http://www.suarapembaruan.com/News/2005/03/10/index.html
Dampak Subsidi:
Masyarakat Pemarah?
Ratna Megawangi
IBU mertua saya yang sekarang berusia 86 tahun pernah bercerita tentang
bagaimana beliau bersusah payah menyekolahkan ke-5 anaknya dengan
keringat sendiri. Beliau memang buta huruf karena tidak pernah merasakan
bangku sekolah sama sekali, kecuali hanya belajar mengaji. Namun beliau
bertekad agar anak-anaknya bisa sekolah, paling tidak sampai tingkat
SLTA.
Ketika suami saya masih di sekolah madrasah di kampung, uang sekolahnya
dibayar dengan sebagian hasil panen dan dengan menyumbang tenaga untuk
mengerjakan sawah para guru. Setelah lulus madrasah, suami saya pergi ke
kota Langsa untuk masuk ke sekolah PGA dan tinggal di sebuah pesantren.
Untuk keperluan sekolah dan makan, ibunya sengaja memelihara bebek yang
hasil telurnya dikumpulkan untuk dijual di pasar. Setiap 2 minggu sekali,
suami saya pulang ke kampung untuk mengambil uang telur bebek dan
kadang-kadang menjahitkan celana panjangnya yang kerap robek berhubung
sudah lapuk dipakai terus karena miliknya hanya dua.
Katanya, pada jaman itu orang-orang di kampung yang umumnya bernasib
sama, juga bekerja keras untuk menyekolahkan anak-anaknya. Tentunya
mereka tidak pernah membayangkan, apalagi mengharapkan adanya subsidi
pemerintah. Sekolah SD Inpres di kampung saja baru dibangun pada
pertengahan tahun 1970-an. Dulu orang-orang di kampungnya, baik pria dan
wanita, amat rajin bekerja di sawah atau di ladang. Ibu mertua saya
sekarang tidak mengerti, mengapa banyak orang di kampungnya saat ini,
terutama yang laki-laki lebih senang duduk-duduk di warung kopi daripada
bekerja di ladang. Padahal menurut ibu mertua saya, kehidupan sekarang
jauh lebih mudah, misalnya sekolah negeri lebih banyak tersedia, bahkan
untuk SD hampir gratis, ada Puskesmas yang bayarnya dibawah Rp 5.000,
transportasi lebih mudah.dan sebagainya. Herannya lagi, sebagian besar
dari mereka yang duduk-duduk di warung kopi, lebih banyak mengeluh
tentang kesulitan hidup, dan mengharapkan pemerintah untuk memberi
pekerjaan kepada mereka.
Saya jadi teringat kisah suku Arial dari Kenya Utara (Elliot Fratkin,
1991). Suku Arial adalah suku nomaden di daerah semi padang pasir yang
bekerja menggembalakan ternak. Mereka bisa bertahan hidup dan bahkan bisa
surplus makanan, karena hasil dari ternaknya berupa daging, susu, darah,
dijual untuk membeli gandum, kopi, gula, dan keperluan hidup lainnya.
Berhubung mereka memang terisolasi dan tidak diperhatikan oleh masyarakat
luar, mereka harus berjuang keras untuk dapat hidup, sehingga mereka
pernah terkenal sebagai masyarakat pekerja keras dan mandiri.
Namun bagi pemerintah Kenya dan para misionaris Kristen, kehidupan mereka
dianggap primitif, sehingga mereka perlu diberikan tempat menetap seperti
layaknya kehidupan masyarakat di jaman modern. Para nomaden tersebut
kemudian diberikan berbagai kemudahan; subsidi pangan, kesehatan, dan
pendidikan, agar mau pindah ke tempat yang disediakan. Tentu saja mereka
memilih untuk tinggal di tempat yang baru daripada harus bekerja keras di
padang pasir.
Ternyata hasilnya sudah dapat diprediksi, yaitu hilangnya etos kerja dan
kemandirian, dan akhirnya mereka menjadi masyarakat yang sangat
tergantung. Sikap etos kerja dan kemandirian yang telah dimiliki secara
turun menurun, telah hilang dalam waktu yang relatif cepat. Inilah juga
yang terjadi di tempat perkampungan orang-orang Indian (Indian
reservation) di Amerika Serikat. Karena pemerintah AS memberikan segala
macam subsidi, maka banyak dari mereka yang menjadi malas bekerja,
pecandu alkohol dan perjudian. Mereka secara rutin mendapatkan bantuan
hidup dari pemerintah.
