Oleh Bagus Takwin

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/05/04082362/menanti.potensi.tersimpan.sby




Beberapa hari ini, kita mendengarkan keluhan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 
tentang perilaku yang ditampilkan oleh para pengunjuk rasa belakangan ini. 
Isinya seputar etiket meski kata yang digunakan adalah etis, kata sifat dari 
etika.

Etiket berurusan dengan so- pan santun, kepantasan menurut norma masyarakat 
tertentu, dan tata cara bertingkah laku yang dianggap memadai. Etika adalah 
cabang filsafat yang mengkaji persoalan baik-buruk. Penekanan keluhan Presiden 
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lebih pada perilaku demonstran yang berlebihan, 
tak sejalan dengan budaya, nilai, dan pranata sosial pada etiket.

Mementingkan etiket

Tentu etiket penting, seperti diisyaratkan sastrawan Amerika Mark Twain, 
"Etiquette requires us to admire the human race." Etiket bisa menghindarkan 
manusia dari pertikaian tak perlu karena menekankan pentingnya menjaga perasaan 
orang lain.

Namun, etiket bukan monopoli orang baik. Diana LaVey, salah satu pendiri Gereja 
Setan kelahiran Chicago, pun mementingkan etiket. Katanya, "The devil is and 
always has been a gentleman." Ada pula pendapat yang tidak mementingkan etiket 
seperti yang diungkapkan Ratu Maria (1734 –1816) dari Portugal, "Fashion exists 
for women with no taste, etiquette for people with no breeding."

SBY tampaknya termasuk yang mementingkan etiket, mementingkan penampilan dan 
citra diri yang baik. Cukup sering terdengar ia mempersoalkan hal yang terkait 
penampilan, seperti mengomentari kekotoran WC sebuah SD, menanggapi tumpukan 
sampah di Bandung, dan kini mengeluhkan perilaku demonstran yang membakar dan 
menginjak-injak foto serta membawa kerbau yang ditempeli fotonya. Di setiap 
kesempatan kita saksikan SBY tampil santun dan rapi dengan gerak-gerik teratur 
dan kata-kata tertata.

Merujuk Alfred Adler (1964), yang ditampilkan SBY ialah satu ciri tipikal anak 
tunggal: cenderung menjaga perhatian tetap tertuju kepadanya, menghindari 
konflik yang mungkin membuatnya jadi orang tak disukai. Menampilkan diri sebaik 
mungkin di depan orang lain adalah cara memperoleh perhatian itu. Jika 
berhasil, anak tunggal akan tampil sebagai orang memesona dan berprestasi. Kita 
bisa saksikan: SBY berhasil dalam hal itu. Setidaknya mayoritas orang Indonesia 
dalam dua pemilu terakhir memilihnya jadi presiden. Ia jadi anak tunggal yang 
memesona.

Persoalannya, kecenderungan berlebih menjaga penampilan dan citra diri dapat 
mengarahkan anak tunggal cenderung mengabaikan substansi karena perhatiannya 
lebih kepada style, gaya yang tampil di permukaan. Dalam sebuah survei yang 
melibatkan 2.198 responden, kesan itu diperoleh dari SBY (Takwin dkk, 2009).

Ada indikasi: SBY lebih aktif menjaga citra diri. Di sisi lain, ia cenderung 
tampak pasif menghadapi berbagai pertikaian, membiarkan orang-orang yang 
bertikai menyelesaikan masalah mereka sendiri, memilih jadi pihak netral, 
bahkan ketika ia punya wewenang dan kewajiban ikut serta di sana. Ia cenderung 
pasif menghadapi persoalan genting dan prinsipiil, sementara aktif mengurusi 
hal-hal permukaan.

Dalam pandangan Carl Gustav Jung (1875-1961), dirinci oleh Carol S Pearson 
(1991), yang ditampilkan SBY sebagai anak tunggal yang memesona merupakan 
perpaduan ciri polos (arkhetip innocent) dan yatim piatu (orphan). Orang yang 
dominan polos selalu berusaha mempertahankan citra diri yang baik, taat norma 
sosial, menjalankan peran sosial, tak menyakiti orang lain, tak banyak bicara, 
dan pasif. Setiap orang polos selalu berusaha tampil sesuai dengan 
masyarakatnya.

