Stop Pengacauan Umum, Bubarkan Satpol PP!


.fullpost{display:none;}
Oleh Andri Cahyadi*

Menurut
sejarahwan Geoffrey Robinson, Indonesia pada era tahun 50an hidup dalam
sebuah masa yang gemilang, masa dimana kekuatan masyarakat sipil begitu
berdaya. Pergerakan politik dan massa rakyat kala itu begitu maju. Hal
itu tercermin dalam partisipasi politik yang kuat menentang kekuasaan
otoriter dan melawan berbagai bentuk rongrongan imperialis asing
melalui sekutu-sekutu lokalnya. Pergerakan sipil cukup diperhitungkan
banyak pihak saat itu.

Memasuki era tahun
2000an, pergerakan masyarakat sipil kembali menemukan ruh
perjuangannya. Hal itu terjadi setelah tiga puluh dua tahun dibonsai
oleh penguasa Orde Baru melalui berbagai bentuk kekerasan negara,
termasuk pembunuhan misterius. Intensitas kekerasan itu tidak menurun,
justru meningkat dengan tampilan yang berbeda.

Bagi rakyat
miskin kota, intensitas represi negara meningkat pada dekade terakhir
ini. Sejak Peraturan Daerah DKI No.8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum
(Perda Tibum) diterbitkan, kasus kekerasan Satuan Polisi Pamong Praja
(Satpol PP) meningkat tajam. Korban tewas terus bertambah. Sementara
itu, Pemda DKI Jakarta kerap melindungi oknum Satpol PP meski terbukti
melanggar hukum.

Satpol PP merupakan warisan pemerintah kolonial
Belanda yang berwatak otoriter-militeristik dan fasis. Dewasa ini,
keberadaan mereka telah menyedot anggaran belanja negara begitu besar.
Peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar hukum keberadaan
Satpol PP pun cacat moral. Sehingga, melahirkan kasus-kasus kekerasan
dan berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu,
Satpol PP harus segera dibubarkan!

Pandangan tentang fungsi dan
peran Satpol PP dalam menegakkan Peraturan Daerah (Perda) untuk
membantu kepolisian mungkin saja dapat dibenarkan. Tetapi, logika
Ketertiban Umum dan Penegakan Perda yang berulangkali dipakai sejak
pemerintahan Orde Baru hingga Orde Reformasi terkesan hanya dalih dari
tindakan kekerasan yang dilakukan selama ini. Pemda sesungguhnya
menyembunyikan ketidakmampuannya dalam tata kelola pemerintahan yang
baik dengan melegitimasi kekuasaannya secara represif dan manipulatif.

Ada
sesat logika yang sengaja dibangun selama ini untuk membenarkan
keberadaan Satpol PP. Para wakil rakyat (anggota DPRD) dan Gubernur
sejak awal menyimpulkan dengan mutlak soal rakyat miskin yang tidak
tertib dan selalu menimbulkan masalah. Oleh karena itu, dibuatlah Perda
Tibum. Perda itu diasumsikan akan selalu dilanggar oleh rakyat miskin.
Kondisi itu memunculkan anggapan bahwa rakyat miskin selalu membangkang
karena wataknya yang selalu tidak tertib. Lantaran logika sesat itu,
Pemda menempuh pendekatan yang represif, otoriter, dan militeristik.
Pendekatan yang tidak bedanya saat masa kolonial Belanda dengan dalih
menegakkan ketertiban bagi kaum pribumi.

Maraknya razia-razia
yang digelar, dipaksakan menjadi sebuah kebenaran umum atas dasar
legitimasi di atas. Misalkan, penangkapan paksa warga, penyitaan harta
benda, dan penggusuran paksa kampung-kampung miskin kota telah
melahirkan suasana “Kekacauan Umum”. Menurut catatan Jakarta Centre for
Street Children (JCSC), sejak tahun 2007 - 2010 enam orang meninggal
karena brutalitas Satpol PP. Mereka yang meninggal dunia meliputi Irfan
Maulana (14), Joki 3 in 1, meninggal pada Januari 2007. Ia dikeroyok
dan dianiyaya oleh sembilan anggota Satpol PP; Pekerja Waria, Eli
Suzanna yang tewas di Banjir Kanal Timur (2007) karena menghindari
kejaran Satpol PP; Balita Siti Khoiyaroh (4,5) akhirnya tewas setelah
tersiram kuah panas gerobak bakso orang tuanya saat razia (2008);
Pengamen Muhammad Faisal (17) dan Rini (12) tewas tertabrak truk karena
menghindari razia di Jalan Ahmad Yani, Bypass (2010); Pengamen Ari
Susanto (17) tewas di Banjir Kanal Timur (10/03/2010) terpeleset ke
sungai karena menghindari kejaran Satpol PP.

Situasi ketakukan,
rasa teror, hingga berbagai kekerasan struktural lainnya terhadap warga
sipil sengaja diciptakan bagi rakyat miskin. Semua itu menunjukkan
bukti nyata brutalitas oknum-oknum Satpol PP dan Pemda.

