Membaca tulisan Sdri. Luki Aulia ini, seketika muncul kebanggaan dan rasa hormat yang tinggi kepada UI (termasuk perguruan tinggi besar kita di Indonesia lainnya). Sebagian (atau mungkin seluruh?) institusi perguruan tinggi kita sedang berpacu untuk menjadi ujung tombak dalam mengejar ketertinggalan IPTEK kita di dunia ini dan berusaha menguapayakan posisi yang sejajar dalam perlombaan mengejar frontier iptek. Slogan menuju World Class University adalah cita-cita mulia dalam rangka membangun martabat bangsa, yang antara lain akan diukur dengan banyaknya karya-karya tulis yang dimuat dalam jurnal-jurnal ilmiah yang terakreditasi, dan juga pada banyaknya paten-paten yang dicatatkan sebagai hasil temuan-temuan ilmiah dari perguruan tinggi kita. Pencapaian program menuju World Class University ini tentu saja akan menempatkan lembaga-lembaga pendidikan tinggi kita (termasuk insan pendukung utamanya) ke tempat terhormat yang memang diperlukan dalam kehidupan berbangsa ini.
Tetapi masalahnya, dunia keilmuan ternyata tidak hanya pada penelitian atau advance-research saja. Masih ada sisi yang juga sangat penting, yaitu dalam bidang penerapan ilmu (aplikasi) yang terutama menjadi bidang kegiatan profesi. Di sinilah letak celakanya bangsa kita ini. Dunia profesi, umumnya merupakan domain kerja kaum profesional yang semestinya diwakili oleh organisasi-organisasi profesi. Metode pendekatan kaum profesi tentu berbeda dengan insan kampus. Kaum profesi selalu mendekati masalah berdasarkan asas manfaatnya dalam mengaplikasikan Iptek menjadi suatu sistem dengan pola pendekatan yang semestinya harus holistik, dan dalam banyak bidang dituntut pertanggung-jawaban hukum (misalnya dalam risiko kegagalan). Sedangkan insan kampus, tidak perlu melihat manfaat (riset-riset dasar, misalnya), dan tidak perlu berkaitan dengan sistem (dapat melakukan penelitian atas suatu bagian/komponen sistem secara intensif). Penelitian dari insan kampus juga tidak harus dengan pendekatan holistik, dan pertanggung-jawabannnya juga tidak ke tuntutan hukum - tetapi lebih pada laporan ilmiah yang dihasilkan. Dari segi tingkatan, insan kampus (peneliti/pengajar perguruan tinggi) kedudukannya lebih terhormat dari kaum pekerja profesi, dan kaum profesi selalu berpayung kepada insan kampus. Tetapi dari sisi peranan, kaum profesi sebenarnya juga menempati kedudukan yang penting bagi bangsa. Organisasi-organisasi profesi juga merupakan institusi yang sangat penting. Dari posisinya, sebagian besar posisi profesi dan organisasi profesi benar-benar dalam keadaan terpuruk dan hancur lebur. Upaya untuk mendorong tumbuhnya keprofesian melalui pembentukan badan akreditasi sertifikasi profesi (semisal BNSP), belum mempunyai kondisi normatif yang memadai. Kondisi ini terjadi karena tingginya malpraktek profesi - terutama karena sumber pekerjaan profesi sebagian besar bersumber pada anggaran negara yang memiliki corak koruptif. Serbuan insan kampus ke lapangan kerja profesi (misalnya menjadi konsultan pemerintah), tidak membawa iklim konstruktif yang memadai. Banyak kasus-kasus yang justru menunjukkan perilaku kriminal yang dilakukan oleh insan kampus. Banyak terjadi dokumen-dokumen laporan konsultan dari perguruan tinggi yang tergolong sampah yang merupakan hasil copy-paste yang tidak mempunyai nilai pembelajaran yang memadai. Banyak juga ahli teknik dari kampus yang memanfaatkan pengadaan pemerintah untuk permainan kotor. Walaupun peranan insan kampus dalam pekerjaan profesi telah nyata, tetapi ternyata publikasi keilmuan praktis sangat sedikit dihasilkan. Publikasi-publikasi seperti hand-books, guide-book, technical manuals dan sebagainya adalah sarana untuk berkembang-majunya keahlian kaum pekerja profesi. Inilah salah satu hal yang menyebabkan terjadinya komplikasi bagi proses pengembangan profesi selanjutnya. Tradisi