Setelah Senin dan Selasa pekan ini saya menulis Sketsa soal
transfer pricing (TP) dan pengadilan pajak, Rabu 31 Maret, pintu-pintu
di ruang pengadilan pajak sudah mulai dibuka, tidak tertutup seperti
sebelumnya. Sayang, sebagaimna biasa, wartawan, televisi, tak ada
meliput ke dalam ruang sidang. Almarhum Budiman S Hartoyo, wartawan
senior, pernah bilang, “Kini jurnalisme kita, jurnalisme ludah.” Bagi
saya bukan saja liur, tetapi jurnalisme TSM ( trend sekejap mencuat).
Gayus Tambunan diuber bak artis terkenal. Ribuan triliun penggelapan
pajak tambun di proses pengadilan pajak, sepi wartawan. Sketsa ketiga,
soal penggelapan pajak, oleh UU, boleh diselesaikan di luar pengadilan.
Hanya di Indonesia kejahatan besar menggelapkan pajak, damai di UU!







RABU 31 Maret 2010 saya tidak ke Pengadilan Pajak di Gedung
Sutikno Slamet, Departemen Keuangan, Jl Dr. Wahidin Raya No. 1, Jakarta
Pusat. Cuaca Jakarta dibalut mendung. Beberapa area hujan. Saya
menghubungi Haryono, sebut saja namanya begitu, staf bagian Transfer
Pricing (TP), Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Ia mengatakan sudah ada
lagi perubahan situasi ruang persidangan pajak: Pintu-pintu masuknya
kini terbuka di saat sidang berlangsung. Berbeda dari hari sebelumnya:
tertutup.



Pembaca Sketsa ini di kompasiana.com, Ary Bustami, mengaku datang ke
pengadilan pajak Rabu. Ia menuliskan di Sketsa II, di bagian komentar “
Di beberapa sidang tampak orang boleh nonton, hadir dan keluar masuk.”



“Salah satu sidang sampai penontonnya luber.”



“Saya longok dari luar karena tidak kebagian tempat duduk. Ada
presentasi pake proyektor. Ada konsultan pajak ke luar dari ruangan itu
dengan beberapa stafnya dengan tas-tas besar bertuliskan TRANSFER
PRICING. Jangan-jangan itu sidang KI?” tulis Ary.



Setelah saya cek ke DJP, sidang yang dimaksud Ary, memang sidang KI,
sebagaimana yang telah saya tulis pada Sketsa I, Senin lalu.



“Ada bapak-bapak berambut putih dan gondrong nanya aku terus, ini
sidang apaan sih, kok presentasinya bahasa Inggris semua?” tulis Ary.



Adakalanya memang bahasan TP karena menyangkut perdagangan internasional 
mengutip apa yang dikeluarkan oleh Organization for Economic Co-operation an 
Development (OECD Tranfer Pricing Guidelines: Contohnya guideline paragraph 
7.33:



“Depending on the method being use to establish an arms’ length
charge for intra-groups services, the issue may arise whether it is
necessary that the charge be such that it result in a profit for the
service provider. In an arms length transaction, on independent
enterprise normally would seek to charge for services in such a way as
to generate profit, rather than providing the services merely at cost”



Begitulah, hal demikian dibacakan dalam persidangan.



Sebagaimana sudah saya deskripsikan di dua Sketsa sebelumnya, di dalam
persidangan itu pengunjung akan disuguhi dengan beragam istilah dari
para konsultan keuangan pajak, perusahaan bermasalah. Semua itu
rona-ramanya bermuara ke silat-lidah mengakali dengan berbagai teori;
bahwa laku terindikasi merampok hak negara dengan jalan TP dapat
dibenarkan. Pokoknya wajib pajak seakan mulia benar!



”Emang sidang pengadilan pajak sekarang terbuka ya?”  tanya Ary.



“Sidang memang terbuka untuk umum berdasarkan pasal 50 ayat (1) UU NO
14 tahun 2002, “ tulis Sebastian Napitupulu, masih di Kompasiana
menjawab pertanyaan Ary Bustami.



Setelah saya verifikasi, memang demikianlah adanya. Maka sangatlah
aneh, mengapa DJP, khususnya Depertemen Keuangan, membuat suasana
dirinya tertutup, bangunan dan ruang pengadilan sempit. Padahal mereka
bisa saja menganggarkan menggelar persidangan di ruang terbuka, lebar.



