************************
     Layanan Informasi Aktual
          eskol@mitra.net.id
************************
Hot Spot: Selasa, 2 Mei 2006

Gelora Syariah Mengepung Kota
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
JEJAK regulasi bernuansa Islami di Sulawesi Selatan seolah mengikuti 
perjalanan karier Patabai Pabokori, 54 tahun. Ketika ia kini menjabat 
sebagai Kepala Dinas Pendidikan Sulawesi Selatan, DPRD mengesahkan Peraturan 
Daerah (Perda) Pendidikan Al-Quran, 18 April lalu. Patabai bangga. "Inilah 
satu-satunya perda tentang pendidikan," katanya. Wakil Gubernur Syahrul 
Yasin Limpo pun berharap, perda ini dapat mempercepat penurunan buta aksara 
Al-Quran.

Sebelum itu, saat menjabat sebagai Bupati Bulukumba untuk dua periode 
(1995-2005), Patabai menggolkan empat perda berspirit syariat Islam. Perda 
Minuman Keras; Zakat, Infak, dan Sedekah; Baca-Tulis Al-Quran bagi Siswa dan 
Calon Pengantin; serta Pakaian Muslim/Muslimah. Keempatnya lahir pada 2003. 
Kabupaten ini pun populer sebagai pionir penerapan syariat Islam di Sulawesi 
Selatan.

Eksperimen syariah di Bulukumba bahkan menembus pemerintahan terendah: desa. 
Sebanyak 12 desa dijadikan areal percontohan penerapan syariat Islam sejak 
awal 2005. Sedemikian kondangnya nama Bulukumba di mata pendukung syariah, 
sampai Kongres Umat Islam Sulawesi Selatan III, Maret 2005, pun digelar di 
sana. Kongres ini kental warna syariahnya. Ada rekomendasi agar umat Islam 
memilih kepala daerah yang punya komitmen pada syariat Islam.

Sepeninggal Patabai, implementasi syariat Islam di desa-desa pilot project 
itu kian pesat. Malah melampaui perda kabupaten dan provinsi. Karena desa 
itu berani menerapkan pidana hudud. Desa Padang, Kecamatan Gantarang, 
misalnya, menetapkan "peraturan desa". Isinya, aturan tentang delik 
perzinaan (cambuk 100 kali), qadzaf alias menuduh zina (cambuk 80 kali atau 
dilimpahkan ke polisi), minuman keras (cambuk 40 kali), dan pidana qishash 
(balasan setimpal) bagi tindak penganiayaan.

Kabupaten di Sulawesi Selatan selain Bulukumba juga tak mau ketinggalan. 
Pangkep, Gowa, dan Wajo seolah berlomba membuat perda syariah. Tapi dinamika 
ini bukan khas Sulawesi Selatan, yang pada 2002 pernah menuntut otonomi 
khusus penerapan syariat Islam. Suara serupa berkembang di Provinsi Banten 
dan Riau. Juga beberapa kabupaten/kota, semisal, Cianjur, Tasikmalaya, 
Pamekasan, Mataram, dan Dompu.

Gelora bersyariat-ria di berbagai daerah ini sudah bergulir lima tahunan 
terakhir. Tepatnya sejak otonomi daerah ditetapkan. Tapi akselerasi geliat 
itu terasa kian melesat belakangan ini, di tengah ingar-bingar polemik 
nasional tentang Rancangan Undang-Undang Anti-Pornografi dan Pornoaksi (RUU 
APP). Meski RUU ini tak eksplisit mengusung idiom syariah, polemik yang 
mengitarinya diwarnai sentimen pro-kontra syariat Islam. Sampai ada tudingan 
Arabisasi dan Islamisasi di balik RUU itu.

Belum tuntas berdebat RUU APP, publik tergiring membincangkan ihwal Perda 
Pelacuran di Kota Tangerang. Lalu muncul kabar tentang Raperda Anti-Maksiat 
di Kota Depok. Tak mau ketinggalan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jakarta 
juga menyiapkan Raperda Anti-Maksiat untuk DKI Jakarta.

Silang pendapat pun makin keras. Berbagai simpul pengusung syariat seolah 
berkejaran diburu tenggat. Perkembangan ini seperti mengamini survei 
nasional Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat, Universitas Islam Negeri 
(UIN) Jakarta, tentang tingginya dukungan orang pada tawaran penerapan 
syariat Islam. Dari 2001 hingga 2004, trennya naik. Dukungannya di atas 70%.