keilmuan praktis tidak dikembangkan, tetapi contoh praktek kerja korupsi telah diteladankan. Akibatnya, perilaku koruptif ini tertular ke organisasi-organisasi profesi yang lahir dan berkembang saat ini. Perguruan-perguruan tinggi keteknikan ternyata tidak menjadi teladan dalam membangun iklim yang baik bagi lahirnya organisasi profesi yang baik sampai saat ini. Perguruan tinggi bidang ekonomi, tidak peduli dengan aplikasi keilmuannya dan terpaku dengan ilmu yang dikembangkan di barat. Ilmu ekonomi pembangunan (salah satu cabang ilmu ekonomi aplikatif), sudah pernah dianggap mati dan konon menunggu alternatifnya. Bank Dunia selalu mengadvokasikan pendekatan 'institutional' tetapi perguruan tinggi kita tidak concern. Perguruan tinggi bidang sosial, cenderung positivist, selalu strukturalistik membanggakan pada fakta tetapi enggan masuk ke daerah rekayasa (pendekatan sistem) dan yang terjadi adalah kencenderungan untuk merusak iklim dan tatanan sosial. Kalaupun ada yang ber-rekayasa, banyak yang berkecenderungan justru destruktif. Untuk membangun bangsa ini, tidak cukup dengan perguruan tinggi yang mengejar research frontier, tetapi dibutuhkan kelompok yang melakukan aplikasi ilmu (kaum profesi). Pengajaran di perguruan tinggi juga sangat memerlukan pengayaan dalam aplikasi. Keterpurukan dunia profesi, telah menyebabkan keringnya pengajaran di perguruan tinggi karena dosen-dosennya tidak mampu memberikan visi praktis yang memadai. Keterpurukan dunia profesi juga menyebabkan kesimaharajaan penguasa, karena cara kerjanya tidak didukung oleh norma-norma profesi yang patut, dan akhirnya semua menjadi mabuk pada kekuasaan karena semua kekuaasan dapat memanipulasi segala sesuatu untuk kepentingannya. Demokratisasi adalah pepesan kosong selama dunia profesi tidak dibangun. Kesalahan siapa? Salam/W. Kasman ----- Original Message ----- From: Agus Hamonangan To: Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com Sent: Monday, February 08, 2010 11:12 AM Subject: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Asah "Berlian" Calon Peraih Nobel Oleh Luki Aulia http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/08/03002815/asah.berlian.calon.peraih.nobel Jika ingin memperbaiki kualitas dunia pendidikan tinggi, hanya ada dua hal yang bisa kita lakukan. Dua hal tersebut adalah meningkatkan kualitas kegiatan penelitian dan kegiatan pengajaran. Pemikiran awal itu dimiliki Rektor Universitas Indonesia Gumilar Rusliwa Somantri. Hasilnya, UI kini menduduki peringkat ke-201 dari 500 perguruan tinggi terkemuka di dunia (hasil Times Higher Education-QS World University Ranking/THESS tahun 2009). Kegiatan penelitian dan pengajaran yang berkualitas tidak bisa diperoleh jika tidak didukung dosen dan mahasiswa berkualitas. Apalagi jika mahasiswa kerap ditinggal dosen yang lebih sering mengajar di tempat lain. Itu yang mendasari langkah Gumilar menata dosen, tahun 2008. Salah satu contoh, dosen inti penelitian diberi renumerasi Rp 15 juta per bulan. Dia harus lebih banyak mencurahkan waktu untuk penelitian. Apakah program itu efektif? Efektif. Sekarang dosen lebih betah di kampus dan fokus pada penelitian dan pengajaran. Dengan penataan ini, dosen bisa meningkatkan kualitas mengajar dan meneliti tanpa harus memikirkan kesejahteraan. Sebelum naik, gaji dosen kira-kira Rp 2 juta. Kami ingin mengasah "berlian-berlian" dalam kegiatan penelitian dan pengajaran dengan karya yang dipublikasikan di jurnal internasional atau bahkan Nobel, menjadi pemimpin sekaligus entrepreneur. Sudah terlihat hasilnya? Melihat kondisi UI saat ini, "berlian" bidang penelitian masih butuh 10-15 tahun. "Berlian" di bidang pengajaran perlu 5-10 tahun. "Berlian" itu baru bisa diperoleh jika didukung SDM dan dukungan dana yang tidak sedikit. Untuk memacu itu, kami mendorong munculnya