http://www.sinarharapan.co.id/berita/0110/18/opi01.html

Sistem Multimedia dan Keberaksaraan

Oleh: Riri Satria

Mana yang lebih disenangi? Membaca berita atau ulasan politik melalui surat kabar atau 
menonton talk show politik di televisi? Membaca novel atau menonton film? Jika ingin 
mengemukakan pendapat atau opini, jalan manakah yang akan pilih, menuliskan opini di 
media atau berkampanye bicara di sana sini? Jika Anda memilih membaca surat kabar atau 
novel, serta menulis opini, maka beruntunglah Anda karena sudah termasuk golongan 
masyarakat yang memiliki tradisi tulis atau beraksara.

Jika ternyata Anda lebih memilih menonton televisi dan menyampaikan pendapat dengan 
bicara di berbagai forum, maka Anda tidak usah risau, karena Anda merupakan bagian 
dari masyarakat Indonesia yang ternyata memiliki tradisi lisan.

Masyarakat Tradisi Lisan

Prof. A.Teeuw (1994) dalam bukunya yang berjudul Indonesia, Antara Kelisanan dan 
Keberaksaraan mengungkapkan bahwa secara umum masyarakat Indonesia menganut tradisi 
lisan. Kalau ada dokumen tertulis, masyarakat Indonesia lebih memilih dokumen tersebut 
dibacakan daripada membaca dokumen tersebut. Jika kita lihat dari sisi sejarah, maka 
bukti-bukti yang ada semakin memaksa kita untuk sependapat dengan Prof. Teeuw. 
Bukti-bukti sejarah dalam bentuk tertulis tidak banyak ditemui di tanah air kita ini. 
Ini sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan negara-negara Eropa dan Cina. 

Sejarah di negara kita ini banyak dituturkan secara lisan melalui pencerita (story 
teller) yang semakin lama semakin kabur, apakah itu benar-benar terjadi atau hanya 
legenda belaka? Bahkan cerita mengenai tokoh-tokoh dalam sejarah pun banyak yang sudah 
terkontaminasi oleh cerita-cerita legenda yang membuat kita sulit untuk menarik garis 
pemisah. 

Jika Anda pernah jalan-jalan dengan kereta api di Tokyo, maka Anda akan melihat orang 
yang menghabiskan waktunya dengan membaca, baik di atas kereta, maupun saat menunggu 
kereta. Mereka memilih untuk membaca ketimbang ngobrol seperti yang kita temui di 
stasiun kereta api Gambir di Jakarta. Itulah salah satu bentuk perbedaan antara 
tradiri lisan dengan beraksara.

Apakah tradisi lisan ini buruk? Sulit untuk menjawabnya, karena saya bukanlah ahli 
sosiologi atau antropologi, sehingga tidak memiliki kerangka pemikiran yang dapat 
dipertanggungjawakan untuk menganalisis hal ini. 

Tetapi hal ini merupakan faktor penghambat untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan 
teknologi pada tatanan dunia saat ini. Ilmu pengetahuan dan teknologi disebarkan 
melalui berbagai jurnal ilmiah, makalah sebagai hasil riset, disertasi dan tesis, dan 
tentu saja mustahil berbagai rumus dan tabel hasil penelitian ilmiah disampaikan 
secara lisan.

Keengganan masyarakat dengan tradisi lisan untuk membaca berbagai jurnal ilmiah, 
makalah, dan sebagainya berarti kengganan masyarakat tersebut untuk mengikuti 
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, apalagi untuk menjadi pelopor dalam 
pengembangannya. 

Tentu saja hal ini sangat jauh dari harapan. Berdasarkan argumen singkat ini, dapat 
dtarik kesimpulan bahwa tradisi lisan ini merupakan penghambat kemajuan bangsa untuk 
menjadi bangsa pembelajar dan unggul. Hal ini disebabkan tradisi lisan mengakibatkan 
akses masyarakat kepada sumber-sumber ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi sangat 
terbatas, sementara sumber-sumber tersebut sebetulnya terbuka sangat luas. 

Sistem Multimedia sebagai Katalis

Proses pembelajaran pada masyarakat kita harus berjalan terus, tidak peduli dengan 
tradisi lisan ataupun beraksara. Kita bersama-sama berupaya membentuk suatu masyarakat 
pembelajar (learning society) supaya bangsa Indonesia ini tidak melulu menjadi 
bulan-bulanan bangsa lain. 

