````````````````````````` [EMAIL PROTECTED] A r t i k e l Lepas ^*^*^*^*^*^*^*^ Sambungan: "Legislasi Syari'at Islam dan Aspirasi Perempuan" ``````````````````````````````````````````````````````````` Oleh: Fakih Huddin A. Qodir, M.A Dengan begitu kentalnya nuansa ketidakadilan terhadap perempuan dalam peraturan-peraturan tersebut, tidak mengherankan akan terjadi reaksi dari berbagai kalangan, terutama kaum perempuan. Di Padang, larangan keluar malam bagi perempuan yang terdapat dalam rancangan peraturan daerah telah direvisi, karena protes yang diajukan ninik mamak, budayawan dan aktivis perempuan di daerah tersebut. Di Aceh, perempuan yang tergabung dalam Dupakat Inong Aceh menggelar seminar, berdialog dengan para ulama dan melakukan 'hearing' ke DPRD dan Pemda setempat untuk mengusulkan formulasi syari'at Islam dalam perspektif perempuan. Aturan-aturan yang melemahkan posisi perempuan dalam peraturan daerah Aceh di gugat. Dengan semua itu mereka menunjukan bahwa suara mereka perlu di dengar. Legalisasi dipahami sebagai standarisasi yang bisa berakibat fatal, terutama bagi perkembangan dan pengayaan intelektual. Dalam sejarah Islam, hampir dipastikan bahwa setiap upaya standarisasi selalu berhadapan dengan penolakan dan resistensi dari sejumlah tokoh dan pakar unggulan. Ketika khalifah Abu Bakr Siddiq, sahabat paling dekat Nabi , diminta untuk melakukan standarisasi bacaan al-Qur'an, beliau menolak dengan jawaban "Saya tidak mau melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Nabi". Sikap yang sama ditunjukan khalifah berikutnya, berikutnya Umar bin Khathab ra. Baru pada masa Utsman bin Affan ra, standarisasi dijalankan setelah melewati perdebatan yang cukup sengit. Itupun masih menyisakan penolakan dari sejumlah sahabat. Saat itu, al-Qur'an ditulis secara resmi oleh negara, disahkan dan disosialisasikan ke seluruh wilayah. Tulisan lain, atau cara baca lain, sekalipun hidup dan berlaku pada masa Nabi, dilarang beredar, bahkan dibakar di muka umum. Standarisasi al-Qur'an, seiring dengan tuntuan perkembangan zaman, terus mengerucut mulai dari penulisan tanpa tanda huruf dan tanda baca, sampai penulisan yang penuh dengan atribut-atribut yang sebenarnya adalah murni kreasi artistik. Tetapi oleh generasi berikutnya atribut-atribut itu dianggap ketentuan pokok agama yang sakral dan final. Standarisasi hadis (baca: pengumpulan, penulisan dan penyatuan metodolgi) juga mengalami hal yang sama. Pada awalnya upaya ini ditolak keras segenap sahabat Nabi, kecuali beberapa orang saja. Diriwayatkan bahwa Khalifah Abu bakr ra berkata di depan para sahabat yang sering meriwayatkan hadis Nabi: "Kalian meriwayatkan dari Rasulullah banyak hal, yang diperselisihkan diantara kalian. Ingatlah bahwa generasi setelah kalian akan berselisih lagi tentang periwayatan itu, bahkan lebih hebat. Sebaiknya kalian tinggalkan periwatan itu, apabila ada yang bertanya, jawablah: "Yang menjadi pedoman kita adalah al-Qur'an, ikutilah apa yang diperintahkan, yang halal dihalalkan dan yang haram ditinggalkan". Umar ra juga dengan tegas melarang penulisan hadis. Hanya setelah beberapa sahabat, seperti Ibn umar, Ibn Abbas, Abu Hurairah dan lain-lain, berulang kali menyarankan pengumpulan dan penulisan hadis, Umar memikirkan usulan itu selama satu bulan penuh. Setelah itu ia menemui beberapa sahabat dan