Resensi Buku Suluk Malang Sungsang
Konflik Penyimpangan Ajaran Syeikh Siti Jenar
Keterangan Detail :
Judul Buku : Suluk Malang Sungsang, Konflik Penyimpangan Ajaran Syeikh Siti
Jenar
Pengarang : Agus Sunyoto
Cetakan/Tahun : Pertama, 2005
Penerbit : Pustaka Sastra, Kelompok Penerbit LKIS, Yogyakarta
Halaman : XII + 658 halama; 12 x 18 cm
Di resensi oleh : Ferry Djajaprana
Syekh Siti Jenar itu tokoh yang kontroversial, saya pernah membaca buku
selain karangan Agus Sunyoto, seperti Achmad Khojim dan A. Munir Mulkan
mereka membahas obyek yang sama tapi dari sudut yang berbeda, tentu saja
perbedaan tersebut dari nara sumber yang berbeda.
Aku sekarang mencoba meresensi buku tentang Syeikh Siti Jenar karangan Agus
Sunyoto.
Buku karangan Agus Sunyoto ini terdiri dari seri satu sampai dengan seri
tujuh. Suluk Malang Sungsang adalah seri pamungkas.
Agar bisa diikuti runut, maka saku coba ringkaskan trilogi pertama (Buku
satu dan dua) dengan detail mengisahkan perjalanan yang ditempuh seorang
salik Abdul Jalil alias Syaikh Siti Jenar untuk mencapai maqam yang lebih
tinggi, yakni menjadi orang yang dekat dengan Nya. Dalam buku satu dan dua
tersebut diceritakan betapa berat perjalanan yang harus ditempuh Syaikh
Siti Jenar untuk mencapai maqam tertinggi itu. Ia harus melewati tujuh
Lembah Kasal, tujuh Jurang Futur, tujuh Gurun Malal, tujuh Gunung Riya, dan
tujuh Rimba Sum'ah, tujuh Samudera 'Ujub dan tujuh Benteng Hajbun.
Trilogi kedua yang dikemas dalam buku ketiga, empat dan lima yang berjudul
: Sang Pembaharu: Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti Jenar, juga bergelar
Syaikh Lemah Abang. Gagasan utama dari ke tiga buku ini adalah upaya Syaikh
Lemah Abang untuk membangkitkan kesadaran di dalam diri rakyat jelata bahwa
mereka bukanlah budak dari penguasa. Mereka adalah diri yang merdeka. Diri
yang bisa melampaui tingkatan hewan manusia hewan adi manusia .
Sejak manusia lahir ke dunia fana ini, tiap-tiap pribadi memiliki fitrah
keagungan dan kemuliaan sebagai mahluk paling sempurna yang disebut insan
kamil atau adi manusia. Kalian semua diciptakan oleh Allah dengan maksud
dijadikan wakil-Nya di muka bumi (Khalifah Allah fil Ardh), (Sang
Pembaharu, buku lima, hal. 81).
Di dalam trilogi ke dua itu kita juga bisa melihat bagaimana Syekh Siti
Jenar merombak sistem raja-kawula atau gusti-kawula menjadi sistem
kemasyarakatan yang ia sebut sebagai masyarakat ummah, yang terdiri atas
kabilah sebagai satuan terkecil, kemudian nagari. Berdasarkan masyarakat
ummah ini, penentuan pemimpin masing-masing tingkatan itu tidak didasarkan
atas keturunan, akan tetapi dipilih oleh sahabat-sahabat yang mengasihinya.
Ukuran seorang pemimpin adalah memiliki derajat ruhani lebih tinggi
dibandingkan manusia lainnya. Ia haruslah orang yang mempunyai keterikatan
paling rendah terhadap kebendaan dan pengumbaran nafsu. Sistem
kemasyarakatan ini sebenarnya diadopsi dari sistem kemasyarakatan Nabi
Muhammad SAW.