Krisis multidimensi yang sekarang sedang kita alami ini menunjukkan kepada kita bahwa 
kita tidak mampu untuk belajar dari keadaan. Kita semua mengetahui bahwa salah satu 
penyebab krisis ini adalah berbagai kebocoran penggunaan dana pembangunan. 

Tetapi kita tidak belajar dari keadaan. Buktinya angka korupsi di negara ini tetap 
tinggi. Ini berarti kita memang belum menjadi masyarakat pembelajar. Persoalannya 
adalah, bagaimana mungkin kita dapat menciptakan masyarakat pembelajar sementara 
masyarakat memiliki keengganan untuk mengakses berbagai sumber ilmu pengetahuan dan 
teknologi. 

Sekali lagi, ini menunjukkan kepada kita bahwa tradisi lisan harus diubah menjadi 
tradisi tulisan atau keberaksaraan.

Tentu saja upaya mengubah tradisi lisan menjadi tulisan ini tidak mudah. Untuk 
mempercepat proses transformasi dari tradisi lisan menuju tulisan ini, diperlukan 
suatu katalis atau sesuatu yang dapat mempercepat proses, yaitu sistem multimedia.

Sistem multimedia yang merupakan gabungan dari teks, audio, animasi, citra, dan video 
memiliki kemampuan untuk menjadi katalis dalam proses transformasi tersebut. 
Pengalaman menunjukkan demikian. 

Pada tahun 1994, suatu tim pengembangan perangkat lunak pengajaran berbasis multimedia 
berbentuk permainan pada Pusat Ilmu Komputer Universitas Indonesia bekerja sama dengan 
UNESCO, mengembangkan suatu bahan pengajaran untuk pelestarian hutan tropis. 

Jika disajikan dalam suatu bentuk buku, maka tentu saja yang mengaksesnya adalah para 
kutu buku. Lalu disepakati bersama bahwa bentuknya adalah permainan komputer berbasis 
multimedia, tetapi memiliki sasaran pembelajaran (learning objectives) dengan segala 
strategi pembelajarannya (learning strategy).

Bahan pengajaran memang berbentuk permainan, tetapi dalam permainan tersebut ada 
skenario tertentu yang mengharuskan si pemain untuk membaca dan memahami berbagai 
topik tentang hutan tropis di Kalimantan. Jika dia tidak dapat memahaminya, maka dapat 
dipastikan dia tidak akan pernah mampu menyelesaikan permainan tersebut. 

Dengan skenario ini, niat awal seseorang untuk mencoba permainan komputer secara 
perlahan-lahan diarahkan untuk membaca dan belajar mengenai hutan tropis, lengkap 
dibantu dengan berbagai animasi, video, dan bahkan simulasi. Ini menunjukkan bahwa 
multimedia dapat berperan sebagai katalis menuju keberaksaraan.

Hal yang sama juga dapat terjadi pada skala makro. Berbagai program televisi, radio, 
film, dan bahkan situs web yang multimedia juga dapat mengarahkan masyarakat untuk 
membaca. Acara talk show mengenai politik di televisi dapat diarahkan untuk membangun 
rasa ingin tahu pemirsa lebih dalam mengenai suatu topik. Pada akhir acara dapat 
dijelaskan sumber-sumber rujukan yang dapat diakses oleh para pemirsa.

Ambil misal acara mengenai pola hidup sehat di televisi, yang diasuh oleh Prof. 
Hembing. Dalam waktu 30 menit, pasti tidak banyak yang dapat beliau sampaikan mengenai 
makanan dan cara hidup sehat. Tetapi beliau memberikan informasi mengenai buku-buku 
yang dapat dibaca jika pemirsa ingin mengetahui lebih dalam. 

Pemirsa yang tadinya hanya berniat menonton, lama-lama menjadi penasaran dan tumbuh 
rasa ingin tahu, dan jika rasa ingin tahu ini tetap berlanjut, maka pemirsa tentu akan 
membaca buku-buku yang ditulis oleh Prof. Hembing. Tentu saja buku-buku tersebut 
memuat informasi jauh lebih lengkap. Ini salah satu contoh mengenai peran televisi 
sebagai salah satu media yang menjadi katalis untuk membawa pemirsa ke tradisi tulisan 
atau beraksara.

