*Empat Tahun Bersama Racun Lapindo*
Selasa, 1 Juni 2010 | 03:01 WIB

Oleh Bambang Catur Nusantara

Awal Januari 2010 gelembung-gelembung gas mulai menyeruak dari halaman rumah
Irsyad. Mantan petani dari Besuki Timur ini terkaget-kaget.

Ia sangat cemas karena gas ini menyala saat tersulut api. Meski hanya
berlangsung beberapa hari, kejadian ini bisa menunjukkan betapa ia dan warga
Besuki Timur, Ketapang, Mindi, Jatirejo Barat, Siring Barat, Gedang, dan
desa-desa di sekitar pusat semburan hidup sangat tidak aman. Selama empat
tahun, tak kurang dari 180 semburan dan gelembung gas dijumpai. Kondisinya
dibiarkan, beberapa ditangani, selebihnya hanya ditandai papan bertulis
berbahaya.

Emisi gas hidrokarbon pada semburan dan gelembung yang ditemukan di Siring
Barat, Jatirejo Barat, dan Mindi mencapai 441.200 ppm, delapan puluh kali
lipat lebih di atas ambang baku yang hanya 5.000 ppm (Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 129 Tahun 2003). Adapun batas ambien pada
udara 0,24 ppm dilampaui dengan adanya temuan hingga 55.000 ppm, yang
berarti 229.100 kali lipat dari ambang baku. Temuan tim pelaksana pemantauan
permukiman bentukan Gubernur Jawa Timur tahun 2008 ini ditindaklanjuti
dengan surat rekomendasi kepada Presiden.

Apa lacur, Presiden mengeluarkan Perpres No 48/2008 yang justru menunjuk
daerah lain sebagai prioritas terdampak. Baru tahun 2009 dikeluarkan Perpres
No 40/2009 yang mengatur evakuasi melalui bantuan sosial bagi warga di
wilayah Siring Barat, Jatirejo Barat, dan Mindi (tiga RT).

Dengan pembiaran kondisi sejak lumpur menyembur pada 29 Mei 2006, tidak
mengherankan jika ditemukan peningkatan jumlah penderita ISPA di Porong.
Berdasar data puskesmas setempat, penderita ISPA tahun 2007 tercatat 46.652
warga, meningkat dua kali lipat dari tahun 2006 yang hanya sekitar 23.000.
Buruknya kualitas air juga menunjukkan dampak peningkatan pasien perempuan
dengan gangguan kesehatan reproduksi. Tren ini tahun 2008 tercatat pada pos
layanan kesehatan Puskesmas Jabon yang pernah ada di wilayah pengungsian eks
Tol Besuki.

*Bahaya logam berat*

Temuan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jatim melalui riset kandungan logam
berat dan polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH) juga menunjukkan
dilampauinya ambang batas kelayakan. Logam berat jenis kadmium (Cd) dan
timbal (Pb) ditemukan melebihi baku mutu pada seluruh 20 titik sampel pada
2007/2008 dengan jumlah rata-rata mencapai 0,3063 miligram per liter (mg/l),
atau 100 kali lipat lebih di atas ambang baku mutu yang ditetapkan Keputusan
Menteri Kesehatan No 907/2002 yang hanya 0,003 mg/l. Adapun kandungan
kromium (Cr) dan tembaga (Cu) masih di bawah ambang baku.

PAH jenis crysene juga ditemukan melebihi baku hampir di seluruh titik
sampel di area lumpur dan kawasan sekitarnya, sedangkan Ben(z)anthracene
ditemukan di tiga titik sampel. PAH merupakan senyawa organik yang berbahaya
dan bersifat karsinogenik. Tidak menyebabkan terbentuknya tumor ataupun
kanker secara langsung, tetapi dalam sistem metabolisme tubuh akan diubah
menjadi senyawa alkylating dihydrodiol epoxides yang sangat reaktif dan
sangat berpotensi menyebabkan timbulnya tumor dan risiko kanker (UNEP,
2001). Dampaknya juga tidak bisa dilihat seketika. Butuh waktu 5 hingga 10
tahun untuk menemukan potensi kanker paru-paru; kanker kulit; dan kanker
kandung kemih bagi manusia yang pernah terpapar dalam waktu lebih dari
delapan jam.

Kematian Ibu Jumi, Tiyami, Luluk, Sutrisno, Yakub, dan beberapa warga
lainnya pada kurun 2008-2009 dengan sebab yang tidak terdiagnosa jelas
seharusnya menjadi catatan penting bagi aparatus pemerintah untuk melakukan
tindakan khusus dan memonitor secara intensif. Ibu Jumi membesar perutnya
setelah setahun semburan lumpur, setahun berikutnya ia meninggal.

