`~`~`~`~`~`~`~`~`~`~`~`~`~ "DISTORSI AJARAN AGAMA" -~-~-~-~-~-~-~-~-~-~-~-~-~-~-~ Oleh: Augustinus S, S.H Bagi kaum atheis, berbagai jargon tawaran solusi problematik sosial dari kaum agamais menjadi sesuatu yang tak bisa diandalkan lagi. Hal ini berangkat dari fenomena sosial yang justru banyak mengalami konflik (menelan banyak korban jiwa) karena agama. Pertentangan dengan isu agama di berbagai tempat menjadi sesuatu yang memudarkan nilai-nilai keagungan ajaran agama itu sendiri. Klaim umat bahwa Tuhan itu Maha Kasih dan Maha Penyayang tidak lagi terpancar dalam ciptaanNya itu sendiri (manusia). Membenci dan menghakimi sesama yang tidak se-agama jelas sangat kontra dengan klaim bahwa Tuhan itu Maha Baik, atau kontra dengan ajaran agama itu sendiri. Tuhan baik kepada semua orang, hanya saja tidak banyak manusia yang baik kepada Tuhan. Pergeseran nilai keagamaan menjauhi hakekat Sang Pencipta (Maha Adil, Maha Kasih, Maha Penyayang, dst) banyak terjadi ketika agama kian dominan menjadi urusan institusi, bukan lagi dominan urusan pribadi dengan Tuhan. Implikasi dominasi institusi agama inilah yang terjelma dalam diri para pemegang otoritas institusi itu (tokoh agama/ penegak hukum agama/ imam, dsb). Dominasi ini banyak dipengaruhi oleh faktor ego dan subyektifitas para tokoh yang berpengaruh dalam melakukan otoritasi institusi agama, sehingga agama sebagai institusi tanpa disadari (karena kuatnya pengaruh tokoh) telah menyimpang dari otoritas yang sebenarnya. Dengan kata lain, bukan otoritas Tuhan lagi yang menjadi 'spirit' institusi, melainkan otoritas manusia. Sehingga dalam intern agama sendiri pun acapkali terjadi pertikaian menyangkut kebijakan pemegang otoritas. Institusi agama yang terlalu dominan sebenarnya berbahaya bagi kebersamaan sosial, karena keputusan dan penafsiran dogma hanya ditentukan oleh sebagian kecil tokoh berpengaruh/yang dianggap terkemuka. Bahayanya, bila suatu saat para tokoh ini tidak lagi obyektif karena dipengaruhi oleh suatu kepentingan sehingga memperbesar peluang terjadinya pen-distorsi-an makna ajaran agama sesuai dengan selera penguasa institusi agama tersebut. Bahkan, para penegak otoritas institusi agama banyak mengambil alih yang seharusnya menjadi wewenang Tuhan, menjadi wewenangnya melalui legitimasi institusi agama. Akibatnya, banyak tindakan dan sikap umat yang secara logika manusia pun sungguh bertentangan dengan hakaket Tuhan sebagai akibat pengaruh dari hasil keputusan institusional agama. Misalnya; tindakan anarkhis, sikap menghakimi, membenci dan memusuhi sesama yang beda keyakinan, dll. Memang hanya segelintir umat yang sering melakukan kekerasan atau menebar kebencian dengan mengatasnamakan agama, namun dampaknya sangat luas, sebab agama sudah ter-institusi, sehingga generalisasi kesalahan pun sering terjadi. Seorang ditangkap mencuri dan ternyata beragama X, akhirnya agama X secara insitusi pun akan ikut tercemar. Agama tertentu pun sering menjadi golongan tertuduh hanya karena ulah oknum-oknum yang salah dalam memaknai ajaran agamanya. Selain itu, keputusan institusional agama acapkali menghambat kreatifitas umat untuk berpikir otonom mengenai keimanannya. Apa yang telah diputuskan oleh lembaga atau tokoh agama seolah-olah tidak bisa diperdebatkan lagi. Dengan demikian, umat tidak dilatih untuk berpikir kritis dan mengembangkan sendiri penjabaran keimanannya. Sadar atau tidak sadar, sebenarnya telah banyak terjadi hegemoni 'otoritas' kelembagaan agama terhadap umat, sehingga yang terjadi bukan pemberdayaan, melainkan pembodohan. Idealnya, urusan keyakinan harus ditekankan pada penguatan kualitas individu, bukan memperkuat dominasi institusi. Institusi keagamaan yang kuat tanpa kualitas individu yang kuat akan memperbesar peluang pen-distorsian ajaran agama. Oleh karena itu, tugas tokoh agama ialah menanamkan firman Tuhan kepada individu-individu sekaligus harus ada upaya pemberdayaan melalui pengembangan wacana kehidupan di tempat-tempat peribadatan. Hal ini sangat penting untuk menghindari eksklusifisme dan dis torsi ajaran agama baik secara institusional maupun secara individu. Hal ini juga dapat mengurangi stigma terhadap kelembagaan agama tertentu, atau mencegah generalisasi kesalahan atau kejahatan oleh individu. Adanya tindakan -tindakan anarkis/ radikal bersimbolkan agama sebenarnya bukan disebabkan oleh agama itu sendiri, melainkan individu-individunya yang 'kebablasan' dalam menafsirkan ajaran agamanya. *** "Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!" (Roma 11:36) *********************************************************************** Moderator EskolNet berhak menyeleksi tulisan/artikel yang masuk. Untuk informasi lebih lanjut, pertanyaan, saran, kritik dan sumbangan tulisan harap menghubungi [EMAIL PROTECTED] Bank Danamon Cab. Ambengan Plaza Surabaya, a.n. Martin Setiabudi Acc.No. 761.000.000.772 atau BCA Cab. Darmo Surabaya, a.n. Martin Setiabudi Acc. No. 088.442.8838 *********************************************************************** Kirimkan E-mail ke [EMAIL PROTECTED] dengan pesan: subscribe eskolnet-l ATAU unsubscribe eskolnet-l