Konon pernah ada cerita, beginilah garis kasarnya dia punya cerita:

Ada seorang anak buruh tani yang tinggal di suatu desa, prototype
produk keluarga miskin dan dibawah kemiskinan sejati tapi malu untuk
mengemis. Sang ayah merupakan stereotipe buruh tani yang sakit
sakitan. Anehnya, sakitnya mendadak parah perlu perawatan intensif
dari rumah sakit disaat musim paceklik itu. Malangnya lagi Jamkesmas
sudah tidak lagi diakui sebagai jaminan untuk mendapatkan pelayanan
pengobatan gratis.

Zaman dan tempat itu belum ada handphone atau bahkan BB, mungkin kalau
malam mereka malah hanya mendapatkan fasilitas Pelayanan Lilin Nonstop
sebagai penerangan.Dasar sang anak sangat cerdas dan beriman, ia
berinisiatif mengirimkan surat pengaduan untuk tuhan melalui pos.
Dengan alamat tujuan "Untuk Tuhan". Sang anak yakin, hanya kepadaNya
lah semua masalah di sekitarnya ini selesai. Goresan karangan yang
berupa doa, intinya meminta duit sejumlah tertentu untuk berobat
kepada Tuhan.

Tinggallah Pak Pos yang ketempuhan masalah ketika mengantarkan surat
tersebut. Bagaimana ini, memangnya Tuhan alamatnya dimana? Apakah di
rumah ibadah?
Bolak balik dia kebingungan mencari dimana Tuhan berada. Pak Pos
sampai jungkir balik 360 derajat perdetik saking frustasinya.
Akhirnya ia melanggar kode etik per'pos'an atas restu teman dan
pimpinan kantornya demi membantu menyelesaikan masalah tersebut.
Ia membuka dan membacakan surat tersebut dihadapan rekan rekannya.

Nuansa kepolosan dan penuh asa memancar dari surat itu, namun keharuan
dan kegetiran yang terasa bagi pendengarnya. Muncul suatu tanggung
jawab moral, perasaan bersalah bila mengabaikan masalah anak kecil ini
karena terlanjur mengetahui isi surat tersebut. Disamping itu di
kantor pos itu suasana religius merata didada semua pegawainya
dibumbui semacam pamrih pahala dengan impian sorga kelak, semangat
yang memicu masing masing orang menyumbang sejumlah uang untuk
membantu menyelesaikan masalah si anak tadi.

Tapi sayang karena uang yang terkumpul masih kurang 10 persen dari
yang diharapkan. Dan itu sudah maksimal yang bisa mereka sisihkan dan
bantu, kalau tidak malah mereka yang merana. Padahal Pak Pos sudah
merelakan jatah rokoknya selama bulan ini. Disepakati walaupun kurang
duit yang terkumpul langsung dikirimkan saja ke anak itu atas nama
Tuhan. Toh nantinya Tuhan punya cara untuk membantu menuntaskannya,
entah darimana dan bagaimana, demikian pikir mereka.

Dengan penuh semangat dibarengi senyum manis Pak Pos pengantar surat
mengirimkan surat balasan ke sang anak. Surat yang berisi duit yang
dibutuhkan keluarga anak kecil itu, tapi masih kurang 10 %. Tidak lupa
pada amplop surat itu dituliskan alam pengirim "Dari Tuhan".

Sehari kemudian, sang anak mengirimkan lagi surat "Untuk Tuhan".
Dengan tidak sabar surat tersebut dibawa Pak Pos ke kantor untuk
dibaca bersama sama.
Tentu isinya diluar perkiraan mereka:
" Terima kasih Tuhan atas kiriman duitnya. Tapi sebagian duitnya
dikorupsi oleh Pak Pos".

Apakah ada yang bernasib sama dengan Pak Pos?
Banyakkah yang bernasib sama dengan Pak Pos?
Apakah Pak Bos bernasib sama dengan Pak Pos?

Kirim email ke