Diambil dari 
http://roythaniago.wordpress.com/2010/04/02/surat-cinta-buat-pahlawan-pertelevisian/
 


SuratCinta Buat
Pahlawan Pertelevisian
Oleh: Roy Thaniago
 
Mendadak saya ingin
mengomel seusai menonton penayangan perdana sinetron “Kisah Keluarga Parikin”
di DAAI TV pada 1 April 2010. Tapi saya bingung harus mengomel ke mana. Jadi
saya sebut saja nama-nama Anda, para tokoh dan lembaga yang merupakan pahlawan
pertelevisian yang saya kagumi itu. 
 
DUHAI tersayang Komisi Penyiaran Indonesia,
Raam Punjabi, SCTV, Bunga Citra Lestari, Manoj Punjabi, Helmy Yahya, Menkominfo,
Feni Rose, Dude Herlino, Ilham Bintang, Panasonic Awards, Shireen Sungkar, Leo
Sutanto, ABG Nielsen Media Research, Olga Syahputra, Karni Ilyas, TPI, Uya
Kuya, Rosiana Silalahi, RCTI, Tukul Arwana, dan karib-karibnya semua.
 
(Waduh! Kok sudah banyak sekali ya nama yang saya sebut?
Padahal saya masih menyisakan banyak nama lain untuk saya sebut loh!).
 
Saya sebut nama Anda sekalian bukan untuk protes soal
televisi, seperti apa yang dilakukan orang-orang mengenai tayangan televisi.
Sebaliknya, justru saya ingin bekerjasama dengan Anda untuk membikin suatu
ajang penghargaan bagi insan pertelevisian. Namun kalau takut repot, kita
sisipi saja ide saya ini ke ajang yang sudah mapan dan melahirkan banyak insan
televisi yang berkualitas, yakni Panasonic Awards.
 
Saya berharap di Panasonic Awards 2011, untuk ditambah kategori
penghargaan baru, yakni Produser Terkurangajar, Sutradara Terkurangajar, dan
Program Terkurangajar.
 
Sebentar-sebentar, biar saya jelaskan dulu. Saya tahu Anda
semua kaget dengan ide gila ini. Tapi saya yakin ide ini perlu diadakan, atau
setidaknya direspon dululah, kecuali kalau Anda ingin melihat tayangan televisi
yang selama ini sudah Anda standarkan tersebut tidak laku lagi. Apa pasal?
 
Begini. Seperti yang sudah saya tulis di awal surat ini, bahwa tayangan 
sinetron “Kisah Keluarga
Parikin”-lah yang memaksa saya mengomel, hingga akhirnya mengirimi Anda surat. 
Surat cinta.
 
Sinetron ini benar-benar kurang ajar! Garin Nugroho, sang
produser, dan Sugeng Wahyudi, sutradaranya, juga kurang ajar. Saya keki
dibuatnya.
 
Susah-susah begini, saya sengaja menyediakan waktu di depan
televisi untuk menonton sinetron ini. Tapi hanya kecewa yang saya dapat karena 
ia
amat berbeda dari sinetron-sinetron yang biasanya.
 
Misalnya saja, sinetron ini tayang 1 jam penuh tanpa iklan!
Anda bisa bayangkan, betapa membosankannya! Betapa rindu saya terhadap iklan
deterjen atau layanan telepon seluler begitu menggebu. Sungguh! Bukankah kita
sudah terbiasa menikmati sinetron dengan selingan iklan yang menggoda hasrat
membeli dan terbeli? Bukankah kita sudah sepakat sama-sama menjilati bokong
pengiklan? Sedang si Parikin itu, berani-beraninya bertayang tanpa iklan.
Jengkel saya!
 
Kita juga sudah sama-sama sepakat bahwa tema sinetron
haruslah seputar keluarga kaya yang berebutan harta atau pasangan, tentu dengan
seting di Jakarta.
Kan kota
modern dan metropolis, kata Anda sekalian. Eh, Sugeng Wahyudi, si sutradara,
malah temanya soal perjuangan hidup seorang guru SLB. Sudah begitu, setingnya
di Jawa Barat (Kuningan dan Cirebon).
Pakai bahasa Sunda segala pula. Itu kan
kampungan ya? Malah Mas Tukul bilang, “Ndeso!”.
 
