Press Brief
Dengar Pendapat RUU Ketenagalistrikan Selasa 27 November 2001 Setelah minggu pekan silam, komisi VIII DPR RI mendengarkan serangkaian masukan, saran dan kritikan dari sejumlah kalangan berkaitan dengan RUU Ketenagalistrikan yang sedang mereka bahas, maka minggu ini komisi VIII kembali mengelar dengar pendapat untuk RUU yang rancangan awalnya diusulkan pemerintah itu. Selasa (27/11) mereka mengundang sejumlah ekonom terkemuka untuk memberikan masukan perihal sejumlah isu mendasar dalam RUU tersebut. "Kami sengaja mengundang para ekonom agar kami juga mendapatkan pandangan yang lebih luas dari perspektif yang mungkin berbeda dari yang sejumlah masukan yang telah kami terima sebelumnya. Semacam pengkayaan materi dan wawasan," jelas Agusman Efendi, wakil ketua komisi VIII dari fraksi Golkar yang hari itu memimpin jalannya dengar pendapat. Sayangnya niat baik itu tak sepenuhnya dijalankan anggota dewan. Buktinya dengar pendapat yang semula dijadwalkan berlangsung mulai pukul 9 pagi harus molor lebih setengah jam karena minimnya anggota komisi VIII yang hadir tepat waktu. Jadilah kemudian dengar pendapat yang pada sesi pertama diisi ekonom dari UGM, Dr. Sri Adiningsih berjalan dengan peserta ala kadarnya. Sampai dengar pendapat itu selesai sekitar pukul 11 lebih beberapa menit dan kemudian dilanjutkan dengar pendapat bersama Prof. Mubyarto dan Prof. Dawam Rahardjo sampai lepas siang hari, anggota dewan yang hadir dan benar-benar tekun melakukan hearing, bisa dihitung dengan jari. Selebihnya ada yang datang sebentar kemudian hilang tak muncul lagi. Ada yang keluar masuk ruangan berulang kali. Tak jelas benar apa yang dilakukannya. Tertinggal Jauh Dr.Sri Adiningsih dalam paparannya menyatakan kondisi kelistrikan nasional sudah sangat terpuruk. Adiningsih menunjuk pada sejumlah data yang ia kutip dari Asia Development Bank yang meperlihatkan dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya, Indonesia sangat jauh teringgal. Malaysia dan Thailand misalnya dengan total pengeluaran listrik 0,60 persen dari GDP dapat memberikan konsumsi listrik sebesar 2464 kWh untuk Malaysia dan 1382 kWh untuk Thailand. Sementara Indonesia dengan total pengeluaran listrik 0,40 persen dari GDP hanya mampu memberikan konsumsi listrik sebesar 344 kWh. "Melihat angka ini jelas ada yang salah dalam manajemen ketenagalistrikan nasional," papar Adiningsih. Dugaan itu diperkuat oleh data yang lain. Kali ini asalnya dari PLN sendiri. Adiningsih mengutip data itu yang memperlihatkan betapa telah terjadi ketimpangan yang luar biasa dalam pembangunan kelistrikan nasional. Ketimpangan itu ujar Adiningsih terutama berkaitan dengan daya serap masyarakat terhadap energi listrik yang tak berimbang antara masyarakat kota dan desa, Jawa dan luar Jawa. Data PLN yang dikutip Adiningsih itu menyebutkan ada tak kurang dari 30 daerah yang sebagian besar diluar Jawa yang berada dalam kondisi sekarat. Indikatornya daerah-daerah tersebut kerap kali listriknya mati suri. Mengalami pemadaman bergilir yang menjengkelkan. Ini akibat tak mampunya sistem pembangkit unit-unit PLN yang ada menampung pertumbuhan beban yang tinggi. Ditambah lagi persoalan tehnis yang klasik seperti rusaknya mesin pembangkit dan keterbatasan alat-alat operasional lainnya. Secara khusus Adiningsih minta anggota dewan memperhatikan nasib masyarakat pedesaan yang disinyalirnya sangat diperlakukan tak adil dalam penikmatan sektor ketenagalistrikan ini. "Saat ini masih ada 10.599 lebih desa dengan sekitar 20 ribu kepala keluarga yang belum menikmati listrik. Jangan tunggu sampai mereka sadar bahwa haknya tak dipenuhi. Kalau itu terjadi, biaya sosial dan ekonomi yang harus ditanggung karena marahnya rakyat akan sangat besar," ingat Adiningsih. Lantas apa tawaran jalan keluarnya? Adiningsih lebih melihat liberalisasi sektor ketenagalistrikan sebagai jawabnya. Adiningsih mengajukan argumen bahwa PLN tak mungkin lagi dapat memenuhi sendiri tuntutan perkembangan sektor ketenagalistrikan yang berkembang sangat cepat. Lagipula tambah ekonom UGM ini, liberalisasi adalah semangat jaman yang tak mungkin bisa dihindari apalagi ditolak. "Memang sektor kelistrikan