Memang menjadi "Anak Indo" dari zaman baheula sampai zaman Ipod sekarang, istilah Warkop: "Maju Kena Mundur Kena". Tetapi jangan lupa, artis-artis/foto model top kita mayoritas dari kelompok ini. Dengan semangat "borderless world" yang mengakibatkan banyaknya warga asing yg tinggal disini, memang seharusnya peraturan kependudukan dibuat fleksibel, sehingga mendorong makin banyak warga asing yg masuk dan menetap disini, korelasinya, makin banyak devisa yang dibawa masuk kemari, sehingga terjadi "multiple effect" yang menguntungkan semua pihak, khususnya warga lokal. Siapa tahu 10 - 20 tahun lagi lahir generasi "Ronaldinho" di Indonesia?
----- Original Message ---- From: Agus Hamonangan <[EMAIL PROTECTED]> To: Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com Sent: Thursday, March 1, 2007 8:53:15 PM Subject: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Ketika Si Buah Hati Akhirnya Diakui Negara Oleh Ferry Simon Santoso http://www.kompas. co.id/kompas- cetak/0703/ 02/utama/ 3357227.htm ============ ========= ==== Jean Edouard Leopold Mutia Albert Bernier baru berumur lima tahun dua bulan. Kulitnya putih, hidungnya agak mancung, dan rambut kecoklat-coklatan. Ia hanya terdiam ketika menerima dua lembar kertas surat dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin. Jean mungkin tidak tahu apa isi dan maksud surat yang sangat menentukan masa depannya itu. Surat yang diberikan Hamid kepada Jean di Batam, Rabu (28/2), adalah surat penetapan kewarganegaraan anak itu sebagai warga negara Indonesia. Ibu kandung Jean, Dewi Chyntia, terharu melihat anaknya menerima surat itu. "Saya senang anak saya sudah dapat surat kewarganegaraan. " Dengan surat yang ditandatangani Menteri Hamid Awaludin itu, Dewi bebas total dari belenggu birokrasi pengurusan perpanjangan paspor dan izin tinggal bagi anaknya tercinta. Jean adalah anak dari perkawinan campur antara Dewi Chyntia, warga negara Indonesia, dan Bernier Pascal Louis Raymond Ghislain, warga negara Belgia. Jean lahir di Belgia tanggal 1 Desember 2001. Dengan bekal paspor dari Belgia dan visa kunjungan sosial budaya, Jean dapat tinggal di Indonesia. Akan tetapi, menurut Neneng Nurtia, kakak kandung Dewi, visa itu hanya berlaku 60 hari. Setelah itu harus diperpanjang di kantor imigrasi untuk periode tinggal satu bulan. "Jadi, setiap bulan harus mengurus perpanjangan. Uang, tenaga, dan waktu habis terbuang," kata Neneng. Setelah lima tahun, masa berlaku paspor pun habis. Untuk memperpanjang paspor melalui Kedutaan Besar Belgia di Jakarta diperlukan persetujuan atau surat dari Ghislain, ayah Jean. Persoalannya, Ghislain tidak menyetujui dan tidak memberikan surat, tanda tangan, atau apa pun namanya. Akibatnya, Jean yang masih memerlukan kasih sayang dan dekapan dari ibu kandung harus pergi dari Indonesia. "Orang imigrasi sampai datang ke rumah. Jean dianggap overstay. Orang imigrasi bilang, lagi tidur pun bisa diangkut," kata Neneng. Nasib Jean, sebagai anak dari pernikahan orangtua yang berbeda kewarganegaraan, memang malang. Jean akhirnya harus dideportasi. Bersama ibunya, Dewi, Jean harus pergi ke negara ketiga, yaitu Malaysia, di Johor. Saat berada di pengasingan, perjuangan untuk tetap tinggal di Indonesia terus dilakukan Dewi dan keluarganya yang lain. Ia mengurus hak mengasuh anak dari pengadilan negeri. Dengan bekal hak mengasuh anak itu, menurut Neneng, Jean dapat dibawa pulang ke Indonesia. Dengan hak itu pula pihak Kedubes Belgia akhirnya mengeluarkan