Di lapangan, dukungan itu ditandai dengan maraknya simpul pejuang syariat. 
Ada Majelis Mujahidin yang memang dibentuk untuk penegakan syariat Islam. 
Mereka menyusun draf revisi KUHP berdasarkan syariat. Ada Komite Persiapan 
Syariat Islam Banten, Gerakan Penegak Syariat Islam Yogyakarta, Lembaga 
Pengkajian, Penegakan, dan Penerapan Syariat Islam Garut, Badan Pengkajian 
dan Pengembangan Syariat Islam Sukabumi, Lembaga Pengkajian dan Penerapan 
Syariat Islam Pamekasan di Madura, dan Komite Penegakan Syariat Islam di 
Sulawesi Selatan.

Dalam pada itu, kampanye khilafah Islamiyah (imperium Islam trans-nasional) 
terus-menerus disuarakan kelompok Hizbut Tahrir. Lewat berbagai aksi 
demonstrasi, spanduk-spanduk, ceramah, pengajian, diskusi, buku-buku, 
majalah, dan sebagainya. Mereka menempatkan khilafah sebagai alternatif 
kegagalan sistem politik (demokrasi) dan ekonomi (kapitalisme) yang tengah 
berlangsung.

Meski berbagai simpul itu memiliki spektrum agenda berbeda-beda, kesan yang 
berkembang, agenda penerapan syariat satu paket dengan kampanye khilafah dan 
negara Islam. Berbagai kalangan di kawasan minoritas muslim, seperti 
Sulawesi Utara, Bali, Papua, dan Nusa Tenggara Timur (NTT), umumnya risau 
melihat semarak syariat. Ada kekhawatiran pada keutuhan nasional. Agama, 
bagi mereka, tidak bisa masuk dalam hukum negara, termasuk dalam 
undang-undang.

"Agama apa saja, Islam, Kristen, Buddha, dan Hindu, tidak bisa memasukkan 
syariatnya dalam undang-undang," kata Victor Mailangkay, anggota DPRD 
Sulawesi Utara. "Karena kita telah berkomitmen dalam bingkai NKRI (negara 
kesatuan Republik Indonesia) yang berdasar Pancasila dan UUD 1945," ujar 
Sekretaris Partai Golkar Sulawesi Utara itu kepada Jurichal Antameng dari 
Gatra.

Ancaman pada integrasi pun dikhawatirkan Ince Sayuna, anggota DPRD NTT. 
"Ujung-ujungnya merupakan ancaman disintegrasi bangsa," kata Ince Sayuna 
kepada Antonius Un Taolin dari Gatra. "Jika syariat Islam berhasil 
diundangkan, kami warga NTT tidak tertutup kemungkinan akan memisahkan diri 
dari NKRI. Karena kami hanya satu prinsip, Pancasila harga mati landasan 
hukum NKRI," Ince menambahkan.

Wakil Gubernur Bali, I.G.N. Kesuma Kelakan, berpandangan bahwa semua 
peraturan harus dibuat lintas agama dan lintas suku. "Di Bali, kalau ada 
perda yang sangat Hindu, saya juga akan tentang," katanya kepada koresponden 
Gatra Komang Erviani. Kelakan menyerukan kembali pada komitmen awal, UUD 
1945. Kalau ada yang ingin memberlakukan syariat Islam bagi Indonesia, 
menurut Kelakan, "Mereka berarti tidak paham UUD 45."

Anggota DPRD Papua, Yance Kayame, menilai gerakan penerapan syariat Islam 
tak sampai mengancam integrasi bangsa. "Tapi bisa mengancam, menyulut 
konflik horizontal," katanya kepada Gatot Ariwibowo dari Gatra. "Memang 
tidak akan sampai pada disintegrasi bangsa, namun syariat Islam itu kan 
ideologi. Sangat memicu konflik horizontal bila diterapkan di daerah yang 
Islamnya minoritas."

Sekjen Partai Damai Sejahtera, Denny Tewu, juga berpandangan bahwa ajaran 
spesifik agama, seperti kewajiban berjilbab bagi muslimah atau keharusan 
jadi pengikut Kristus, tak perlu masuk undang-undang atau perda. Denny tidak 
menolak bila nilai agama masuk perda atau undang-undang. "Tapi nilai agama 
yang universal," ujarnya. Misalnya, semua agama mengajarkan kebaikan, saling 
mengasihi, dan bekerja sama.