Kebijakan Multimedia Nasional
Ternyata sistem multimedia memiliki peran yang sangat strategis untuk menciptakan 
keunggulan kompetitif bangsa melalui pembentukan masyarakat pembelajar. Tentu saja 
kita membutuhkan suatu kebijakan multimedia nasional yang berada di bawah kendali 
sebagai Menteri Negara Komunikasi dan Informasi, Syamsul Mu’arif. 

Kebijakan ini mungkin mirip dengan yang dimiliki Malaysia, yaitu koridor multimedia 
Malaysia. Barangkali istilah yang lebih populer saat ini di Indonesia adalah kebijakan 
telematika (telekomunikasi dan informatika) nasional yang sifatnya lebih umum. 

Kebijakan multimedia nasional ini ditopang oleh tiga pilar utama, yaitu (1) kebijakan 
infrastruktur, (2) kebijakan isi atau konten, serta (3) kebijakan sumber daya manusia. 
Kebijakan infrastruktur berarti kebijakan yang berkaitan dengan investasi 
infrastruktur multimedia di Indonesia, menghilangkan monopoli infrastruktur sambil 
tetap menjaga persaingan yang sehat, serta pemberian insentif kepada pihak-pihak yang 
menyediakan akses informasi kepada masyarakat grass root seperti warnet atau pusat 
informasi di daerah rural. 

Industri infrastruktur informasi memiliki karakteristik tersendiri, yaitu padat modal 
(capital intensive), memerlukan skala ekonomis yang besar supaya optimal, perputaran 
uangnya relatif lambat sehingga relatif lama untuk balik modal, dan jika dibiarkan 
terjadi free fight competition, maka industri bisa sekarat dan mati perlahan. 
Pemerintah harus menjadi wasit yang baik tanpa perlu merasa ikut sebagai pemain dalam 
bisnis ini. 

Sementara itu, kebijakan isi atau konten merupakan ujung tombak peran multimedia 
sebagai katalisator. Pemerintah tidak perlu membuat suatu regulasi apalagi penyensoran 
terhadap berbagai isi atau konten informasi. Apapun dalihnya, penyensoran ini 
merupakan langkah mundur. Tetapi pemerintah perlu memberikan insentif kepada konten 
yang memberikan nilai siginifikan terhadap kemajuan proses pembelajaran bangsa. 

Pemerintah dengan bantuan lembaga pemeringkat independen dapat melakukan pemeringkatan 
(rating) dan memberikan berbagai insentif kepada pihak-pihak yang sanggup memberikan 
konten yang edukatif. 

Mengapa lebih banyak insentif? Karena ini adalah instrumen yang paling cocok untuk 
merangsang sesuatu di era reformasi ini. Berbagai bentuk penyensoran, pelarangan, 
pemaksaan, dan sebagainya, sudah tidak relevan lagi. Berbagai acara talk show dan 
acara televisi lainnya yang edukatif layak mendapatkan rating bagus dan mendapatkan 
insentif jika dibandingkan dengan acara musik atau siaran langsung sepakbola. Bentuk 
insentif tersebut bisa berbentuk pengurangan pajak.

Yang terakhir adalah kebijakan sumber daya manusia. Dua kebijakan sebelumnya tidak 
akan ada manfaat dan dampaknya jika kebijakan sumber daya manusia ini tidak 
diperhatikan. Kebijakan ini dapat dilakukan dalam bentuk pemberian insentif kepada 
pihak-pihak yang sanggup menyelenggarakan program pendidikan telematika atau 
multimedia yang bermutu. 

Penutup
Sistem multimedia memiliki peran yang sangat strategis dalam meningkatkan proses 
pembelajaran bangsa Indonesia. Sistem multimedia dapat berperan menjadi katalis untuk 
mempercepat proses transformasi masyarakat dari tradisi lisan menjadi tradisi tulis 
atau beraksara. 

Hanya pada masyarakat dengan tradisi beraksara ilmu pengetahuan dan teknologi dapat 
berkembang dan memberikan keunggulan kompetitif kepada bangsa tersebut. Hanya saja, 
kita memerlukan kebijakan nasional yang berkaitan dengan sistem multimedia atau 
telematika secara umum supaya perannya sebagai katalis dapat terlaksana dengan baik.

Penulis adalah staf Lembaga Manajemen PPM, Jakarta. 


---------------------------------------------------------------------
Mulai langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED]
Stop langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED]
Archive ada di http://www.mail-archive.com/envorum@ypb.or.id

Kirim email ke