guru-guru besar yang kini baru 250 orang. Idealnya, 1.000 full professor atau paling tidak 500 guru besar. Bagaimana cara menemukan dan mengasah SDM "berlian"? Diawali dengan selektivitas. Kami tidak mau mencetak sarjana yang berpikir sempit yang merugikan bangsa. Kami ingin melahirkan generasi muda yang sadar ia menjadi bagian masyarakat dan punya tanggung jawab pada peradaban. Ini perlu pendekatan holistik. Kami mulai dengan peningkatan kualitas dosen, membangun infrastruktur yang baik, menumbuhkembangkan kreativitas, kebebasan berpikir, namun bertanggung jawab untuk mengemukakan pendapat dan berkontribusi pada upaya pemecahan persoalan bersama. Yang penting, bagaimana memanfaatkan apa yang kita miliki secara optimal karena kalau menunggu sampai segala sesuatunya sempurna, kapan itu bisa dilakukan. Bagaimana proses seleksi masuk UI? UI membuka 11 jalur masuk untuk pertahankan kualitas "bibit". Kami mengundang sekitar 800 lulusan terbaik SMA seluruh Indonesia ikut seleksi masuk. Kalau ikut seleksi biasa atau SIMAK UI belum tentu lulus karena kualitas pendidikan SMA dari Sabang sampai Merauke kan berbeda. Tes SIMAK itu tes standar. Yang lulus mayoritas siswa di Jabodetabek atau kota-kota besar lain karena mereka berkesempatan bimbingan tes dan dekat fasilitas lain. Padahal banyak anak daerah di pelosok yang lebih berkualitas. UI juga undang para pemenang olimpiade sains untuk masuk UI tanpa tes. Mahasiswa ideal seperti apa yang diharapkan? Mahasiswa yang seimbang antara orientasi scientific values dengan arts dan morality. Jadi secara ilmu pengetahuan baik, seni dan moralitasnya juga baik. Kami ingin menciptakan generasi baru yang mampu berpikir holistik, tidak parsial, dan seimbang dengan orientasi pada keilmuan. Selain perbaikan kualitas SDM, apa rencana UI ke depan? Kami ingin membuka pusat penelitian untuk perkeretaapian lengkap dengan tremway di dalam kampus bekerja sama dengan Kementerian Perhubungan. Kami tahun ini akan membangun gedung pusat kesenian dan kebudayaan lengkap dengan gedung konser dan museum seni. Gedung ini penting untuk menjaga keseimbangan otak kiri dan kanan supaya mahasiswa tidak hanya berkutat dengan sains dan teknologi, tetapi juga seni dan budaya. UI akan membangun pusat penelitian terintegrasi dan rumah sakit. Apakah UI menjadi mahal? Sebaliknya, justru sekolah termurah di Indonesia karena kualitas UI tidak kalah dengan perguruan tinggi di Malaysia, Filipina, Thailand. Dengan kualitas seperti itu, uang kuliahnya hanya Rp 100 ribu hingga Rp 7,5 juta berdasar kemampuan. Beasiswa hingga sekitar Rp 36 miliar untuk strata 1 reguler. Tidak ada alasan takut masuk UI karena biaya mahal. Dengan banyaknya gedung di UI, apakah tidak mengganggu konsep UI Go Green? Tentu tidak karena gedung-gedung yang dibangun termasuk "gedung hijau" yang hemat energi. Kami menyadari masalah serius seperti ancaman pandemi, kekurangan energi, kekurangan makanan, dan perubahan iklim. Untuk itu, kami mulai peduli lingkungan di dalam kampus sendiri seperti naik sepeda atau membangun "gedung hijau" seperti perpustakaan yang sedang dibangun. Di satu sisi gedung-gedung itu merepresentasikan perhatian pada perkembangan ilmu pengetahuan. Di sisi lain, kami ingin merepresentasikan perspektif yang menunjukkan keseimbangan antara tercapainya kemajuan dari peradaban dengan lahirnya keadilan, demokrasi, dan kelestarian lingkungan. Sumber anggaran UI? Tentu kami harapkan dukungan pemerintah. Harus ada perguruan tinggi di negeri ini, satu saja dulu, yang masuk peringkat dunia untuk menumbuhkan rasa bangga dan percaya diri bangsa. Kami mengundang filantropi kalangan industri. Kami ingin hasil penelitian dipatenkan dan dihubungkan dengan industri. Selama ini kami sering dibantu industri terutama untuk pemberian beasiswa. [Non-text portions of this message have been removed]