Yatim piatu dicirikan oleh pola perilaku menghindari situasi yang menyakiti 
diri sendiri, menghindari konflik, menjaga agar orang tidak telantar atau jadi 
korban, menekankan pentingnya prihatin, berhemat, menjaga kebersihan, menahan 
ambisi pribadi, mengikuti pendapat umum, dan menjaga harga diri.

Tujuan utama orang dengan ciri yatim piatu adalah memperoleh rasa aman, takut 
dirinya dieksploitasi dan jadi korban, sangat hati-hati menanggapi tugas dan 
kritik, serta sering merasa disakiti dan diperlakukan buruk oleh pihak lain. 
Cerita SBY tentang dirinya menjadi target teroris, juga merasa difitnah atau 
dinilai secara tak proporsional, merupakan indikasi dari pengaruh orang berciri 
yatim piatu.

Keutamaan orang berciri yatim piatu adalah senang bekerja sama, realistis, dan 
mampu galang solidaritas. Namun, di saat merasa terdesak atau tertekan, ia 
memiliki ketergantungan tinggi kepada orang atau kelompok tertentu, cenderung 
menghindari kelompok lain karena takut dimanfaatkan, dieksploitasi, atau 
dijadikan korban. Orang yang didominasi ciri yatim piatu tidak mesti yatim 
piatu dalam kenyataannya: penghayatan sebagai yatim piatu di sini bersifat 
subyektif.

Harapan kepada SBY

Karakter anak tunggal yang memesona sebenarnya bisa jadi modal untuk melangkah 
ke tingkatan psikis berikutnya: warrior (pejuang) yang ciri-cirinya kita kenal 
pada para pahlawan. Banyak pahlawan besar dalam sejarah, juga dalam mitologi 
Timur dan Barat, berangkat dari kondisi polos dan yatim piatu. Dua ciri itu 
psikologis dikenali oleh setiap orang dan dinilai positif. Kepolosan dan status 
yatim piatu menggugah simpati. Bisa jadi terpilihnya SBY sebagai presiden 
dipengaruhi oleh citranya yang polos dan dianggap korban perlakuan tak adil.

Persoalannya, mampukah SBY memanfaatkan modal psikologisnya itu mengembangkan 
diri lebih lanjut sebagai presiden?

Kesan saya: belakangan ini alih-alih menggunakan kedua modal itu, ia malah 
mempertahankan keduanya. Lebih dari lima tahun jadi presiden, usaha 
mempertahankan kepolosan dan sifat yatim piatu lebih menonjol. SBY hampir tak 
pernah tampil sebagai pahlawan yang berani secara tegas (tak mesti frontal) 
menunjukkan diri sebagai orang yang sungguh-sungguh memperjuangkan nasib rakyat.

Popularitas SBY yang turun terus merupakan akibat belum tampilnya keberanian 
itu. Awalnya, sang anak polos dan tampak lemah sendirian itu menarik sim- pati 
dan dukungan. Kebaikannya menggugah orang berharap: memilihnya menjadi semacam 
"juru selamat" yang bisa memperbaiki keadaan.

Jika kepolosan dan sifat yatim piatu yang terus ditampilkan, orang bisa bosan, 
bahkan kesal dan marah. Ada rasa sia-sia telah memilihnya, kecewa bahkan 
frustrasi menumpuk menyaksikannya tak menampilkan perilaku yang diharapkan. 
Penumpukan frustrasi bisa jadi bahan bakar bagi keinginan mengganti, 
menurunkannya. Bisa jadi orang merasa bersalah telah memilihnya, merasa 
bertanggung jawab mencari alternatif: orang baru yang lebih pantas jadi 
pahlawan. Jika tak ada juga tanda kepahlawanan darinya, kesabaran banyak orang 
tak dapat dipertahankan. Apalagi bila kebijakan yang diambilnya justru malah 
memperburuk keadaan.

Masih adakah harapan bagi SBY? Bisakah ia jadi pahlawan yang menampilkan sifat 
satria, mau berkorban demi kesejahteraan rakyat? SBY punya banyak kesempatan 
menunjukkan bahwa pilihan rakyat Indonesia tak salah. Saat jadi pahlawan itu 
masih terbuka untuknya: sekarang. Jadi pahlawan sekarang juga.

Bagus Takwin

Dosen di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

Kirim email ke