Oleh SAMUEL MULIA

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/21/03325031/i.will.survive



Saya sedang asyik menyaksikan film Valentine's Day di bioskop, tiba-tiba teman 
yang duduk tepat di sisi kanan menyodorkan BlackBerry-nya dan memerintah saya 
untuk segera membaca sebuah berita dukacita, perancang mode terkenal Alexander 
McQueen meninggal dunia gara-gara bunuh diri.

Tentu saya kaget. Acara menonton film romantis jadi sedikit terganggu. Ya 
begitulah dunia. Baru asyik sedikit, sudah ada kesusahan. Kesusahan sedikit, 
terus tiba-tiba ada kesenangan. Peristiwa yang disebut belakangan telah saya 
alami sendiri. Waktu ayah meninggal saya sedih, tetapi setelah itu senang dapat 
warisannya.

"Cause of death"

Tiba di rumah seusai nonton, saya mencari berita lengkap tentang kematian sang 
perancang mode itu. Yang saya dapatkan hanya berita singkat dengan beberapa 
foto jasadnya dibawa ke luar rumah oleh polisi, tertutup kain merah marun. Baru 
keesokan harinya saya tahu, kalau ia gantung diri dengan membaca koran lokal 
berbahasa Inggris.

Wuhhh…, saya membayangkan seperti apa momen-momen terakhir untuk melakukan 
tindakan macam itu. Sendiri, kalap, dan tak bisa berpikir panjang lagi. Dan 
seperti di setiap kali sebuah peristiwa terjadi, selalu saja ada pertanyaan 
yang menggelayut di kepala. Mengapa ia sampai melakukan tindakan macam itu? 
Bukankah sebagai perancang dan sebagai pebisnis ia termasuk sukses meski tak 
sekaya pesaingnya? Bukankah ia hidup dalam gelimangan uang dan lampu kilat?

Kemudian saya menoleh pada dunia mode yang arogan dan sering hanya di permukaan 
saja. Dunia yang mendorong orang berpikir bahwa punya badan size zero itu yang 
paling benar, mendorong orang untuk jadi korban lampu kilat, membuat manusianya 
lupa daratan dan lupa segalanya.

Belum lagi yang bermain seperti dewa. Maunya memilih jenis permainan yang 
menentukan nasib, tetapi tak mau bermain dalam kerendahan hati. Laporan-laporan 
mode yang menikam yang kadang tidak berimbang, bahkan tak punya alasan yang 
kuat di belakangnya. Mengelompokkan desainer sak enak udelnya sendiri. Yang ini 
out, yang itu in. Jadi selain bermain seperti dewa, manusia mode juga bermain 
seperti setan. Maka, tak salah ada buku kondang bahkan sampai dilayarlebarkan 
berjudul The Devil Wears Prada. Saya sampai berpikir, apakah COD atau penyebab 
kematian sang perancang adalah dunia mode itu sendiri, dan para devil-nya yang 
tak hanya memakai Prada, tetapi brand lainnya?

Doa, cinta, dan "cash flow"

Kemudian nurani saya bersuara begini. "Yaaa... enggak bisa disalahin lah yao… 
mungkin ia juga tak memiliki kekuatan yang cukup untuk menjalani hidup ini." 
Saya sampai berhenti tak bisa bicara. Yaaa… mungkin saja ia tak kuat. 
Serangannya terlalu besar dari berbagai arah.

Kemudian saya merefleksikan kejadian itu pada usaha yang sedang saya jalani 
sekarang ini, dan teringat akan judul lagu Gloria Gaynor yang kondang itu, "I 
Will Survive". Saya malah balik bertanya kepada diri sendiri, "Will I survive?"

Menurut nyanyian itu, sejauh kita memiliki cinta kita bisa bertahan. Benarkah 
demikian? Bagaimana kalau cash flow-nya berdarah di tengah jalan atau sampai 
pada tenggat waktu tidak BEP, tetapi cintanya masih menyala? Apakah cinta bisa 
membuatnya tak berdarah?

Pada suatu siang saya bertemu dengan seorang wanita yang bekerja di sebuah 
perusahaan telekomunikasi. Ia bercerita kalau temannya memiliki usaha yang 
nyaris bangkrut. Tetapi yang membuatnya bertahan karena ia memikirkan nasib 
karyawannya. Tak tanggung-tanggung, ia menjual tanahnya hanya untuk menghidupi 
karyawannya itu. Usahanya kini berhasil, ia tak jadi gulung tikar. Teman wanita 
saya mengakhiri dengan berbicara begini. "Mas, dia itu doanya juga kuat banget."

Saya tertarik dengan kekuatan cinta, komitmen, dan doanya. Ia mengorbankan 
sesuatu seperti orang tua, yang kalau melihat anaknya sengsara, yaa… bakal 
mati-matian untuk bisa menyelamatkan si anak. Pertanyaan kemudian, haruskah 
memadukan doa, cinta, dan cash flow?

Apakah memang hidup di dunia usaha itu tak perlu doa? Apakah dunia bisnis atau 
yang berbau duit harus dihadapi dengan urusan duit. Apakah benar pada akhirnya 
istilah B to B itu? Bukan malah B to D (Bisnis to Doa).

Beberapa minggu lalu saya menjadi pembicara di sebuah pertemuan institusi 
keuangan. Pertanyaan yang diajukan para undangan nyaris bernada kekhawatiran. 
Maka tibalah waktunya saya berbicara. Singkatnya, saya katakan bereskan urusan 
dengan Yang Di Atas sebelum berurusan dengan yang di bawah.

Dengan demikian, tak perlu khawatir kalau yang horizontal berguncang. Saya tak 
mau menggantungkan nasib pada yang tak pasti, hanya mau dengan yang pasti saja. 
Meski yang pasti tak kelihatan secara fisik, tetapi sangat nyata hasilnya. 
Ketimbang yang nyata secara fisik, hasilnya hanya membuat keder.

Mungkin, I will survive itu tak bisa diwujudkan hanya dengan kekuatan manusia 
saja, tetapi melibatkan yang menciptakan manusia itu. Bukankah ada ucapan kalau 
Ia Yang Mahakuasa, bukan? Kuasa untuk memberi dan untuk mengambilnya kembali.

SAMUEL MULIA Penulis Mode dan Gaya Hidup

Kirim email ke