http://www.suarapembaruan.com/News/2001/10/20/Editor/ed05.html
Hukum dan Moral, Sebuah Seruan Etis Thomas Koten anggal 1 Oktober 2001, pekan lalu rasa keadilan masyarakat negeri ini kembali terkoyak. Keinginan masyarakat untuk segera datangnya "pedang keadilan" baru untuk menebas setiap kejahatan di negeri ini, ternyata masih tersembunyi jauh di "lorong-lorong" gelap. Sistem hukum dan praksis keadilan masih terus bergerak dalam "karnaval" menjauh dari toleransi kebenaran substansial. Adalah keputusan yang sangat memiriskan hati masyarakat karena Hakim Agung M Taufiq (ketua), dan kedua anggota lainnya, Soeharto dan Hoediarto, membebaskan buronan (DPO) kelas kakap, Tommy Soeharto, atas tindakan korupsi sebesar Rp 94,6 miliar dalam pelaksanaan tukar guling aset Bulog oleh PT Goro Batara Sakti. Sangat ironis, Tommy yang telah mengakui kesalahannya dan meminta ampun kepada presiden dengan mengajukan grasi, namun grasinya ditolak, kemudian menjadi buron, toh masih dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan. Apa yang mau dikatakan, terlepas daripada tata aturan dan logika hukum serta pendasaran undang-undang yang berada di luar kompetensi penulis adalah bahwa keputusan tersebut tidak bisa dianggap sederhana dan selesai. Sebab, bagi hukum dan keadilan, khususnya yang menyangkut orang-orang kuat, ia memiliki efek jangkauan yang jauh ke depan, ke sebuah masa depan masyarakat bangsa secara keseluruhan, yang adil dan sejahtera, bukan masa depan yang penuh kamuflase dan kebohongan. Tulisan ini mencoba menyoroti keputusan hakim agung atas kasus Tommy yang memiliki dimensi publisitasnya yang sangat luas itu dalam kaitan dengan penilaian moral dan etika. Karena biar bagaimana pun hukum membutuhkan moral, sebagaimana moral memerlukan hukum, supaya moral tidak hanya mengawang-ngawang saja dan hukum tidak menjadi penghias dinding kosong tanpa makna. Dalam kekaisaran Roma terdapat suatu pepatah, Quid leges sine moribus?'' "Apa artinya undang-undang, jika tidak disertai moralitas?'' Hukum dapat memiliki kekuatan, jika dijiwai oleh moralitas. Kualitas hukum terletak pada bobot moral yang menjiwainya. Tanpa moralitas, hukum tampak kosong dan hampa. Untuk itu, suatu keputusan pengadilan dalam lingkup hukum, karena keadilan merupakan dasar hukumnya, harus benar-benar dipertimbangkan dari sudut moralnya, dalam hal ini rasa keadilan masyarakat. Sebab, sesuatu yang menyangkut hukum dan keadilan memiliki dampak moralitas yang sangat luas bagi masyarakat bangsa. Hukum dibuat untuk menata kehidupan masyarakat. Di situlah kasus Tommy Soeharto yang baru dinyatakan bebas oleh hakim yang sangat kontroversial itu dipertegas dalam tulisan ini sebagai seruan etis moral publik. Apabila suatu keputusan pengadilan dibuat tanpa mempertimbangkan aspek moral, pengadilan tersebut dapat dinyatakan sebagai pengadilan yang terisolasi. Pengadilan yang terisolasi itu juga dinyatakan dalam ungkapan pengadilan sebagai corong undang-undang tidak lebih tidak kurang. Memang semangat liberal dan legalisme-positivistik yang sangat kuat di masa lampau telah memberikan teori bagi munculnya pengadilan yang terisolasi dari dinamika masyarakat di mana pengadilan berada. Isolasi tersebut yang oleh Satjipto Rahardjo dinyatakan mengundang asosiasi arah kediktatoran pengadilan (judicial dictatorship). Oleh karena ia memutus perkara semata-mata dengan mengingat apa yang menurut tafsirannya dikehendaki oleh hukum tanpa harus melibatkan ke dalam atau mendengarkan dinamika dan hati nurani masyarakat. Itulah sebabnya secara sosiologis pengadilan atau sesuatu yang menyangkut keputusan pengadilan menjadi benda asing dalam tubuh masyarakat dan semakin dibenci dan dimusuhi. Keputusan dalam kasus Tommy Soeharto, sebenarnya bukan hanya mengabaikan aspek moral dalam keputusannya, yang kemudian dapat dikatakan - maaf - sebagai keputusan yang tidak