Kemiskinan, Utang, dan Pupusnya Kemandirian
Oleh: Bahtiar Effendy Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Jakarta Seputar Indonesia, 22 Juni 2010 Soeharto mungkin tidak sepassionate Soekarno dalam memaknai arti kemandirian bangsa. Perhatian Soeharto mengenai persoalan ini relatif tidak terlalu mencolok. Barangkali juga Soeharto menganggap semangat kemandirian sebagaimana yang diartikulasikan Soekarno tidak lagi tepat untuk direproduksi di masa pemerintahan Orde Baru. Meski Soeharto berlatar belakang tentara, pandangan kenegaraan dan kebangsaannya tidak terlalu dibentuk oleh pengalamanpengalama n di masa penjajahan, tetapi lebih oleh dinamika politik pascakemerdekaan. Periode Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin tampaknya yang justru membentuk pilihan-pilihan kebijakan pemerintahannya. Karena itu, tidak seperti Soekarno, Soeharto lebih membuka diri terhadap utang, investasi asing, dan pasar bebas. Dia jelas bukan pemimpin yang menyandarkan diri pada ideologi etatisme,walaupun tetap percaya bahwa pada momen-momen tertentu negara harus ikut mempengaruhi pasar. Sampai tingkat tertentu, kebijakan-kebijakan nya yang bersifat intervensionis–– affirmative action untuk pengusaha pribumi, misalnya––juga tampak dalam alam pikiran pembangunan Soeharto. Kendatipun globalisasi belum dikenal di akhir 1960-an atau awal 1970-an,Soeharto melihat persoalan harga diri, martabat, dan kemandirian bangsa sebagai sesuatu yang harus juga diletakkan dalam konteks dunia yang semakin berhubungan satu sama lain (interconnected) . Atas dasar itu, bagi Soeharto etatisme bukan merupakan sesuatu yang tepat untuk menegakkan kemandirian. Dengan kata lain,penegakan kemandirian tidak harus dilakukan dengan cara-cara menutup diri dari––atau memerangi––pengaruh-pengaruh asing. Inilah pandangan dasar Soeharto dan para arsitek ekonomi yang menjadi pembantu-pembantu utamanya.Beruntung hal ini sesuai dengan alam pembangunan global Perang Dingin di mana stabilitas dan keamanan lebih dipentingkan daripada partisipasi. Kenyataan ini ikut membantu pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan indikator-indikator yang cukup baik.Setidaknya sampai 1996, pendapatan per kapita mencapai USD1.120; dan produk domestik bruto berkisar Rp373,4 triliun. Meski banyak utang, dengan pertumbuhan rata-rata 7% selama hampir dua dasawarsa, Indonesia pernah dianggap sebagai anak emas Bank Dunia dan calon negara industri baru (newly industrilizing country). Dengan capaian seperti itu, Indonesia menjadi negara yang cukup disegani di Asia Tenggara–– ada sedikit self esteem, martabat, dan kewibawaan. Akan tetapi justru karena terbuka terhadap asing,menjadi anak emas Bank Dunia, apa yang dulu dikhawatirkan Soekarno tentang neokolonialisme cukup terasa pada masa Orde Baru. Kontrakkontrak karya yang sangat menguntungkan pihak asing mencuatkan penilaian betapa kuatnya cengkeraman asing dan semakin merosotnya kemandirian bangsa–– setidaknya secara ekonomi. Adanya penilaian bahwa yang muncul di Indonesia selama pemerintahan Orde Baru sebenarnya adalah erzats capitalism (kapitalisme semu), pelaku-pelaku dunia usahanya sebagian besar berwatak rent-seeking dan sebagainya, mengisyaratkan semakin tergantungnya ekonomi Indonesia terhadap asing. Kenyataan Inilah yang pada akhir 1970-an atau awal 1980-an dulu menyebabkan orang seperti Adi Sasono,Sritua Arief,M Dawam Rahardjo, dan Arif Budiman melihat pembangunan di Indonesia dalam perspektif ketergantungan (dependent development) . Utang menempati posisi penting dalam proses pembangunan. Ini dikuatkan dengan adanya konsorsium negara-negara yang khusus memberi utang kepada Indonesia , seperti Intergovernmental Group on Indonesia (IGGI). Selama hampir tiga dasawarsa pemerintahan Orde Baru hampirhampir tidak pernah menyuarakan tema-tema mengenai kemandirian bangsa dalam konteks nasionalisme seperti telah diisyaratkan di atas.Tidak juga pemerintah berbicara mengenai kemandirian dengan semangat dan nada politik sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Soekarno dan para pendiri Republik lainnya.Yang sempat digulirkan hanyalah kemandirian dan keswasembadaan pangan.Pemerintah cukup berhasil dalam hal ini sehingga Presiden Soeharto memperoleh penghargaan dari FAO pada 1985. Dapat dikatakan, kemandirian bangsa menjadi proyek yang terabaikan. Perangkap Asing? Krisis ekonomi dan politik, yang kemudian berkembang menjadi krisis multidimensi, pada 1998 semakin meletakkan kemandirian bangsa pada titik nadir. Dipaksanya Indonesia untuk menerima preskripsi-preskrip si IMF dalam mengatasi krisis hanya memperkuat anggapan bahwa kemandirian memang merupakan sesuatu yang sudah lama tidak ada. Kita semua lebih nyaman berbicara tentang demokrasi, pasar bebas, pemilu luber, masyarakat madani, civic