Lebih jauh lagi, karena adanya UU 14, 2002 itu, bagi saya tidak ada
lagi ketentuan secara etika jurnalisme tidak boleh menulis lengkap nama
perusahaan yang disidangkan, karena memang harus dibuka bagi publik.
Jurnalisme bekerja bagi publik



Dari dialog yang saya kutipkan di atas, inilah keunikan blogging, media
alternatif, yang dapat saling melengkapi tambahan info, bahkan termasuk
untuk mengoreksi seketika. Ini sebuah nilai tambah.



Maka ketika seorang pembaca di blog apakabar.ws (Super Koran), menulis
untuk saya: Mengapa tulisan yang komprehensif macam saya tulis ini
tidak dikirim saja ke media mainstream agar dapat disimak lebih banyak?



Saya menjawab ringan.



Sketsa ini panjang. Acuannya kata, acap kali ditulis di atas 2.000
kata. Sementara koran mengandalkan jumlah karakter. Plus pula media
mainstream mempunyai sudut pandang tentang sebuah isu. Di era kini kuat
dugaan indikasi keberpihakan kepentingan. Bagaimana mereka dengan
enteng memuat sebuah produsen makanan bermasalah, jika iklan produsen
itu berjibun di media mereka.



Simaklah ini: Demi keterbukaan itu, tiga perusahaan yang pernah saya
tulis dan hadiri persidanganya di dua Sketsa sebelumnya dengan inisial:
KI, Otomotif Terkenal dan HtY Indonesia, ketiga secara faktual adalah:
PT Kraft Indonesia, PT Toyota Manufacturing Indonesia, dan PT Hyatt
Indonesia. Ketiganya terindikasi bermasalah dengan praktek Transfer
Pricing (TP). Dan tentu bukan tiga perusahaan ini saja yang tersangkut
kasus TP. Ada ribuan lain kini mengantri sidang.



Bisa Anda bayangkan, apa mau teve M, menayangkan pengadilan pajak PT
Kraft Indonesia, sementara mereka mendapatkan iklan Oreo dan Keju
Kraft? Dan atau apa mau teve O menayangkan indikasi pengangkangan hak
rakyat dari pajak melalui TP yang dilakukan Toyota Manufactur Indonesia
di mana pendapatan ekspor mereka di bruto dari menjual Kijang Innova
pada 2005 : -7,98% (minus) dan dari melego Avanza: -14,36% (minus),
sementara untung bruto lokal Innova hanya 2,91% dan Avanza hanya saja
2,58%. Logikanya pendapatan lokal jika di-netto-kan bisa-bisa nol.Di
sinilah tampak jelas indikasi ketidak-warasan urusan setoran perpajakan
itu.



Jika Anda semua hadir di pengadilan pajak, dan UU sudah mengatakan
terbuka untuk umum, betapa, darah Anda akan mendidih. Khusus mobil,
misalnya, sudahlah program Departemen Perindustrian seumur-umur
utamanya menjual mobil dan motor sebanyak-banyaknya, plus pula
diberikan kemudahan dan dukungan negara sebanyak-banyaknya, tetapi
balasan dari produsen semacam itu?



Lalu apa yang mereka berikan untuk negeri ini? Bisa jadi hanya hembusan
angin surga menampung puluhan ribu tenaga kerja. Dan puluhan ribu
tenaga kerja itu kini, sebagian besar sudah pula di-out-sourcing-kan.
Beda dengan di Amerika Serikat segenap SDM out-sourcing memiliki
jaminan sosial memadai. Di sini langgam out-sourcing diadopsi, tetapi
layanan sosial pah-poh.



Di tengah minimnya layanan sosial itu, dimana negara sesak nafas pula
menghimpun dana bagi pembangunan infrastruktur dan sosial lainya, sang
pengusaha yang kadung menikmati enaknya pasar tambun negeri ini, seakan
mencekik lagi hak rakyat bangsa ini hingga mata mendelik, maaf - pantat
mengeluarkan kotoran kering.



Di tengah keadaan demikian - - ingat 750 PMA pada 2005 mengaku rugi
terus - - pantaskah para PMA, pantaskah multinasional company,
perusahaan besar tambun masih mengaku ada high cost economy terjadi di
bangsa ini?



Lebih naïf ada di antara multi nasional company yang masuk ke sini,
terindikasi turut membiayai lembaga NGO asing untuik memperingkatkan:
bahwa Indonesia negara terkorup. Maka atas laku ini keluarlah lema
saya: biadab! Dan lebih biadab dari laku-laku itu pembuat UU tentang
pajak, membolehkan penggelapan pajak, selesaikan dengan di luar
pengadilan dan denda maksimum 400% dari pajak yang digelapkan.