bermoral, melainkan juga mengindikasikan kekuatan-kekuasaan, karena "hukum tidak lain kecuali kepentingan mereka yang berkuasa atau kuat,'' kata Trasymachus. Kekuasaan-kekuatan itu dalam arti politik. Dalam politik, kekuatan menjadi penentu yang dominan, sedang moralitas tidak berdaya. Yang menjadi ironis hingga kini adalah kekuatan politik lama-Orde Baru yang melingkupi Tommy dan seluruh kasus yang menyertainya, belum sanggup dilumpuhkan oleh kekuatan kekuasaan saat ini. Pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid yang lalu dan Presiden Megawati Soekarnoputri sekarang ini masih dikendalikan dan belum berdaya dengan kekuatan lama yang terus menjadi momok hingga kini. Padahal, dengan nuansa positivisme hukum yang sangat kental sekarang ini, Thomas Hobbes mengatakan, "Perjanjian tanpa pedang hanyalah kata-kata kosong. Menurut Hobbes, harus ada penguasa yang kuat untuk memaksakan hukum. Hukum kodrat tidak mempunyai kekuatan dan tidak menuntut kewajiban sehingga membiarkan yang kuat terus melindas yang lemah. Bila keadaan itu tetap dibiarkan tanpa ada kekuatan lain yang mengimbangi, di balik kasus Tommy itu berlaku ungkapan Hobbes yang lain yang terkenal, Homo homini lupus, - manusia menjadi serigala bagi yang lain dan masing-masing saling membunuh dan menelan. Yang kuat akan terus menelan yang lemah. Bentrokan dan pembinasaan akan tetap merupakan dasar hukum. Padahal, fungsi utama dan pertama dari hukum adalah untuk menjaga agar "serigala" yang satu tidak menerkam "serigala" yang lain. Idealisasi hukum agar sesuatu saat kelak akan hilang unsur kebinatangan dalam diri manusia dan yang berkembang adalah unsur cinta kasih tidak akan pernah terwujud, sebab pada dasarnya hukum merupakan penjelmaan cinta atau seperti dikatakan oleh WA Luijpen: "the several steps in the everincreasing humanization of man's relationship''. Relasi "aku-engkau" seharusnya menjiwai seluruh masyarakat supaya makin berkem- bang menuju suatu kesatuan antarpersonal. Karena itu, yang diperlukan saat ini sekaligus menjadi sebuah seruan etis kita adalah perlu adanya political will dan dengan kekuatan-kekuasaan yang ada pada pemerintahan saat ini, meski gunung dan bukit akan rubuh dan langit akan runtuh-bendera supremasi hukum harus benar-benar dipancangkan dan keadilan segera diciptakan tanpa kompromi, pertama, segera dihentikan praktek hukum dan pengadilan yang selama ini dijadikan kendaraan untuk kepentingan kekuatan lama. Kedua, perlu segera dilihat kembali secara jernih kasus Tommy Soeharto, dalam kaca mata moral dan etika. Bahwasanya, kemauan untuk menjadikan hukum sebagai pengendali "serigala" sifat kebinatangan dalam diri para pengkhianat hukum seperti Tommy dan lain-lain merupakan suatu kemauan etis dan moralitas pula. Sasaran daripada kemauan etis dan moralitas adalah agar tidak terkoyak lagi rasa keadilan masyarakat dan tercipta sebuah etika masa depan yang berakhlak dan bermoral. Semua hal di atas diambil guna merehabilitasi masa depan negeri ini, agar generasi-generasi mendatang tidak menjadi mangsa dari proses hukum yang menjadi semakin tidak terkendali di zaman mereka di kemudian hari. Alangkah baiknya, tanpa pretensi apa pun dari penulis kasus Tommy Soeharto dijadikan pilar dan momentum yang baik untuk itu. Sebab, dalam hal ini, kasus Tommy sebenarnya berlaku pula ungkapan Hakim J Burnett di Inggris pada abad 18, ketika menjatuhkan seorang pidana mati dengan ungkapan "Engkau akan digantung bukan karena engkau mencuri kuda, melainkan agar kuda-kuda tidak akan dicuri lagi''. Penulis, pengamat sosial, politik, dan moral tinggal di Tangerang. --------------------------------------------------------------------- Mulai langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED] Stop langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED] Archive ada di http://www.mail-archive.com/envorum@ypb.or.id