Yang paling bikin saya sebal adalah aktingnya. Si Parikin,
pemeran utama, dimainkan oleh Agus Kuncoro. Sedang lawan mainnya, Juju,
diperankan Sita Nursanti. Tahukah Anda, mereka sama sekali tidak menampilkan
standar akting yang sudah Anda bangun dengan susah payah bertahun-tahun: mata
melotot membelakak kalau kaget, memaki kasar kalau marah, dan berdandan menor
menjelang tidur, bahkan waktu sakit sekali pun. Sebaliknya, yang bikin saya
sebal, mereka bermain sangat natural dan sangat kontemplatif dengan peran
masing-masing.
 
Ini sudah kurang ajar sekali. Sangat kurang ajar! Masak
sinetron kampungan yang masih hijau saja sudah berani mengubah-ubah standar
yang ada!? Apalagi pemainnya. Wong mereka saja belum pernah dapat tawaran main
iklan shampo atau menang di Panasonic Awards. Sungguh tega sekali mereka.
Kurang ajar!
 
Soal musik apalagi. Sinetron ini tidak dibalur musik yang
biasanya ada di sinetron-sinetron andalan kita yang sudah membelai manja jutaan
penonton: suara simbal, suara triangle, sesi gesek rasa kibor yang gaduh dan
mencekam, dan repetisi tema lagu dalam berbagai gaya, biasanya lagu anak band 
yang lagi
ngetop. Belum lagi teknik-teknik penyutradaraan lain yang membuat saya makin
jengkel terhadap si Parikin. Entah apa maunya.
 
Begini loh, saya cuma prihatin dan peduli dengan Anda. Anda kan sudah susah 
payah
membangun citra sinetron, apalagi sambil menunaikan tugas mulia mencerdaskan
masyarakat, tentunya tidak adil kalau tiba-tiba ada pendatang baru yang bermain
seenak udelnya. Apalagi pakai cara mengubah-ubah standar segala. Anda bisa
repot. Saya juga. Nanti malah berimbas kena kasus hukum karena dianggap
mengganggu ketertiban umum, seperti buku dan musik yang dilarang.
 
Ya toh? Masyarakat, sama seperti saya, akan sama-sama panik.
Satu kota
panik, satu negara panik (tapi tenang, tidak akan menyebar ke negara tetangga
seperti asap kebakaran hutan, karena kita tidak mengekspor sinetron). Masyarakat
akan terombang-ambing. Mereka akan kebingungan akan definisi sinetron yang
sebenarnya. Waktu kerja mereka akan habis dipakai untuk menjawab pertanyaan
anak-anak mereka, “Bapak, Ibu, yang sinetron yang mana sih?”.
 
Kalau sudah begitu, saya takut kita akan sibuk membicarakan
sinetron. Kolom opini di koran dibanjiri diskusi sinetron oleh para pakar.
Universitas dan sekolah sibuk menggelar seminar dan lokakarya demi menemukan
arti sinetron. Seluruh departemen pemerintahan diberikan kewajiban baru agar
setiap pagi sebelum memulai bekerja untuk mendiskusikan definisi sinetron
terlebih dahulu. Kalau ini terjadi, semua akan repot dan lupa bekerja.
Bisa-bisa, Gayus Tambunan yang baru tertangkap akan kabur lagi (atau tertarik
gabung di tim penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam menjelaskan lema
“sinetron”?).
 
Jadi sebelum itu semua terjadi, dan demi menghentikan laju
sinetron-sinetron macam “Kisah Keluarga Parikin”, saya usulkan, segera saja 
mulai
setiap rumah produksi dan lembaga pertelevisian mendiskusikan ide saya untuk
menambahkan kategori baru di Panasonic Awards 2011. Tentunya dengan 
“pemenangnya”
yang sudah kita atur bersama: Garin Nugroho sebagai Produser Terkurangajar,
Sugeng Wahyudi sebagai Sutradara Terkurangajar, dan Kisah Keluarga Parikin
sebagai Program Terkurangajar.
 
Segera tahun depan kita bekerja! Tapi kalau bisa digelar
tahun ini, kenapa tidak?
 
Salam hangat saya,
Pendukung sejati Anda
 
 

-- 
Roy Thaniago
http://roythaniago.wordpress.com



      
___________________________________________________________________________
Dapatkan alamat Email baru Anda!
Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan sebelum diambil orang lain!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/id/

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke