Assalaamu’alaikum wr. wb.

Workgroup on Local Institutional Empowerment, ISTECS Eropa mengundang 
rekan-rekan di Eropa, khususnya di Jerman untuk menghadiri Workshop LINE 
ke-2 dalam bentuk Seminar dan Loka karya (Semiloka) yang akan mengambil 
tema:

Otonomi daerah dalam negara kesatuan:
Mencari format politik hukum hubungan pusat dan daerah di Indonesia

Yang akan dilaksanakan pada:
Hari/tanggal: Sabtu, 10 November 2001
Waktu: 09.00 - 16.00
Tempat: Konsulat Jendral RI di Frankfurt
Alamat: Zeppelinalle 23, 60325 Frankfurt a. M.

Pendaftaran dapat dialamtkan ke:
Sekretariat ISTECS Europe
Dipl.-Ing. (FH) Adi Kurniawan
Marienstr. 57, 76137 Karlsruhe
Telp: 0721-3849703
Fax : 01212-510692196
e-mail: [EMAIL PROTECTED]

Pendaftaran dengan menyebutkan data-data:
Nama lengkap, Alamat di Jerman (Eropa), Telefon, e-mail, tempat studi 
(Inastansi di Jerman), Instansi di Indonesia.

Catatan penting untuk pendaftaran:
1. Peserta semiloka dibatasi untuk 60 orang dan dikenakan biaya registrasi 
sebesar 10,- DM
2. Pendaftaran dibuka dari tanggal 01 September . Pendaftaran akan ditutup, 
apabila peserta sudah mencapai target.
3. Daftar peserta yang telah terdaftar akan diumumkan tanggal 21 Oktober 
2001.
4. Setiap peserta diharapkan secara aktif terlibat dalam rangkaian kegiatan 
Seminar dan Loka Karya. Untuk itu, disamping akan memperkaya masukan dan 
hasil rekomendasi Semiloka, maka kepada peserta diwajibkan untuk membuat 
GAGASAN atau PENDAPAT sesuai dengan materi terpilih dalam sidang komisi. 
Dalam Sidang komisi akan dibahas usulan dan masukan untuk program 
desentralisasi politik di Indonesia.
5. Biaya registrasi dapat ditransfer ke
Adi Kurniawan
Konto-Nr.: 22212773
BLZ: 660 501 01
Sparkasse Karlsruhe

Untuk keterangan lebih lanjut bisa anda baca lampiran di bawah ini, atau 
kunjungi homepage Semiloka LINE ke-2:
http://www.istecs-eropa.de/line2/lineindex.html

Demikian pemberitahuan dari kami, terima kasih atas perhatiannya.
Mohon bantuan untuk disebarluaskan.

Wassalam
Sekretariat ISTECS Eropa

-----------------------------------------------------------------

Latar belakang

Tanggap dari berbagai pihak terhadap konstruksi politik hukum Desentralisasi 
dan Otonomi Daerah di Indonesia, sebagaimana tertuang dan termaktub dalam 
Undang-Undang 22/1999 dan 25/1999, sangat besar. Pada tataran teoritik dan 
praktik, pencanangan kebijakan untuk memperkuat otonomi daerah dalam negara 
kesatuan Indonesia melalui Undang-undang tersebut merupakan hasil dari 
bekerjanya dua kekuatan (Hoessein, B: 2000). Pertama, kekuatan internal 
dalam negeri sebagai produkt reformasi politik yang mengambil isu dasar pada 
penegakan demokratisasi dalam semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. 
Kedua, kekuatan supra nasional berupa menguatnya arus Globalisasi 
(borderless nation) dengan segala konsekuensi dan implikasinya yang 
memerlukan tanggap dalam negeri berupa proses penyesuaian terhadap struktur 
dan mekanisme kepemerintahan demokratik pada tingkat lokal.

Isu pokok dalam kebijakan antar tingkatan pemerintah di Indonesia yang 
melatarbelakangi lahirnnya produk hukum UU 22 dan 25 tahun 1999 terutama 
diwarnai oleh tingkat ketergantungan yang sangat dramatis pemerintah daerah 
terhadap pemerintah pusat dalam hal sumber daya keuangan (Crane, 1995). 
Ratio pengeluaran pemerintah pusat (spending ratios) di Indonesia adalah 
20,1 persen, sementara pemerintah daerah memberikan kontribusi dalam ratio 
tersebut hanya 2,8 persen (De Mello, 1999). Lebih lanjut, menurut De Mello, 
ketergantungan keuangan (fiscal dependency) pemerintah daerah terhadap 
pemerintah pusat adalah 78,7 persen. Sementara itu tingkat otonomi pajak 
(tax autonomy) pemerintrah daerah adalah sebesar 15,4 persen dan otonomi non 
pajak sebesar 5,9 persen. Hal ini melahirkan tidak saja tuntutan berotonomi 
luas dalam bentuk perimbangan keuangan Pusat dan Daerah yang adil dan layak, 
melainkan juga berbuah gerakan separatis di Daerah. Ketegangan hubungan 
Pusat dan Daerah ini akan terus ada, berlanjut, dan memuncak, selama problem 
inti ketidakadilan dan ketidakseimbangan dalam pembagian sumber daya 
keuangan secara politis tidak terselesaikan.