berkata: "Saya, setelah disarankan untuk menulis hadis-hadis, tetapi saya teringat orang-orang terdahulu, para ahli kitab sebelum kita. Mereka menulis berbagai hal di samping memiliki kitab suci dari Allah. Kemudian mereka lebih memilih tulisan-tulisan itu dan meninggalkan kitab suci mereka. Dengarlah, demi Allah, saya tidak ingin mencampurkan kitab suci kita dengan tulisan-tulisan lain." Bahkan Umar mengeluarkan anjuran: "Barangsiapa yang memiliki tulisan-tulisan itu (hadis), sebaiknya dihapus saja". Tetapi seiring perjalanan sejarah Umat, pengumpulan dan penulisan hadist-hadist menjadi sebuah keniscayaan, yang kemudian terjadi secara besar-besaran. Semua itu dilatari oleh berbagai motivasi; mulai dari agama, politik, sosial, bahkan kepentingan kelompok (Ahmad Amin, 1983, II/164-167). Tentu saja, pengumpulan dan penulisan ini bernilai positif dan merupakan citra peradaban yang tingga dan luhur. Yang menjadi masalah adalah akibat yang ditimbulkan; kekakuan yang berujung pada perselisihan yang muncul dari fanatisme buta terhadap sesuatu yang pada mulanya relatif. Pengumpulan dan penulisan al-Qur'an masa Utsman ra dan pengumpulan hadis-hadis pada masa-masa berikutnya adalah merupakan standarisasi agama yang menyebabkan orang selalu ingin berpikir dan berperilaku seragam dalam beragama. Agama di monopoli satu pandangan dan satu penafsiran. Dalam memahami ajaran agama, umat tidak lagi bisa memilah antara agama dari Tuhan, antara pemahaman agama dari manusia, antara prinsip dan pilihan-pilihan, atau antara wilayah transendental yang tidak berubah dan wilayah temporal yang berubah-ubah. Sesuatu yang pada awalnya beragam bahkan diperdebatkan, setelah dilakukan standarisasi melalui kebijakan politik, ia bagi generasi berikutnya menjelma jadi ajaran agama yang mutlak. Legislasi, apabila dipahami sebagai islamisasi hukum melalui kekuatan politik, sebenarnya baru mengemuka pada masa dinasti Abbasiyah (mulai 140-an H/). Sebelumnya, hukum Islam tertanam melalui dakwah persuasif, pembentukan kultur dan penguatan masyarakat sipil. Tafsir agama yang bias gender, misalnya, tidak pernah berkembang menjadi legislasi formal. Ia hanya dianggap sebatas pandangan keagamaan ulama tertentu yang bisa diikuti dan bisa tidak, bahkan pada masanya bisa dikritisi oleh sejumlah ulama lain. Larangan perempuan keluar rumah, pergi ke mesjid, atau aktif di dunia politik-publik, yang disuarakan oleh sahabat seperti Ibn Umar dan Abu Hurairah, pada masanya dikritisi oleh isteri Nabi Aisyah dan Zubair bin Awwam. Bahkan Aisyah keluar memimpin perang unta melawan Ali bin Abi Thalib. Melihat demikian, Ibn Hazm pun, pada akhirnya menganggap bahwa hadis-hadis larangan sedemikian tidak valid untuk dijadikan referensi hukum. Orang yang pertama kali menawarkan ide legislasi syariat adalah Ibn al-Muqaffa' (w. 145 H), orang Persia yang menjadi penasehat dan pembantu khalifah al-Mansur pada dinasti Abbasiyyah. Saat itu, ia merasa gundah dengan beragam pendapat dan pandangan keagamaan, serta keputusan hukum yang berkembang di seluruh wilayah pemerintahan. Ia menyarankan pembentukan kesatuan hukum syariat di bawah kendali khalifah, yang diberlakukan terhadap seluruh masyarakat. Ide ini diterima oleh Khalifah al-Mansur, tetapi ketika disosialisasikan ditolak oleh segenap elite masyarakat, terutama para ulama. (bersambung)