Sesungguhnyalah surga dunia bisnis itu, bukan saja alamnya, adalah
Indonesia di muka bumi ini, karena anggota Dewan-nya pun terindikasi
tajam bisa dibeli dalam membuat UU untuk mengibuli rakyatnya sendiri!









SELASA, 3 Maret 2010. Usai dari Pengadilan Pajak, saya berusaha
menemui beberapa staf DJP. Saya ke gedung DJP menjelang pojokan Patung
Tani dari arah Gambir, Jakarta Pusat. Bangunan bersebelahan dengan
Gedung Departemen Perdagangan itu, di bagian lobbynya tampak ramai
dengan tamu yang hendak melaporkan SPT pribadi. Kursi tamu dan suasana
interior macam di bank moderen kebanyakan.



Saya menuju le kantai mezanin di lantai tiga. Saya melewati sebuah
aula, yang siang itu dibiarkan gelap. Lantai aula itu jika tak ada
kegiatan, seperti saat saya lewat tampak menghampar ambal tipis hijau,
penanda bagi lapangan bulu tangkis.



Naik tangga ke bagian samping, ada celah bagi para pedagang kecil
menjual aneka makanan. Tetapi betapa terkejutnya saya, lantai di ruang
kecil itu basah. Rupanya atapnya bocor. Beberapa hamparan plastik di
atas kepala saya duduk mengelayut menampung air hujan. Setiap saat air
menggayut itu bisa menghempas kepala. Bagi saya ini aneh lagi, di
gedung mentereng, ada niat menampung pedagang kecil makanan, namun
upaya memberikan atap memadai tak ada. Padahal yang makan di sana
umumnya juga karyawan DJP. Bentuk lain kontrasnya kehidupan.



Dalam suasana demikianlah saya bertemu dengan beberapa staf DJP. Kami
ngalor- ngidul membicarakan media teve. Bukan rahasa lagi misalnya teve
M akan bersemangat membicarakan urusan pajak kelompok usaha Bakrie,
tapi sebaliknya mereka akan menghindar membicarakan praktek transfer
pricing yang dilakukan oleh PT Asian Agri, milik kelompok usaha
Soekanto Tanoto. Kini RAPP, kelompok usaha Soekanto Tanoto lainnya,
sedang akan disidang pula urusan indikasi TP mereka mencapai Rp 4
triliun.



Lalu teve O, terindikasi akan lebih bersemangat untuk menghantam
Menteri Keuangan Sri Mulyani. Termasuk agaknya, mungkin mikir
mengundang saya lagi jika topik yang akan mereka angkat soal TP, sebab
bisa pula saya menyenggol indikasi TP kelompok usaha Bakrie yang juga
triliunan, dimana di teve O, Bakrie ikut memiliki saham.



Kepada para staf di DJP di saat hujan rinai-rinai, saya katakan, pada
penghujung 2007, Bill Kovach, penulis buku The Elemen of Jounalism,
memilki optimisme terhadap dunia Citizen Reporter di medium blog di
internet di dunia.



Satu saja kekuatiran Kovach, “Bagaimana blogger atau Citizen Reporter
dapat memiliki pendapatan indpenden. Sehingga tidak terpengaruh macam
media maisntreaam oleh kepentingan kekuasaan dan atau uang?”



Di saat itu pula saya lalu teringat akan wajah Kovach. Ia pada
penghujung 2002 pernah bertandang ke Indonesia. Ia berharap dunia
jurnalisme kian berkualitas, terutama berpihak kepada publik, kepada
verifikasi mencari kebenaran, tiada lain.



Untuk itu, biarlah kita bersama, bahkan siapa saja Anda dari pembaca
Sketsa ini, sudilah berkenan bahu membahu mengungkap aib yang membuat
anak bangsa ini kekurangan darah. Timbunan darah yang dihisap melalui
mengakali pajak di TP, mengakibatkan pembangunan berbagai kepentingan
publik buyar.*** (bersambung)



Iwan Piliang, literary citizen reporter, blog-presstalk.com


      Berselancar lebih cepat. Internet Explorer 8 yang dioptimalkan untuk 
Yahoo! otomatis membuka 2 halaman favorit Anda setiap kali Anda membuka 
browser. Dapatkan IE8 di sini! 
http://downloads.yahoo.com/id/internetexplorer

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke