Menuju Keluarga Bahagia

By: M. Agus Syafii

Pasangan ideal dari kata keluarga adalah bahagia, sehingga idiomnya  menjadi 
keluarga bahagia. Maknanya, tujuan dari setiap orang yang membina rumah tangga 
adalah mencari kebahagiaan hidup. Hampir seluruh budaya bangsa menempatkan 
kehidupan keluarga sebagai ukuran kebahagiaan yang sebenarnya. Meski seseorang 
gagal karirnya di luar rumah, tetapi sukses membangun keluarga yang kokoh dan 
sejahtera, maka tetaplah ia dipandang sebagai orang yang sukses dan berbahagia. 
Sebaliknya orang yang sukses di luar rumah, tetapi keluarganya berantakan, maka 
ia tidak disebut orang yang beruntung, karena betapapun sukses diraih, tetapi 
kegagalan dalam rumah tangganya akan tercermin di wajahnya, tercermin pula pada 
pola hidupnya yang tidak bahagia. Hidup berkeluarga memang merupakan fitrah 
sosial manusia. Secara psikologis, kehidupan berkeluarga, baik bagi suami, 
isteri, anak-anak, cucu-cicit atau bahkan mertua merupakan pelabuhan perasaan,  
ketenteraman, kerinduan,
 keharuan, semangat dan pengorbanan,semuanya berlabuh di lembaga yang bernama 
keluarga. Sacara alamiah, ikatan kekeluargaan memiliki nilai kesucian. Menikah  
tidak terlalu sulit, tetapi membangun keluarga bahagia bukan sesuatu yang 
mudah.  Pekerjaan membangun, pertama harus didahului dengan adanya gambar yang 
merupakan konsep dari bangunan yang diinginkan. Gambar bangunan (maket) bisa 
didiskusikan dan diubah sesuai dengan konsep fikiran yang akan dituangkan dalam 
wujud bangunan itu.  

Demikian juga membangun keluarga bahagia, terlebih dahulu orang harus memiliki 
konsep tentang keluarga bahagia. Banyak kriteria yang disusun orang untuk 
menggambarkan sebuah keluarga yang bahagia, bergantung ketinggian budaya 
masing-masing orang, misalnya paling rendah orang mengukur kebahagiaan keluarga 
dengan  tercukupinya sandang, pangan dan papan. Bagi orang yang pendidikannya 
tinggi atau tingkat sosialnya tinggi, maka konsep sandang bukan sekedar pakaian 
penutup badan, tetapi  juga simbol dari suatu makna. Demikian juga pangan bukan 
sekedar kenyang atau standar gizi, tetapi ada selera  non gizi yang menjadi 
konsepnya. Demikian seterusnya  tempat tinggal (papan) , kendaraan, perabotan 
bahkan hiasan, kesemuanya itu bagi orang tertentu mempunyai kandungan makna 
budaya. Secara sosiologis psikologis, kehadiran anak dalam keluarga juga 
dipandang sebagai parameter kebahagiaan. 

Isteri bukan sekedar perempuan teman ngobrol dan ibu dari anak-anak, suami 
bukan sekedar lelaki, teman dikala sepi, ada konsep aktualisasi diri yang 
berdimensi horizontal dan vertikal. Orang bisa melakukan 'Free Love' dengan 
siapa saja, tetapi itu tidak identik dengan kebahagiaan. Mungkin bisa memuaskan 
syahwat dan hawa nafsunya, tetapi tidak pernah melahirkan rasa ketenteraman, 
ketenangan dan kemantapan jiwa. Menuju keluarga bahagia yang Islami, biasanya 
disebut dengan Keluarga Sakinah. Sebuah keluarga yang dilandasi dengan ketaatan 
kepada Allah & menjauhi semua laranganNya sehingga keluarga seperti inilah 
menjadi keluarga yang diberkahi oleh Allah di dunia & diakhirat.

Wassalam,
M. Agus Syafii
--
Yuk, hadir di kegiatan 'Amalia Sejukkan Hati (ASAH)' jam 8 s.d 11 siang, Ahad, 
24 April 2011. Bila  berkenan berpartisipasi buku2, Majalah, buku Pelajaran, 
peralatan sekolah, baju layak pakai. Kirimkan ke Rumah Amalia.  Jl. Subagyo IV 
blok ii, no. 24 Komplek Peruri, Ciledug. Tangerang 15151. Dukungan & 
partisipasi anda sangat berarti bagi kami. Info: agussya...@yahoo.com atau SMS 
087 8777 12 431, http://agussyafii.blogspot.com/




Kirim email ke