**************************
Laporkan Situasi lingkungan
<[EMAIL PROTECTED]>
Atau Hub Eskol Hot Line
Telp: 031-5479083/84
**************************

---------------------
Artikel Eskol-Net:
---------------------


Benarkah Habibie Berhasil  ?
(Augustinus Simanjuntak)
------------------------------------

Menarik sekali pernyataan Ekky Syachrudin (Caleg Golkar) dalam acara Pro
dan Kontra di TPI beberapa hari yang lalu (Kamis, 1/7/1999). Ekky
mengatakan, Habibie mempunyai beberapa kelebihan diantaranya; menyangkut
kebebasan pers yang kian terjamin, pemilu yang berjalan sukses, dan tingkat
laju inflasi yang cenderung rendah akhir-akhir ini, sehingga Habibie layak
untuk dicalonkan sebagai Presiden oleh Golkar dalam Sidang Umum MPR
mendatang. Tanpa bermaksud mendiskreditkan Habibie, penilaian semacam itu
adalah terlalu dangkal bila dilakukan terhadap suatu negara yang sedang
menghadapi banyak persoalan mendasar. Pertanyaannya adalah, apakah betul
pemerintahan Habibie bisa dikatakan sudah berhasil dalam mengemban tugas
kepresidenan selama ini, terutama dalam mewujudkan cita-cita reformasi ?.
Bagaimana dengan peranan faktor-faktor di luar pemerintahan Habibie dibalik
suksesnya pemilu dan terjaminnya kebebasan pers tersebut ? Bagaimana pula
situasi politik yang mempengaruhi kepemimpinan Habibie pasca pemerintahan
Soeharto itu ?.

Pertanyaan di atas kiranya perlu mendapat jawaban sebelum langsung memberi
penilaian terhadap pemerintahan Habibie.  Hendaknya perlu diperhatikan
bahwa dalam menilai berhasil tidaknya kepemimpinan seseorang harus
dilakukan secara cermat dan komprehensif. Penilaian tidak sekedar dilihat
dari hal-hal yang tampak menonjol, tanpa menganalisa secara mendalam
hal-hal yang mendasar yang seharusnya menjadi obyek penilaian utama, baik
kondisi bangsa akhir-akhir ini maupun persoalan-persoalan sebelumnya yang
mempengaruhi situasi saat ini.

Persoalan awal, ketika Soeharto menyatakan mundur dari jabatan
kepresidenan, Habibie langsung menerima jabatan sebagai Presiden baru. Hal
ini sempat menimbulkan pro dan kontra mengenai sah tidaknya Habibie sebagai
Presiden ditinjau dari segi konstitusi, karena serah terima jabatan itu
dilakukan tanpa Sidang MPR. Dengan demikian, berbagai kalangan, terutama
mahasiswa, menilai Habibie  tidak lain merupakan kelanjutan dari rezim
lama, yaitu kelanjutan pemerintahan Soeharto. Padahal sejak semula, hakekat
reformasi yang dimaksud mahasiswa adalah, selain target  “melengserkan”
Soeharto, juga menyangkut reformasi secara menyeluruh dan menuntut
pertanggungjawaban Soeharto.  Rakyat dan mahasiswa waktu itu sama sekali
tidak langsung menghendaki Habibie sebagai Presiden pengganti Soeharto.
Mahasiswa sebenarnya sempat menawarkan dua alternatif solusi pasca
Soeharto, yaitu diadakannya agenda Sidang Istimewa MPR untuk memilih
Presiden baru atau membentuk pemerintahan transisi guna mempersiapkan
pemilihan umum.  Namun mengingat situasi politik yang memanas waktu itu,
akhirnya seolah-olah mahasiswa lebih memilih bersikap arif dengan memberi
kesempatan kepada Habibie menjabat sebagai Presiden dengan catatan tugas
menjalankan agenda reformasi harus mendapat prioritas utama.

Pada awal pemerintahan Habibie berbagai tekanan datang dari berbagai
kalangan, termasuk mahasiswa, agar Habibie tetap menjalankan agenda
reformasi. Salah satu tugas penting yang ditekankan pada habibie adalah
mempersiapkan pemilu yang luber dan jurdil guna membentuk pemerintahan baru
yang “legitimate”. Rupanya masyarakat dan pihak luar negeri tidak terlalu
berharap banyak terhadap kepemimpinan Habibie berhubung keberadaannya yang
dinilai sebagai bagian dari Orde Baru.  Bahkan, beberapa tokoh reformis dan
mahasiswa menganggap pemerintahan Habibie hanya bersifat sementara
(transisi).