Dari sini kita bisa paham mengapa Syeikh Siti Jenar kemudian dimusuhi
banyak fihak. Yang jelas, dengan gagasan Syeikh Siti Jenar ini, para raja,
bangsawan merasa terancam kedudukannya, pengaruh kekuasaan mereka otomatis
berkurang. Lalu, para pejabat dibawah raja hingga para kepala desa
kehilangan sumber pendapatan mereka dari sewa tanah yang tadinya merupakan
satu paket dengan konsep gusti-kawula. Sebab, sistem masyarakat baru yang
dikembangkan Syeikh Siti Jenar tidak mengenal sewa tanah. Setiap warga
berhak memiliki harta benda, termasuk sebidang tanah.
Adapun trilogi ketiga (buku ke enam dan ke tujuh) yang berjudul Suluk
Malang Sungsang : Konflik dan Penyimpangan Ajaran Syeikh Siti Jenar, berisi
tentang jawaban atas berbagai teka-teki dan juga misteri yang menyelimuti
tokoh agung Syeikh Siti Jenar. Sesuai dengan judulnya, di dalam buku ke
enam dan terutama buku ke tujuh, kita akan melihat bagaimana orang-orang
tidak senang dan menaruh dendam kepada Syekh Siti Jenar melakukan
penjungkir balikan terhdap ajaran-ajaran yang selama ini didakwahkan oleh
Sang Syeikh. Dua tokoh yang mengaku sebagai Syeikh Siti jenar, yakni Hasan
Ali dan gurunya, San Ali Anshar, mengajarkan jalan ruhani (suluk) yang
justru merusak tatanan yang telah dibangun oleh Syekh Siti Jenar. Bahkan
tindakan mereka telah banyak menyesatkan umat manusia. Oleh karena itu,
ajaran Hasan Ali dan San Ali Anshar ini kemudian dijuluki sebagai Suluk
Malang Sungsang, ajaran perjalanan ruhani (tarekat) yang mengakibatkan
salik (pencari kebenaran) semakin terhijab (tertutup) dan terjungkir
kiblatnya dari kebenaran sejati yang dituju.
Pada buku ke tujuh ini, kita juga akan menemukan jawaban tentang akhir
perjalanan hidup Syekh Siti Jenar. Buku ke tujuh ini sekaligus menjawab
tentang kesimpang siuran informasi tentang kematian Syekh Siti Jenar.
Informasi yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar dibunuh oleh Dewan
Walisongo di Masjid Demak terbukti tidaklah benar. Justru Hasan Ali dan San
Ali Anshar dua tokoh yang mengaku sebagai Syekh Siti Jenar, yang
menyebarkan ajaran sesat itulah yang dibunuh.
Pada bab makna rahasia di balik nafs dijelaskan tentang tingkatan nafs
lengkap dengan penggambaran idiomatic sebagai padanan, dijelaskan tentangi
nafs alkhaiwaniyah, nafs ammarah, nafs lawammah, nafs mulhalmah, nafs
muthmainah, nafs raddhiyyah, nafs mardhiyyah, nafs kamilah dan terakhir
nafs insan kamil. Agus Sunyoto menggambarkan term-term tasawuf dengan
gamblang, sehingga pembaca bisa menikmati seperti membaca cerita fisksi.
Dengan hadirnya buku ke tujuh ini, maka menurut penerbitnya seri Siti Jenar
sudah lengkap. Dan, dengan demikian, terjawablah sudah seluruh teka-teki
dan misteri yang menyelimuti tokoh Agung Syekh Siti Jenar, mulai dari
asal-usul, perjuangan, ajaran ruhani hingga akhir dari perjalanan hidupnya.
Pada bedah buku 10 Januari 2005 di Perpustakaan Nasional di Jalan Jendral
Sudirman, dan pertengahan tahun 2007 yang kedua-duanya aku sempat hadir,
pengarangnya Agus Sunyoto menyatakan bahwa tidak akan terbit serial
berikutnya alias sudah tamat riwayatnya, jadi bagi yang sudah mengkoleksi
ke tiga trilogi itu tak perlu lagi untuk menunggu serial lanjutannya.
Salam,
http://ferrydjajaprana.multiply.com