Faktor penting kegagalan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia berdasarkan 
Undang-undang Otonomi Daerah sebelumnya (UU 5/1974) juga disebabkan oleh 
ketiadaan dan keengganan pemerintah pusat untuk mendelegasikan kewenangan 
politik kepada Daerah (devolution). Teoritis, UU tersebut dibangun atas 
model effisiensi struktural (structural efficiency model) yang mengedepankan 
prioritas tujuan pada efisiensi penyelenggaraan pemerintahan. Model ini 
dibangun menurut teori management dan kerapkali berpasangan dengan strategi 
kesatuan bangsa dalam kerangka negara kesatuan (Hoessein, B. 1999). 
Konsekuensi yang muncul adalah rendahnya partisipasi demokrasi 
(participatory democracy) lembaga perwakilan rakyat sebagai lembaga pembuat 
kebijakan dan lembaga kontrol di daerah dalam pemerintahan dan pembangunan. 
Disamping itu, prioritas efisiensi ditandai pula dengan menguatnya 
pelaksanaan asaz dekonsentrasi katimbang asaz desentralisasi. Pemerintah 
Daerah tidak lain hanyalah perpanjangan tangan pemerintah pusat.

Jaminan penyelenggaraan Pemerintah Daerah melalui pemberian otonomi daerah 
tentu saja berkaitan erat dengan kerangka bentuk negara. Komitmen pendiri 
negara memberikan garansi institusi terhadap pemerintahan di daerah, 
berjalan seiring dengan komitmen mempertahankan negara kesatuan. Karena 
itulah, atas dasar dua kesepakatan tersebut Indonesia dicirikan sebagai 
negara kesatuan yang terdesentralisasi (decentralized unitary state, 
dezentralisierte Einheitsstaat). Dengan penyelenggaraan pemerintahan 
berdasarkan dua asas tersebut secara bersamaan akan terwujud unity within 
diversity dan diversity in unity.


Tujuan Loka Karya
1. Untuk Mengidentifikasi isu-isu untuk mencari format ideal hubungan Pusat 
dan Daerah dalam kerangka negara kesatuan serta implementasi dan 
implikasinya terhadap proses penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia.
2. Untuk mengidentifikasi, memetakan, sekaligus mencari arahan solusi 
terhadap permasalahan-permasalahan krusial yang timbul sebagai akibat 
konsekuensi pelaksanaan UU 22 dan 25 tahun 1999.
3. Wewacanakan Kerangka Teori dan Praktik Otonomi Daerah dalam sebuah bangun 
negara kesatuan yang terdiri dari kemajemukan kultur, bahasa dan geografi.
4. Memberikan masukan dan rekomendasi kepada MPR, DPR dan juga Pemerintah 
sebagai tanggap terhadap munculnya perkembangan tuntutan di dalam masyarakat 
berkenaan dengan Otonomi Daerah, Federalisme dan Disintegrasi bangsa.


Sasaran peserta Loka Karya
1. Mahasiswa Indonesia di Eropa dan khususnya di Jerman; meliputi Mahasiswa 
Program Post-Doktor, Program Doktor, Program Magister, dan Program Diplom 
dari berbagai disiplin keilmuwan.
2. Pejabat dan staf Kedutaan Besar dan Konsulat Jendral RI di Jerman.
3. Masyarakat Indonesia yang tinggal di Jerman dan mempunyai ketertarikan 
terhadap pemberdayaan institusi lokal di Indonesia.
4. Ilmuwan dan masyarakat Eropa khususnya di Jerman yang mempunyai 
ketertarikan dan minat terhadap bidang pemberdayaan masyarakat Lokal


Nara sumber dan pembicara
1. Prof. Dr. Rainer Pitschas
Guru Besar Perbandingan Ilmu Administrasi dan Politik Pembangunan
Deutsche Hochschule für Verwaltungswissenschaften Speyer, Jerman
2. Prof. Dr. Ryaas Rasyid
mantan Mentri Otonomi Daerah RI, Indonesia
3. Dr. Christoph Beier
Bagian Perencanaan dan Pembangunan GTZ, Jerman
4. Eko Prasojo, Mag.rer.pub.
HV-Speyer Jerman


Materi Semiloka

Berangkat dari pertimbangan hukum dan dasar pemikiran diatas, maka materi 
Semiloka ini berfokus pada:

1. Otonomi Daerah versus Federal: Problem dan Perspektive bagi Indonesia.
-Konstruksi UUD 1945 tentang Negara Kesatuan dan Pemerintah Daerah.
-Faktor-faktor berpengaruh dalam bangun negara kesatuan dan federal.
-Tuntutan dan cita-cita daerah terhadap Otonomi Daerah dan Federal.
-Aceh, Riau, Irian Jaya dan Kalimantan Timur dalam perspektive negara 
kesatuan.
-Menguatnya egoisme daerah dan etnosentrismus
-Permasalahan Disintegrasi bangsa.

2. Format Pembagian wewenang Pusat dan Daerah: Konstruksi dan 
Implementasinya.
-Kewenangan dalam Otonomi Luas pada kabupaten dan kota.
-Peran dan kewenangan Propinsi dalam Otonomi Daerah.
-Ketiadaan Hierarki dalam hubungan Kab./Kota dan Propinsi.
-Membengkaknya struktur organisasi dan fungsi di Kabupaten dan Kota.
-Penyelesaian konflik antar daerah.
-Intervensi pusat terhadap daerah.

3. Desentralisasi Politik dan Manajemen Pembangunan di Indonesia
-Implementasi Good Governance pada pemerintahan daerah
-Modernisasi Administrasi untuk mendukung pelayanan publik di daerah
-Peran rakyat dan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS)
-Memperkuat peran politik DPRD
-Perimbangan keuangan Pusat Daerah dan desentralisasi politik



_________________________________________________________________
Get your FREE download of MSN Explorer at http://explorer.msn.com/intl.asp


---------------------------------------------------------------------
Mulai langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED]
Stop langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED]
Archive ada di http://www.mail-archive.com/envorum@ypb.or.id

Kirim email ke