Suasana politik pasca Soeharto membuat rakyat tidak lagi takut  untuk
berpendapat atau mengkritik pemerintah. Walaupun Habibie sempat melakukan
semacam “test case” terhadap anggota Barisan Nasional (Barnas), Kemal Idris
dkk, melalui tuduhan subversi, namun ternyata hal itu tidak lagi membuat
masyarakat takut untuk mengkritik. Berbagai kebobrokan pejabat dan mantan
pejabat, baik di pusat maupun di daerah, diungkap secara terang-terangan.
Demikian juga kalangan pers, yang sejak awal sangat berperan dalam
menumbangkan rezim Orde Baru, ikut merasakan “bulan madu” kebebasannya.
Tanpa pandang bulu, kalangan pers tidak lagi takut membeberkan berbagai
kebobrokan para pejabat maupun mantan pejabat, termasuk mantan Presiden
Soeharto.
Rasa takut pada masyarakat rupanya sudah hilang seiring dengan tumbangnya
pemerintahan Soeharto. Hal yang samajuga  bisa terjadi  pada Habibie
seandainya rakyat tetap diperlakukan seperti di era Soeharto, terutama
menyangkut kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. Persoalan besar akan
menghadang pemerintahan Habibie  seandainya Habibie berusaha menghambat
kekuatan arus reformasi, yang juga secara otomatis menuntut adanya
kebebasan.  Reformasi tanpa kebebasan itu adalah suatu hal yang tidak
mungkin terjadi.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya kebebasan berpendapat
dan kebebasan pers itu bukan sepenuhnya hasil kebijakan Habibie, melainkan
lebih cenderung sebagai bagian dari tuntutan reformasi.  Habibie memang
patut dihargai  sebagai pengendali dan fasilitator terciptanya kebebasan
itu dengan membiarkan rakyat berbicara serta melakukan penyesuaian produk
hukum yang ada.  Namun hal itu tidak sepenuhnya bisa dijadikan sebagai
ukuran keberhasilan kepemimpinan Habibie.
Berkaitan dengan pemilu, kebebasan itu pula yang ‘menuntut’ Habibie untuk
menyelenggarakan pemilu dengan secepatnya. Ibarat sebuah pesta, Habibie
diharapkan dapat bertindak  sebagai fasilitator atau panitia. Selain itu,
rupanya rakyat sudah lama mengidam-idamkan suatu pemilu yang demokratis,
jujur dan adil setelah lima kali pemilu di era Orde Baru selalu diwarnai
dengan berbagai kecurangan dan rekayasa politik untuk memenangkan salah
satu kontestan pemilu (Golkar).  Keinginan rakyat ini tampak pada antusias
masyarakat dalam pemilu 7 Juni lalu.  Keinginan yang tinggi inilah yang
telah melahirkan rasa tanggung jawab pada setiap warga masyarakat untuk
menyukseskan pemilu 7 Juni lalu.  Walaupun menjelang pemilu disinyalir
masih terdapat oknum-oknum dari pro status quo yang bermaksud menggagalkan
pemilu, namun sebagian besar masyarakat tetap antusias mendukung suksesnya
pemilu itu.

Dengan didasari kebebasan dan antusias masyarakat dalam menyukseskan pemilu
telah menciptakan bentuk kontrol tersendiri terhadap pelaksanaan pemilu
itu. Bila diamati saat pemungutan suara, sebagian besar masyarakat dengan
sabarnya menunggu hingga proses penghitungan suara selesai, sehingga di
beberapa TPS tidak jarang kedengaran tepuk tangan dan suara riuh ketika
partai pilihannya unggul. Masyarakat sendiri ikut berperan aktif mengawasi
jalannya pemungutan suara.  Suksesnya pemilu ini juga tidak lepas dari niat
yang sungguh-sungguh dari lembaga-lembaga pengawas, seperti UNFREL, Forum
Rektor, Panwaslu, pengawas Internasional, saksi-saksi dari masing-masing
partai, insan pers, dan juga LSM. Dengan demikian, suksesnya pemilu 7 Juni
lebih bersifat “bottom up”  daripada bersifat “top down”.  Rakyatlah yang
paling menentukan suksesnya pemilu itu.
Berkaitan dengan perekonomian Indonesia, tentu tidak bisa lepas dari faktor
situasi politik. Apabila pemerintah menilai bahwa perekonomian Indonesia
sudah menunjukkan tanda-tanda membaik beberapa bulan terakhir, yang
ditandai dengan semakin rendahnya laju inflasi, belum tentu sepenuhnya
akibat dari kebijakan Habibie. Ada beberapa kemungkinan yang dominan
mempengaruhi membaiknya perekonomian negara pada masa pra dan pasca pemilu.
Pertama, adanya jaminan kebebasan berpendapat dan kebebasan pers sebagai
akibat tuntutan reformasi, yang mendukung agenda reformasi itu sendiri dan
menciptakan transparansi. Kedua,  janji pemerintah untuk menyelenggarakan
pemilu secara luber, jujur dan adil, yang juga sebagai akibat tuntutan
reformasi.  Keempat, adanya tekad yang sungguh-sungguh dari partai-partai
reformis untuk melanjutkan agenda reformasi bila menang dalam pemilu.
Kelima, suksesnya pemilu 7 Juni yang lalu.  Dari uraian di atas tampak
bahwa sebenarnya Habibie bisa dinilai telah sukses sebagai fasilitator
menuju terbentuknya suatu pemerintahan baru hasil pemilu jurdil, sehingga
lebih identik dengan suatu pemerintahan transisi. Untuk melakukan agenda
reformasi di segala bidang butuh keseriusan dan keberanian pemerintah.
Dalam hal ini, keseriusan pemerintah Habibie dalam mengusut KKN pejabat dan
mantan pejabat negara masih diragukan,  karena posisi Habibie yang dinilai
banyak pihak masih kelanjutan dari sistem Orde Baru.  Itu berarti
diperlukan pemerintahan baru yang  lebih “legitimate”.

"Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia:
Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!" (Roma 11:36)
***********************************************************************
Moderator EskolNet berhak menyeleksi tulisan/artikel yang masuk.
Untuk informasi lebih lanjut, pertanyaan, saran, kritik dan sumbangan
tulisan harap menghubungi [EMAIL PROTECTED]
Bank Danamon Cab. Ambengan Plaza Surabaya,
a.n. Martin Setiabudi Acc.No. 761.000.000.772
***********************************************************************
Kirimkan E-mail ke [EMAIL PROTECTED] dengan pesan:
subscribe eskolnet-l    ATAU    unsubscribe eskolnet-l

Reply via email to