seingat saya belum merupakan sektor yang bakal dibuka bebas pada AFTA ataupun putaran global WTO, tapi itu hanya soal waktu," tandas Adiningsih menyakinkan anggota dewan. Karena itu Adiningsih memberikan masukan agar RUU Ketenagalistrikan yang sedang dibahas itu, dapat memberikan kepastian hukum yang seterang-terangnya. Ini penting bagi mengundang masuk investasi dalam sektor strategis ini. Adiningsih mengingatkan bakal tak ada investasi yang bersedia masuk jika tak ada kepastian hukum yang jelas. Bahkan dengan tegas dosen pascasarjana di UGM ini menyatakan kepastian hukum syarat mutlak masuknya investor. "karena itu buatlah Undang Undang Ketenagalistrikan yang secara cermat, detil dan seksama mengatur aspek hukum bisnis kelistrikan ini. Termasuk jangan sampai merugikan rakyat banyak," minta Adiningsih. Sekalipun setuju kran sektor ketenagalistrikan dibuka, Adiningsih masih memandang perlu badan atau lembaga khusus yang bekerja untuk mempercepat proses penyebaran listrik di wilayah pedesaan seluruh Indonesia. Adiningsih melihat sangat riskan jika masalah kelistrikan di pedesaan ini juga diserahkan pada mekanisme pasar. Bisa-bisa nasib masyarakat di pedesaan bisa kian telantar. Dalam pengamatan Adiningsih, para investor listrik asing maupun lokal kalaupun akan menginvestasikan uangnya di sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak ini, pastilah akan lebih memilih pasar kelas menengah ke atas yang berada di kota dan di Pulau Jawa-Bali dan sebagian Sumatra. Wilayah yang padat penduduk dan sarat industri yang butuh listrik dalam jumlah besar dan berkelanjutan. Sementara wilayah pedesaan jelas tak banyak menarik minat investasi. Disinilah perlunya badan atau lembaga khusus yang bekerja buat kepentingan percepatan pertumbuhan dan penyebaran listrik di pedesaan," ujar Adiningsih sembari menambahkan bahwa hal yang sama juga dipraktekkan sejumlah negara berkembang dan berhasil dengan baik. Kecemasan Mubyarto Berbeda dengan Adiningsih, guru besar fakultas Ekonomi UGM, Mubyarto yang berbicara pada sesi siangnya justru menyampaikan kecemasannya atas semangat RUU Kelistrikan ini yang disebutnya sangat liberal. Kecemasan Mubyarto terutama dari keyakinan dari perumus RUU ini (baca; pemerintah) yang sangat percaya nyaris tanpa reserve kalau liberalisasi dan kompetisi diterapkan maka efesiensi dan keadilan akan didapatkan. "Ini pandangan yang tak selalu benar. Bahkan di Amerika sana pandangan ini secara teoritis telah mengalami koreksi yang mendasar," jelas Mubyarto. "efesiensi dan lebih-lebih keadilan bisa juga diraih melalui collective action atau dalam bahasa kita gotong royong. Tidak hanya melalui kompetisi. Tapi juga bisa melalui penguasaan negara yang monopolis," tambah mantan anggota tim pakar PAH I MPR yang mengundurkan diri karena menolak dihapuskannya paham kekeluargaan dari pasal 33 UU Dasar 1945. Mubyarto mengaku PLN gagal mengemban misi mengelola sumber daya alam dalam hal ini ketenagalistrikan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan Undang-undang Dasar 1945 pasal 33. Tetapi menurutnya itu bukan alasan untuk kemudian meliberalisasi sektor yang seharusnya tetap dikuasai negara itu. "Apakah dengan menghapus monopoli dengan sendirinya akan terjadi kompetisi yang sehat dan adil? Sehat dan adil menurut siapa?" tanya Mubyarto. Bagi Mubyarto pernyataan bahwa kompetisi akan melahirkan efesiensi dan keadilan itu hanya ada di teks book. Dalam kenyataannya, setidaknya di Indonesia tak pernah terjadi kompetisi melahirkan efesiensi dan keadilan. Bahkan sebaliknya, Mubyarto mengingatkan bahwa kebijakan deregulasi dan liberalisasi yang bersemangat kompetisi yang dilaksanakan sejak 1983 dan 1988 telah menjadi salah satu sebab pokok lahirnya ketimpangan ekonomi dan sosial yang menyulut krisis moneter berkepanjangan sejak hari ini. :Karena saya minta dengan sangat, anggota dewan bersikap hati-hati dan mewaspadai penuh semangat liberalisasi dan kompetisi yang diusung RUU ini. Jangan terpesona oleh tawaran yang memikat padahal belum tentu pas buat bangsa ini," ingat Mubyarto. Selanjutnya pada bagian lain Mubyarto secara kritis berhasil membedah sejumlah hal yang menggangu