http://polhukam.kompasiana.com/2010/02/09/partai-itu-ibarat-perusahaan/ Joko Sembung | 9 Februari 2010 | 12:59
Kalau kita lihat perilaku politikus Indonesia, agaknya partai hanya digunakan sebagai pijakan untuk ambisi pribadi. Tak sejalan, besok sudah berganti baju memakai seragam partai lain atau mendirikan partai baru. Begitu juga dengan koalisi yang dibentuk oleh SBY tidak terlepas dari fenomena tersebut, yang duduk di Kabinet bukan lagi lagi menjadi wakil partai, itulah sebabnya mengapa orang2 yang duduk di parlemen tidak sejalan dengan orang2 yang duduk dikabinet. Memperlakukan partai sebagai perusahaan, artinya ada kepentingan untung rugi, keputusan menolak bailout Bank Century tak lebih berdasarkan perhitungan untung rugi tersebut. Apa yang diharapkan dari keputusan menolak bailout ?. Pemazgulan ?. Inilah yang tidak jelas, menolak bailout hanya mencari bargaining posisition, tidak ada implikasinya dengan hukum, keputusan tersebut hanya bersifat politis. Jika memang arahnya pada penanganan secara hukum, SBY sudah maju selangkah, KPK telah mulai lagi dengan pengusutan traveler cheque yang diterima anggota DPR RI dalam kaitannya pengangkatan Miranda Gultom. Demikian juga dengan Ketum Golkar yang berseteru dengan Sri Mulyani, sudah mulai juga diusik masalah tunggakan pajaknya. Membelotnya para politisi dari partainya sudah menjadi pemandangan umum, ini menggambarkan bahwa sesungguhnya para politisi tersebut tidak mempunyai loyalitas, loyal jika dirasakan dapat memberikan kenikmatan, selebihnya akan berpikir mencari pijakan lain jika dianggap menjanjikan. Pada akhirnya kita berpikir bahwa pembentukan partai tidak lain adalah untuk mencari sarana agar dapat menarik anggaran pemilu, sebab partai itu bukanlah untuk tempat berpijak secara permanent, kalah bersaing dalam partai dia akan mencari tempat lain yang lebih menguntungkan. Tak jauh dengan fraksi pada pansus century, loyalitas itu sama sekali tidak nampak, kesimpulan sementara itu bukan untk kepentingan rakyat tetapi lebih pada kepentingan individual para politisi tersebut. Partai hanya digunakan sebagai kendaraan untuk melegalisir abisi pribadinya. Kita lihat saja kemana muara dari keputusan akhir Pansus itu, tak lebih sebagai bargaining politik untuk memperoleh porsi yang lebih besar lagi dalam kekuasaan. Sangat aneh jika memisahkan antara kabinet dengan partai, sebab pembentukan kabinet itu berlatar belakang partai koalisi. Resufle kabinet memang hak prerogrative SBY, tapi faktanya mulai penunjukkan Wapres saja sudah diprotes partai koalisi, bagiamana kalau kabinet itu bukan diambil dari partai koalisi, pasti partai2 kolaisi makin protes saja. Ketika ada pandangan tidak ada hubungan antara hak prerogative presiden denga partai koalisi, rakyat benar2 ingin dibodohi dengan pandangan itu. Ucapan yang sangat bodoh ternyata tak segan dikeluarkan oleh para politisi kita hanya untuk pembenaran ambisinya.