Ditinjau
dari sisi anggaran negara, alokasi dana untuk operasional penertiban
dan kebutuhan Satpol PP sangat tidak wajar dan tidak proposional jika
disandingkan dengan alokasi kebutuhan rakyat lainnya. Dana pembinaan
dan operasional Satpol PP (PP No.6 Tahun 2010) menyedot begitu banyak
uang rakyat. Pembiayaan itu telah menggembosi anggaran APBD yang
dibayar oleh pembayar pajak tanpa hasil yang membanggakan dan dapat
dipertangungjawabkan secara politik dan etika. Tengoklah, dana
pembinaan Satpol PP dari APBD Pemerintah DKI 2007 (Fitra, 2007)
mencapai Rp303,2 miliar. Dana itu dipakai dalam bentuk upah anggota dan
sebagian besar membelanjakan dananya untuk peralatan dan perlengkapan
militer. Anggaran Satpol PP Pemda DKI 2007 itu melebihi anggaran untuk
Dinas Pendidikan Dasar (Rp188 milyar) dan Puskesmas (kesehatan) yang
hanya Rp200 miliar.

Jika Pemda memang serius ingin menciptakan
kesejahteraan dan keadilan sosial bagi warganya, dana pembinaan Satpol
PP itu harus segera dialihkan untuk program-program pemberdayaan
ekonomi, seperti program microcredit (kredit kecil) untuk rakyat
miskin. Kesuksesan program itu dengan sendirinya akan mewujudkan
perubahan sosial-ekonomi yang signifikan. Paling tidak, kegiatan
ekonomi di jalan raya yang selalu dan sejak dulu dianggap mengganggu
“ketertiban umum” akan berkurang karena intervensi program pemberdayaan
ekonomi rakyat miskin itu.

Pendekatan represi untuk menegakkan
penertiban oleh milisi sipil Satpol PP yang dipersenjatai merupakan
pendekatan yang salah dan harus dilawan. Di negara-negara maju,
Pemerintah Kota selalu memilih menegakkan undang-undang dengan cara
yang simpatik, menciptakan suasana damai, dan memohon dukungan guna
menggalang partisipasi masyarakat untuk ikut membantu menyukseskan
berbagai macam program dan peraturan. Pemerintah di sana berusaha penuh
membangun upaya bekerja bersama.

Berbeda dengan di Indonesia,
Perda Larangan Merokok di Tempat Umum yang belum lama ini terbit,
misalnya, tentu tidak memerlukan seorang komandan Satpol PP yang
memegang senjata api untuk menegakkannya. Penyediaan senjata api untuk
komandan Satpol PP sangat bertentangan dengan prinsip umum hak asasi
manusia. Kebijakan itu mengancam dan membahayakan keselamatan
masyarakat sipil yang telah dikondisikan sejak lama sebagai tertuduh
dan target utama “pelanggar Perda”. Penyediaan senjata api untuk
komandan Satpol PP tertuang di dalam PP No.6 Tahun 2010 Pasal 24 yang
disahkan oleh Susilo Bambang Yudoyono (Partai Demokrat beserta
partai-partai koalisinya).

Sementara itu, Satpol PP seringkali
melanggar Peraturan Pemerintah yang menjadi pedomannya sendiri. Di
dalam Pasal 7 (a) PP No.32 Tahun 2004 Tentang Pedoman Satpol PP, Satpol
PP diwajibkan menjunjung norma sosial, agama, hak asasi manusia yang
juga termaktub di dalam PP No.6 Tahun 2010 Pasal 8. Selain itu, pada
Pasal 6 (a) PP No.6 Tahun 2010, menyebutkan Wewenang, Hak, dan Tanggung
Jawab Satpol PP. Di pasal itu berbunyi, Satpol PP berwenang melakukan
tindakan penertiban NON YUSTISIAL terhadap warga masyarakat, aparatur,
atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas perda dan/peraturan
kepala daerah. Pada kenyataannya, ayat itu menjadi hiasan belaka pada
dinding-dinding kantor Pemda. Realitas di lapangan, mulai dari komandan
hingga anggota biasa Satpol PP telah menyalahi aturan itu. Satpol PP
lebih sering menangkap, menahan, merampas dan menyita harta benda orang
lain, dan memenjarakan banyak warga miskin ke dalam panti-panti sosial
(layaknya penjara) secara paksa.

Melihat kondisi seperti itu,
Satpol PP bukan hanya melampaui kewenangannya yang telah diatur di
dalam undang-undang, juga telah bertindak melampaui fungsi Kepolisian
Republik Indonesia. Penyalahgunaan wewenang secara terang-teranganan
telah menerobos dan menghancurkan sistem hukum dan keadilan.
Sesungguhnya, tindakan Satpol PP telah menyesatkan publik dan merusak
ketertiban umum yang sejati. Tidak pelak, tindakan Satpol PP berakhir
pada kondisi “kekacauan umum!”.

Atas dasar terciptanya
“kekacauan umum” karena keberadaan Satpol PP di atas, sangat beralasan
agar Satpol PP dibubarkan demi hukum, keadilan, dan hak asasi manusia.

* Penulis adalah penggagas Aliansi Rakyat Miskin (ARM) dan penggiat Media 
Rakyat, Bingkai Merah.

Selengkapnya


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to