dalam RUU versi pemerintah itu. Terutama soal keengganan perumus RUU ini menyebutkan pasal 33 UU Dasar 1945. Mubyarto menduga ini bukan kelalaian yang tak disengaja. Tapi ini sudah di desain seperti itu. "Mudah-mudahan saya salah, tapi saya duga perumus RUU ini memang bermaksud menghilangkan pasal 33 itu untuk menegaskan bahwa RUU ini ingin menerapkan model kompetisi pasar," duga Mubyarto. Tapi anehnya (sekaligus juga ini sisi lucu dari RUU Ketenagalistrikan) Mubyarto melihat ada ketidakyakinan dari perumus RUU ini bahwa sistem kompetisi pasar akan berjalan baik dan lancar. Buktinya masih perlu dibentuk apa yang disebut Badan Pengatur (pasal 30) untuk mengawasi terselenggara kompetisi. Belum cukup, masih dilengkapi dengan pasal 32 yang menyebutkan jika kompetisi tidak dapat diterapkan kembali fungsi pengaturan dilaksanakan oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah. Mubyarto melihat pasal ini seolah-olah menegaskan bahwa nantinya kompetisi akan bermasalah, lalu urusan diambil alih pemerintah lagi. "kalau ini benar lantas buat apa dibuat RUU baru? Apa yang baru dari UU ini kalau ujung-ujungnya kembali lagi pemerintah yang diminta mengelola listrik?" kritik Mubyarto yang kemudian menyimpulkan RUU ini masih sangat lemah dan mentah. Sementara Prof Dawam mengaku belum sempat membaca dengan serius RUU Ketenagalistrikan. Tapi pada prinsipnya ia setuju agar semua kekuatan ekonomi diberi peluang yang sama untuk terlibat dalam sektor penting ini. "Prinsip kekeluargaan dalam ekonomi kita mengajarkan soal itu," ujar tokoh yang dikenal lama berkecimpung di LSM ini. Karena itu ia minta anggota dewan dalam menyusun RUU ini memberikan porsi yang cukup buat kekuatan ekonomi seperti koperasi dan juga perorangan untuk terlibat dalam pengelolaan dan penyediaan energi listrik di lingkungannya masing-masing. "jangan sampai kreativitas masyarakat mandeg apalagi dimatikan atas nama monopoli seperti yang dilakukan PLN selama ini, " minta Dawam. Respon Anggota Dewan Dari pembahas pertama, Dr.Sri Adiningsih hingga ke Prof Mubyarto dan Dawam Rahardjo respon anggota dewan terlihat tak cukup antusias. Memang yang mengajukan pertanyaan atau komentar balik atas para tanggapan para ekonom itu cukup banyak. Tapi madih saja berkisar pada setuju atau tidak setuju terhadap isu strategis seperti liberalisasi sektor kelistrikan. Tapi sayangnya terasa pertanyaan atau komentar anggota dewan itu dangkal, mengulang-ulang dan tak dalam mengupas lebih jauh apa yang sudah disampaikan para ekonom tadi tak jelas benar apa karena yang disampaikan para ekonom tadi terlalu tinggi atau anggota dewan sudah cup paham sehingga merasa tak perlu pendalaman. Yang pasti muncul kesan anggota dewan asal bertanya. Kalau sudah bertanya gugur kewajiban. Akibatnya tak muncul diskusi yang dalam, intens dan menambah wawasan seperti yang diharapkan dari pertemuan ini. Tapi bisa jadi kesan selintas ini keliru. Apalagi proses pembahasan RUU ini masih cukup panjang perjalanannya. Setidaknya kita masih bisa berharap pada anggota dewan agar mendengarkan dengan serius dan mengakomodasi dengan proporsional krtikan tajam dari para ekonom diatas. Tentu saja harapan kita tetap harus diikuti dengan kontrol kritis terhadap kinerja anggota dewan. Karena itu satu-satunya jalan untuk memastikan masuknya aspirasi rakyat luas dalam perumusan RUU apapun saja, termasuk RUU Ketenagalistrikan ini. Jadi, mari kita kontrol ramai-ramai wakil kita di parlemen! Jakarta 28 November 2001 *o*o*o*o*o*o*o*o*o*o*o*o*o*o*o*o*o*o*o*o*o*o*o*o*o*o*o*o*o*o*o*o*o*o*o*o*o*o *o*o*o*o*o*o*o*o*o*o*o*o*o*o*o*o*o*o*o Koalisi Masyarakat Sipil untuk Masalah Ketenagalistrikan INFID, Serikat Pekerja PLN Pusat, YLKI, Walhi Jakarta, Eksekutif Nasional Walhi, Yayasan Pelangi, Pirac, Yayasan Gemi nastiti, Asosiasi Penasehat Hukum dan HAM Indonesia, NGO Working Group on Power Sector Restructuring, ICW, LBH Jakarta, Debt Watch Indonesia
--------------------------------------------------------------------- Mulai langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED] Stop langganan: kirim e-mail ke [EMAIL PROTECTED] Archive ada di http://www.mail-archive.com/envorum@ypb.or.id