culture, toleransi, pluralisme, Islam moderat,dan sejenisnya. Mengapa proyek-proyek yang mestinya sama sulitnya dengan agenda penegakan kemandirian atau pengembalian martabat bangsa ini dapat dilaksanakan dalam waktu yang singkat dan kondisi yang terbatas? Salah satu jawabannya terletak pada kenyataan bahwa tema-tema tersebut merupakan agenda universal pasca- Perang Dingin yang dimenangi Amerika Serikat––negara adidaya, demokratis, dan penganut ideologi pasar bebas. Dengan kata lain, hal-hal di atas tidak bertentangan dengan kepentingan pelaku- pelaku ekonomi dan politik AS atau Eropa Barat. Justru persoalan tersebut bersesuaian dan sejalan dengan keinginan mereka. Sampai kemudian pada 2008 kita diingatkan kembali oleh Amien Rais mengenai urgensi memperhatikan kembali soal martabat dan kemandirian bangsa. Sambil mengutip Mahathir Mohammad yang setia merujuk kepada kebenaran tesis Soekarno, bahwa neokolonialisme benarbenar ada,Amien mengingatkan kita untuk “menyelamatkan Indonesia”. Hal ini terutama benar ketika pusat-pusat ekonomi dikuasai kepentingan asing. Akan tetapi, tak banyak yang menyambut ajakan Amien. Tak banyak yang berusaha untuk berbicara serius mengenai persoalan ini, baik pada tingkat individu ataupun kelembagaan–– termasuk dalam hal ini adalah partai politik. Organisasi sosial keagamaan seperti Muhammadiyah pernah menyinggung masalah kemandirian bangsa dalam berbagai pertemuan nasionalnya, tetapi tidak dalam kerangka yang detail dan operasional. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) secara sepintas memangpernahmenyebu t hal ini. Akan tetapi hanya dalam konteks pembangunan masyarakat madani yang bermartabat. Baru pada Musyawarah Nasional II yang baru lalu ada keinginan untuk memunculkan kembali soal kemandirian bangsa. Tanpa bermaksud mengurangi arti dari niat baik ini, tema mengenai soal kemandirian kalah gaungnya dengan keinginan PKS untuk menjadi partai terbuka. Seperti demokrasi dan toleransi,keterbuka an sedang menjadi agenda yang menjadi ikon peradaban. Bukan kemandirian! Ini semua menunjukkan bahwa perang wacana masih dikuasai arus ideologi pasca-Perang Dingin.Kemandirian dan martabat ekonomi dan politik negara-negara berkembang “belum” menjadi sesuatu yang diperlukan secara global. Sementara itu, sambil berlindung di balik agenda-agenda demokrasi, baik partai politik maupun organisasi sosial-keagamaan, masih mengorientasikan perhatian mereka terhadap politik kekuasaan. Hal ini tampaknya masih lebih urgen untuk digeluti dibandingkan soal kemandirian yang barangkali memang tidak berkaitan langsung dengan kepentingan kekuasaan politik dan ekonomi mereka. Tidak Berutang sebagai Jalan Keluar Meskipun diakui sebagai persoalan, masalah kemandirian bangsa belum menjadi hal yang memungkinkan untuk diperlakukan secara serius. Lebih dari soal politik kekuasaan yang menjadi perhatian utama partai-partai politik, dan sampai tingkat tertentu telah menyeret keterlibatan organisasi- organisasi sosial dan keagamaan, situasi ekonomi menjadi kendala utama.Utang pemerintah masih cukup tinggi,Rp1.700 triliun. Tanpa nasib baik, bisa saja kita terperangkap pada apa yang belum lama ini dialami Yunani, gagal membayar utang. Kekhawatiran ini sejalan dengan kenyataan bahwa anggaran belanja negara terus bertambah. Pajak dan pendapatan lainnya belum cukup untuk membiayai APBN yang mencapai Rp1.100 triliun. Hampir setiap tahunya kita mengalami defisit 2–3%.Itu berarti utang terus bertambah. Ironisnya, alihalih untuk membiayai kepentingan rakyat banyak, sebagian besar justru dibelanjakan untuk membiayai birokrasi pemerintahan yang semakin gemuk akibat pemekaran daerah di satu pihak dan akomodasi politik di pihak lain. Ini berarti,utang menjadi salah satu masalah besar dalam upaya mengembalikan harga diri dan kemandirian bangsa. Karenanya, upaya awal untuk mengembalikan kemandirian bangsa bisa saja dilakukan dengan langkah-langkah yang mungkin tidak populis: menambah pendapatan pajak, meningkat investasi sektor riil, meningkatkan ekspor, mengurangi impor, dan di atas semua itu kesediaan untuk tidak berutang. Tanpa itu, membangun kemandirian bangsa merupakan misi yang tak mungkin dilaksanakan. Melihat kinerjapartai- partaipolitikyan gada, demikian pula organisasi-organisa si sosial kemasyarakatan yang mempunyai kencenderungan politik,kepada siapa agenda ini diamanatkan bukanlah perkaramudah. Kitamungkin memerlukan gerakan nasional–– seperti Soekarno menggelorakan semangat kemerdekaan, mirip persistensi Soeharto dalam membangun, dan sebagaimana para aktivis meneguhkan komitmen kita semua terhadap perubahan.(* ) ----- Sekretariat Pusat AIPI Widya Graha LIPI, Lt. VII Jl. Jend. Gatot Subroto 10, Jakarta 12710 Tlp: 021-5224480, Fax: 021-5224480 www.aipi.wordpress. com [Non-text portions of this message have been removed]