ketentuan yang berlaku dan perjalanan perusahaan ini maupun masyarakat di sekitarnya di masa mendatang. ``Negosiasi baru ini dalam kaitan penuntasan yang menyeluruh dan melegakan semua pihak, baik perusahaannya, masyarakat, maupun pemda setempat,`` kata Moh Askin kepada wartawan di Jakarta kemarin. (Media Indonesia, 2001-10-01) Kobaran Api Hampir Usai, Pejabat Baru Belajar http://www.terranet.or.id/goto_berita.php?id=2201 KEBAKARAN hutan di Kalimantan Timur (Kaltim) seharusnya diantisipasi setiap menjelang musim kemarau. Apalagi kalau dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) sudah mengabarkan akan datangnya badai El Nino yang bisa menjadikan musim kering lebih panjang.Dengan begitu, mestinya semua pejabat terkait-baik teknis maupun politis-sudah harus mempunyai kiat bagaimana mencegah, atau setidaknya melakukan koordinasi bagaimana menekan seminimal mungkin kobaran api. Asal tahu saja, Kaltim yang kaya sumber daya alam ini juga salah satu provinsi yang paling hebat soal kebakaran hutan. Itu sebabnya, bukan aneh lagi kalau kita mendengar kebakaran hutan, misalnya, telah menghanguskan pohon-pohon besar atau areal perkebunan warga, areal hak pengusahaan hutan (HPH), areal hak pengusahaan hutan tanaman industri (HPHTI) atau HPHH (hak pemanfaatan hasil hutan). (Kompas, 2001-10-01) Rente Hutan di Negara Lain http://www.terranet.or.id/goto_berita.php?id=2202 SEJUMLAH negara menerapkan rente ekonomi terhadap usaha kehutanannya dengan sistem royalti. Misalnya The US Forest Service. Negara adidaya ini memberlakukan profit ratio bagi pengusaha kayu (olahan) sebesar 11-13 persen dari harga jual kayunya. Beberapa negara bagian di Kerajaan Malaysia, antara lain Peninsular Malaysia, menetapkan royalti sebesar 10 persen dari harga kayu bulat yang berlaku. Sarawak menetapkan royalti hasil hutan dalam lima kelompok secara administratif yang menghasilkan jumlah pungutan sekitar 11,10 persen dari harga rata-rata kayu bulat pada tahun 1966-1985. Sabah menggunakan formula pungutan royalti sebesar 0,85 dari conversion return (CR) pada posisi harga jual kayu ekspor free on board (FOB). (Kompas, 2001-10-01) Paradoks Sistem Rente Hutan http://www.terranet.or.id/goto_berita.php?id=2203 MASALAH rente ekonomi (economic rent) dalam pengusahaan sumber daya hutan di Indonesia, terutama kayu, telah menjadi masalah klasik yang debatable mulai tahun 1990-an, namun tidak pernah terpecahkan secara memuaskan. SEJAK awal, masyarakat dan berbagai kalangan selalu menganggap pengusaha pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) memperoleh penghasilan yang sangat besar dalam pengusahaan kayu, dan pemerintah menarik pungutan rente ekonomi hasil hutan yang refleksinya terutama dalam bentuk dana reboisasi (DR) maupun provisi sumber daya hutan (PSDH) terlalu kecil. Diperhitungkan hanya 15 persen dari nilai conversion return (CR) hasil penjualan kayu bundar (log). Tetapi, kalangan pebisnis HPH memiliki perhitungan sebaliknya. Antara lain, biaya produksi kayu yang sebagian mengalir dalam bentuk unvisible costs ke kantung aparat pemerintah, gangguan sosial, serta harga kayu yang merosot menyebabkan nilai keuntungan HPH mengecil, jauh lebih kecil dibandingkan nilai pungutan pemerintah maupun keuntungan besar yang dulunya dapat diperoleh. Masalah tarif DR dan PSDH serta sistem pemungutannya yang sering dianggap tidak tepat konon menyebabkan negara kehilangan penghasilan yang sangat besar. Peredaran kayu liar yang mencapai 32 juta meter kubik juga menyumbang angka hilangnya royalti potensial yang tidak kecil, di samping merusak masa depan pengusahaan hutan. (Kompas, 2001-10-01) Pemberdayaan Masyarakat Hutan Gagal http://www.terranet.or.id/goto_berita.php?id=2204 Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Undip Semarang Edi Santoso, mengatakan program pemberdayaan masyarakat sekitar hutan (social forestry) yang memakan biaya puluhan miliar gagal total. Dalam pelaksanaannya, program tersebut sangat kental dengan nuansa politik, dan masyarakat sekitar hutan yang menjadi objek tidak sepenuhnya dilibatkan dalam program tersebut. ''Selama 16 tahun program itu gagal total dan mubah,'' katanya saat ditemui seusai menjadi pembicara masalah masalah lingkungan hidup di Purwokerto. (Suara Merdeka, 2001-10-01) DPRD NTB Tolak Raperda Retribusi Limbah http://www.terranet.or.id/goto_berita.php?id=2207 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Nusa