Arskal Salim, kandidat doktor hukum Islam di Universitas Melbourne, 
Australia, pernah menyusun lima tingkat penerapan hukum Islam, sebelum 
sampai pada agenda negara Islam. Pertama, hukum kekeluargaan (perkawinan, 
perceraian, dan kewarisan). Kedua, masalah ekonomi dan keuangan, seperti 
perbankan Islam dan zakat.

Ketiga, praktek ritual keagamaan, seperti kewajiban jilbab, larangan alkohol 
dan judi. Keempat, hukum pidana Islam, terutama penerapan sanksi model 
cambuk, potong tangan, dan rajam. Kelima, penggunaan Islam sebagai dasar 
negara.

Lima level itu disusun secara hierarkis, mulai terendah sampai tertinggi. 
"Tuntutan penerapan lima level hukum Islam mengimplikasikan pembentukan 
negara Islam," kata Arskal. "Makin tinggi level tuntutan, makin dekat menuju 
negara Islam," dosen Fakultas Syariah UIN Jakarta itu menambahkan. 
"Sebaliknya, semakin rendah level tuntutannya, semakin rendah tingkat 
komitmen pada negara Islam."

Bila dicermati, unsur level pertama sampai keempat saat ini sudah ada yang 
terserap dalam legislasi nasional. Hukum kekeluargaan, sejak 1974, terserap 
dalam Undang-Undang Perkawinan. Perbankan Islam mendapat payung hukum sejak 
1992. Ritual agama seperti haji, zakat, wakaf, dan busana Islami sudah masuk 
undang-undang dan perda. Sedangkan pidana Islam telah diadopsi dalam 
beberapa qanun di Aceh dan peraturan desa di Bulukumba.

Hanya tingkat kelima yang gagal pada sidang Konstituante 1955. Apakah ini 
berarti pewujudan negara Islam tinggal selangkah lagi? Arskal menilai belum. 
"Saya belum melihat semua perda itu sudah sampai level keempat," katanya. 
Prinsip hudud dan qishash dalam Quran-hadis belum dipraktekkan. Mestinya, 
pencuri dipotong tangan, pezina dicambuk 100 kali, atau pemabuk dicambuk 80 
kali.

Kalau pezina hanya didenda atau dipenjara, itu bukan pidana hudud, melainkan 
ta`zir (sanksinya dibikin penguasa untuk tujuan pembinaan). Pidana hudud 
bisa turun jadi ta`zir bila syarat jatuhnya sanksi hudud tak terpenuhi. 
Misalnya, orang berzina tapi tak disaksikan empat saksi. "Selama hudud dan 
qishash belum terjelma dalam perda, tapi masih lebih banyak berupa ta`zir, 
maka itu masih transisi dari level ketiga ke level keempat," ujarnya. Jadi, 
negara Islam masih cukup jauh.

Dua ormas Islam terbesar, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, tetap setia 
dengan Indonesia sebagai negara-bangsa. Partai Keadilan Sejahtera dan Hizbut 
Tahrir juga menyatakan hal serupa. Besarnya dukungan pada syariat Islam 
tampaknya tidak berbanding lurus dengan sokongan pada negara Islam. 
Indonesia saat ini baru marak sebagai "negeri syariah", bukan "negara 
syariah".

Asrori S. Karni dan Bernadetta Febriana, dan Anthony (Makassar)
[Laporan Utama, Gatra Edisi 24 Beredar Senin, 1 Mei 2006]

 http://www.gatra.com/versi_cetak.php?id=94078

*************************************************************************************************
Satu tangan tak kuasa menjebol 'penjara ketidakadilan'.
Dua tangan tak mampu merobohkannya.
Tapi bila satu dan dua dan tiga dan seratus dan seribu tangan bersatu,
kita akan berkata, "Kami mampu!"

"Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia:
Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!" (Roma 11:36)
*************************************************************************************************
Redaksi Eskol-Net menerima informasi/tulisan/artikel yang relevan.
Setiap informasi/tulisan/artikel yang masuk akan diseleksi dan di edit 
seperlunya.
Untuk informasi lebih lanjut, pertanyaan, saran, kritik dan masukan harap 
menghubungi
Redaksi Eskol-Net <eskol@mitra.net.id>
*************************************************************************************************
 

Kirim email ke