Asal lumpur dari kedalaman lebih dari 9.000 kaki juga patut dicurigai
membawa segala macam kandungan mineral dan berbagai zat berbahaya lainnya.
Ditemukannya logam berat, berbagai jenis hidrokarbon, dan PAH tak menutup
kemungkinan masih dapat dijumpai jenis senyawa radioaktif yang memiliki
dampak lebih signifikan.

Pengolahan lumpur sebelum digelontor ke laut melalui Sungai Porong juga
harus dilakukan. Jika tidak, keseluruhan wilayah Selat Madura akan tercemar
(Walhi, 2006). Apalagi tambak-tambak yang menggantungkan pasokan air tawar
dari sungai porong dan air laut Selat Madura. Produksi udang organik
terbesar dari wilayah timur Sidoarjo, dengan nilai ekspor sekitar Rp 800
miliar per tahun, juga tak mungkin dapat dipertahankan jumlah dan
kualitasnya.

Hasil panen bandeng yang telah merosot pada tambak-tambak di Permisan dan
sekitarnya merupakan indikator kuat tidak normalnya kualitas air. Bisa
dibayangkan, jika kandungan logam berat dan zat-zat berbahaya lainnya
terakumulasi secara terus-menerus pada biota yang dikonsumsi, maka dampak
lumpur Lapindo akan kian meluas.

Kerusakan ruang hidup dan hilangnya aset warga yang penyelesaiannya hanya
dinilai sebatas material tanah dan bangunan adalah penghinaan logika. Sawah
milik Irsyad sebagai lahan produksi yang tidak bisa diolah sejak tahun
pertama semburan hanyalah satu dari sekian puluh ribu lahan warga yang
terdampak lumpur. Sekitar 80-an hektar sawah yang pernah terendam lumpur di
desa Besuki tidak menyisakan syarat tumbuh bagi padi. Irsyad dan petani lain
pernah sekali mencoba. Meski padi tumbuh hidup, tidak ada bulir padi yang
dihasilkan. Pemerintah dan perusahaan setali tiga uang melihat dampak lumpur
hanya terkait dengan kerusakan fisik yang ada. Irsyad dan ribuan warga lain
yang wilayahnya tidak masuk dalam peta terdampak 22 Maret 2007 tidak pernah
dilihat sebagai korban.

*Tindakan mendesak*

Racun dan kandungan berbahaya tentu tidak bisa diselesaikan dengan papan
pengumuman tanda bahaya. Kehancuran ekologis kawasan muara Sungai Porong,
pesisir timur Sidoarjo, dan Selat Madura juga tidak bisa disulap dengan
melakukan pembangunan fisik sepanjang tepian sungai. Apalagi menutupi bahaya
dan risiko lumpur Lapindo dengan program turisme yang dicanangkan atau sulap
dengan melakukan pembangunan fisik sepanjang tepian sungai.

Pengalokasian uang rakyat hingga Rp 7,210 triliun sampai tahun 2014 dalam
Rencana Tindak Pembangunan Jangka Menengah untuk penanganan lumpur Lapindo
tidak akan pernah cukup ketika berhitung dampak-dampak yang kompleks dan
meluas. Penanggulangan dan pemulihan yang dilakukan senyatanya hanya untuk
pencitraan.

Tindakan untuk mencari tahu zat-zat berbahaya, pemulihan kualitas
lingkungan, pemeriksaan medis, dan pemulihan ekonomi sosial warga seharusnya
dilakukan tanpa menunggu kondisi lebih buruk. Evakuasi warga dan pembatasan
kunjungan pada wilayah berbahaya di sekitar semburan lumpur dan gas mutlak
dilakukan.

Bambang Catur Nusantara Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(Walhi) Jawa Timur

Sumber:
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/01/03013419/empat.tahun.bersama.racun.lapindo

----------------------------
Keanekaragaman budaya Indonesia dari satu sisi adalah kekayaan, tetapi dari
sisi lain adalah kerawanan. Sebagai kekayaan, keanekaragaman budaya dapat
menjadi sumber pengembangan budaya hibrida yang kaya dan tangguh, melalui
penyuburan silang budaya. Sebagai kerawanan, keanekaragaman budaya
melemahkan kohesi antar suku dan pulau.

Berbagi informasi adalah hal terpenting dalam bermasyarakat. Terlebih bagi
nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil dan masyarakat luas yang tinggal di belahan bumi lainnya.

Kunjungi situs web KIARA di http://www.kiara.or.id. Pastikan Anda adalah
orang yang pertama kali mengetahui perkembangan informasi kelautan dan
perikanan nasional.
----------------------------------------------------

Mida Saragih
Divisi Manajemen Pengetahuan KIARA
m...@kiara.or.id

Sekretariat Nasional Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
Jl. Tegal Parang Utara No. 43
Mampang, Jakarta 12790
Indonesia
Telp. +62 21 797 0482
Faks. +62 21 797 0482


[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to