paspor baru. Sulit membayangkan bagaimana terpukulnya Dewi akibat tidak jelasnya status kewarganegaraan darah dagingnya itu. Anak yang dilahirkan, disusui, dan dibesarkan terus diperlakukan sebagai orang asing dengan mengatasnamakan hukum. Itu terjadi karena masih diberlakukannya Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan. Dengan undang-undang itu, anak dengan ayah warga negara asing otomatis menjadi warga negara asing. Wacana perubahan UU Kewarganegaraan yang pernah bergulir ibarat memberikan angin segar bagi Dewi, termasuk ibu-ibu yang menghadapi persoalan serupa. Dengan diberlakukannya UU No 12/2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia, Dewi optimistis anaknya dapat memperoleh status kewarganegaraan yang lebih pasti. Namun, perjalanannya tidak semudah yang dibayangkan. Syarat menjadi warga negara dengan payung hukum UU No 12/2006 itu terlalu berat bagi Dewi, yakni akta lahir anak yang harus dilegalisasi dan fotokopi paspor dari suami. Persoalannya, Dewi sudah bercerai dengan Ghislain. "Sangat tak mungkin bagi saya untuk mengurus itu semua. Saya tidak mempunyai relasi yang bisa mengurus di sana," kata Dewi. Selain itu, tidak mungkin juga bagi Dewi mendapatkan fotokopi paspor mantan suaminya. "Untuk anak saya saja, dia (Ghislain) tidak mau memberikan tanda tangan untuk pengurusan paspor, apalagi fotokopi paspornya." Harapan Dewi untuk mendapatkan hak kewarganegaraan bagi anaknya semakin pudar. Namun, demi buah hatinya dia terus berjuang. Ketika sudah merasa mentok, dia pun menulis surat kepada Menteri Hamid Awaludin, mengungkapkan kesulitan yang dihadapinya. Hamid menanggapi. Ia mengeluarkan surat penetapan kewarganegaraan Indonesia untuk Jean. Di Batam, Hamid juga memberikan surat penetapan yang sama bagi Silvia Haryati Angela (4) dan Shalmi Radika Devi (8 bulan). Silvia dan Shalmi adalah anak hasil pernikahan Harlina, warga negara Indonesia, dengan Sivakumar, warga negara Singapura. Menurut Hamid, ia telah menandatangani surat penetapan kewarganegaraan untuk sekitar 300 anak. Hampir 90 persen adalah kasus kewarganegaraan anak hasil pernikahan orangtua yang berbeda kewarganegaraan. "Dengan undang-undang yang baru, anak tersebut bisa menjadi WNI," kata Hamid. Selain itu, anak-anak dengan orangtua yang berbeda kewarganegaraan juga bisa memiliki kewarganegaraan ganda terbatas. Jika sudah berumur 18 tahun, anak tersebut baru menentukan status kewarganegaraannya. Mungkin masih banyak anak-anak yang bernasib seperti Jean, Silvia, dan Shalmi. Anak-anak keturunan Tionghoa pun menghadapi kesulitan dalam mengurus surat-surat penting, seperti akta kelahiran, paspor, dan kartu tanda penduduk. Setiap kali mengurus akta kelahiran anak, orangtua selalu ditanya apakah memiliki surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Jika ayahnya tidak memiliki SBKRI, SBKRI dari kakek atau nenek pun harus disertakan. Tidak jelas sampai berapa keturunan anak- anak Tionghoa harus memegang SBKRI. Namun kini Hamid menegaskan, "SBKRI tidak diperlukan lagi." Mudah- mudahan semangat UU No 12/2006 yang memberikan kepastian hukum bagi status kewarganegaraan seseorang dan sekaligus menghapuskan diskriminasi dihayati dan diimplementasikan oleh para birokrat di lapangan. Dengan demikian, orang- orang seperti Dewi atau Harlina semakin mudah mendapatkan status kewarganegaraan bagi anak-anak mereka. Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com [Non-text portions of this message have been removed]