Tenggara Barat menyetujui empat rancangan peraturan daerah (Raperda) untuk ditetapkan jadi peraturan daerah (Perda). Dengan demikian, hanya satu Raperda ditolak sementara pengesahannya yaitu Raperda tentang Izin dan Retribusi Pembuangan Limbah ke Perairan Wilayah NTB. Persetujuan Legislatif itu disampaikan dalam sidang Pendapat Akhir tujuh fraksi yang dipimpin Ketua DPRD NTB drs H Lalu Serinata hari Sabtu (29/9), di Mataram. (Kompas, 2001-10-01) DAK Reboisasi Dikhawatirkan Tidak Efektif http://www.terranet.or.id/goto_berita.php?id=2209 Keluarnya keputusan Menteri Keuangan soal pencairan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk reboisasi disambut gembira pemerintah daerah. Akan tetapi, pengamat kehutanan dan lingkungan Transtoto Handadhari menyayangkan lambannya pencairan DAK reboisasi itu. Kalau pun DAK itu cair sekarang, daerah tidak mungkin bisa melakukan reboisasi secara efektif dan optimal hanya dalam sisa waktu tiga bulan tahun anggaran 2001. "Saya khawatir justru akan terjadi manipulasi dana, dan hasilnya tidak efektif. Karena itu sebaiknya pemerintah memberi kelonggaran waktu (pemakaian dana tersebut) hingga akhir tahun 2002 misalnya, agar daerah juga melakukan persiapan yang baik," katanya. (Kompas, 2001-10-01) Sulit, Mengampanyekan Pendidikan Lingkungan http://www.terranet.or.id/goto_berita.php?id=2211 Kendati sebenarnya pendidikan lingkungan mencakup soal yang sederhana dan sehari-hari, kenyataannya sulit mengampanyekan pendidikan lingkungan di sekolah. Pendidikan sudah menyertakan kepala sekolah, tetapi praktiknya masih saja sulit membuat kepala sekolah mengizinkan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler lingkungan dengan alasan tidak diinstruksikan oleh kurikulum. Demikian diungkapkan guru besar lingkungan Universitas Negeri Malang Prof Ir Radyastuti Winarno di depan sejumlah guru dari 28 sekolah peserta Jaring Komunikasi Pemantauan Kualitas Air (JKPKA) SMU Negeri se-Wilayah Daerah Pengaliran Sungai (DPS) Kali Brantas di Malang, Sabtu (29/9). Hadir pula Kepala Divisi Teknik Perum Jasa Tirta I Ir Trie M Soenaryo M Eng. (Kompas, 2001-10-01) Menneg LH: Segera Dikeluarkan PP tentang Produk Transgenik http://www.terranet.or.id/goto_berita.php?id=2215 Masalah yang berkaitan dengan introduksi produk transgenik di Indonesia mendesak untuk diatasi, karena hal itu berpotensi menimbulkan konflik di lapangan. Dalam kaitan itu, pemerintah akan segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Keamanan Hayati dan Pangan Produk Bioteknologi Hasil Rekayasa Genetika.Demikian penegasan Menteri Negara Lingkungan Hidup (Menneg LH) Nabiel Makarim kepada wartawan, dalam temu dialog dengan media massa di Jakarta, Jumat (28/9). Dijelaskan, isu tentang produk transgenik di Indonesia bukan terkait dengan analisa mengenai dampak lingkungan (amdal), tetapi lebih pada prosedur penyaringan sebelum produk transgenik dari luar negeri atau dari lembaga penelitian di Indonesia masuk atau dilepaskan ke lingkungan. (Kompas, 2001-09-29) Pengelolaan SDA Hendaknya Tak Dipisah dengan Agraria http://www.terranet.or.id/goto_berita.php?id=2217 Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui Panitia Ad Hoc II Badan Pekerja (BP)-nya, telah menerima usulan organisasi nonpemerintah untuk mengeluarkan ketetapan (tap) mengenai agraria dan pengelolaan sumber daya alam (PSDA). Itu telah diagendakan untuk dibahas dalam Sidang Tahunan (ST) November mendatang. Sayangnya, ketetapan untuk kedua hal tersebut tampaknya akan dikeluarkan secara terpisah. Ini terindikasi dari dibentuknya dua tim perumus rancangan ketetapan, yaitu untuk reformasi agraria dan PSDA. Pemisahan pembahasan masalah agraria dan PSDA untuk melahirkan dua Tap MPR secara terpisah itu bukan mustahil akan melanggengkan sektoralisme dan penanganan secara parsial-yang selama ini merupakan akar permasalahan di bidang terkait. Dengan demikian, pada akhirnya Tap MPR dimaksud tidak mampu menjadi dasar kebijakan untuk menyelesaikan masalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM)-sebagai dampaknya-dan ketimpangan struktur penguasaan agraria yang telah dan masih terjadi sekarang ini. (Kompas, 2001-09-29) --------------------------------------------------------------------- Mulai langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED] Stop langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED] Archive ada di http://www.mail-archive.com/envorum@ypb.or.id