Para ekonom menyebut fenomena ini sebagai "moral hazard problem
of the welfare program". Banyak studi menunjukkan bahwa dengan
adanya program bantuan sosial (welfare program) yang bertujuan
untuk menghilangkan kemiskinan justru membuat orang-orang miskin menjadi
sulit untuk keluar dari lembah kemiskinan. Studi yang dilakukan oleh Cato
Institute di AS membuktikan bahwa para pengangguran yang menerima subsidi
cenderung berubah karakternya menjadi pemalas, enggan mencari pekerjaan
dan hilang sikap kemandiriannya. Hal ini juga berdampak kepada
anak-anaknya dimana menurut laporan Cato Institute, "children
raised in families on welfare are seven times more likely to become
dependent upon welfare than are other children." Bukan itu saja,
kebiasaan mendapatkan subsidi juga telah menumbuhkan sikap entitlement
attitude (menuntut hak), yang tentunya sikap yang bertolak belakang
dengan sikap pengorbanan dan tanggung jawab. Sikap menuntut ini akan
menimbulkan rasa ketidakpuasan, dan menimbulkan rasa marah.
Hal ini diungkapkan juga oleh Marshall Fritz (2003): "With
welfare, however, the recipient concludes he has a "right" to
the money and often gets angry because he believes he deserves more. The
subsidy transforms him into an angry parent. And when government funding
ruins the attitude of the parent, the parent ruins the attitude of the
child".
Sewaktu kami tinggal di sebuah apartemen di AS, pernah beberapa bulan
bertetangga dengan pasangan suami isteri yang tidak bekerja dengan kedua
anaknya yang jarang terlihat pergi ke sekolah. Hampir setiap hari kami
mendengar suara teriakan dan makian, baik pertengkaran suami istri,
maupun makian kepada kedua anaknya. Tadinya kami bingung bagaimana
pengangguran bisa membayar sewa apartemen dan bisa makan karena kerjanya
hanya berantem setiap hari. Kelihatannya mereka tidak peduli dengan
pendidikan anak-anaknya. Ternyata keluarga tersebut mendapatkan subsidi
dari pemerintah.
Memang, bagi negara yang demokratis dimana rakyat mempunyai kekuatan
untuk memilih pemimpinnya, program-program populis untuk membantu rakyat
miskin pasti akan populer. Karena banyak para pemimpin yang berpikir
bagaimana bisa terpilih lagi pada pemilu berikutnya. Namun perlu diingat
bahwa program pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan di AS selama
lebih dari 30 tahun, ternyata jumlah orang yang miskin di AS masih saja
di atas 30 juta orang.
Kalau sebagian besar masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan baik
kaya maupun miskin, telah merasa berhak untuk mendapatkan subsidi BBM,
dan marah-marah ketika subsidi dihapuskan, saya khawatir bagaimana
dampaknya ketika dana kompensasi subsidi BBM dipakai untuk subsidi
sekolah, kesehatan, dan pangan yang akan mencakup jutaan orang miskin,
terutama terhadap karakter yang terbentuk nantinya. Apalagi ada berita
tentang klaim kesepakatan enam fraksi DPR yang menginginkan dana alokasi
kompensasi subsidi BBM digunakan untuk pendidikan gratis dari SD sampai
SMP. Bukan apa-apa, kalau membaca laporan tentang bobroknya
sekolah-sekolah negeri di AS, salah satu penyebab utamanya adalah karena
uang sekolah yang gratis yang menimbulkan ketidakpedulian masyarakat
tentang bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan. Menurut Fritz:
"The key to good education is good parenting, and the key to good
parenting is for parents to reassume the burden of decision-making and
financing their children's education."
Saya mengerti bahwa posisi pemerintah saat ini sangat dilematis. Tulisan
ini hanya memberikan inspirasi bahwa untuk menghapuskan kemiskinan,
bagaimana pemakaian dana subsidi ini jangan sampai mencegah tumbuhnya
sikap-sikap mendasar bagi masyarakat miskin untuk keluar dari
kemiskinan-bekerja keras, mandiri, belajar bagaimana bekerja dengan
jujur, berkepribadian kuat, bertanggungjawab terhadap masa depan
anak-anaknya, menjadi warganegara yang tertib serta patuh hukum.*
---------------------------------------------------------------------
To unsubscribe, e-mail: [EMAIL PROTECTED]
Visit FOGRI Website: http://fogri.or.id
FOGRI Archive: http://www.mail-archive.com/fogri%40iagi.or.id/
---------------------------------------------------------------------
- [fogri] Common Mapping Errors in Edge Water Rovicky Dwi Putrohari
- Prasiddha Hestu Narendra