MENIKAH http://nana-podungge.blogspot.com/2010/06/menikah.html
(Catatan tercecer dari berlibur ke Jogja. #1) Teman yang kukunjungi – dan rumahnya kuinapi selama dua hari dua malam – waktu ke Jogja memiliki seorang PRT yang dia boyong dari Bandung. Memang sebelum bertempat tinggal di Jogja, temanku ini tinggal di Bandung selama beberapa tahun, menemani sang suami kuliah. Tidak jelas (bagiku) asal-usul si ’teteh’ ini – demikianlah temanku membiasakan kedua anaknya untuk memanggl sang PRT, sama dengan para ‘Javanese’ yang membiasakan anak-anaknya memanggil sang PRT ‘si mbak’, tapi aku yakin sang teteh tidak berasal dari kawasan ‘kota’ Bandung, melainkan sebuah desa yang mungkin agak terpencil. Di salah satu acara ‘rutin’ kita berdua – ngerumpi – temanku bercerita tentang sang PRT yang sedang gelisah karena tak kunjung juga menikah, padahal usianya sudah menjelang 26 tahun. Di desanya tentu dia telah mendapatkan predikat yang menyebalkan itu, “perawan tua”. Dia memiliki dua orang saudara perempuan yang telah menikah sebelum usia mereka mencapai bilangan duapuluh. Konon orang tuanya lah yang memilihkan sang suami. Namun, karena ‘alasan utama’ memilih (calon) suami ini adalah khawatir jika sang anak keburu dicap ‘ga laku’, maka mereka pun ‘just grab any guy’ to marry off their daughters. Selain itu juga karena orangtua ini tidak memiliki pendidikan yang layak, sehingga ‘asal menikah’ pun terjadi. Walhasil, suami dari kedua saudara perempuan itu bukanlah tipe laki-laki yang mengayomi istri-istri mereka. Yang pertama, sering memukuli sang istri. Yang kedua, pergi minggat setelah anak pertama lahir, tanpa kabar yang jelas. PRT temanku ini sebenarnya bisa dikatakan ‘agak beruntung’ karena tatkala dia akan dinikahkan oleh orangtuanya, dia sedang senang-senangnya bekerja di rumah temanku itu, sehingga dia memilih bekerja ketimbang menikah. (NOTE: ‘calon suami’nya adalah suami adik perempuannya yang kemudian minggat setelah anak pertama lahir.) Namun toh sekarang dia dilanda kegelisahan karena dia belum juga menikah di usia yang mungkin dianggap sangat ‘krusial’ bagi perempuan desa. Beberapa tahun lalu, ketika memulai hobi blogging, ‘menikah’ merupakan salah satu topik yang cukup menarik bagiku. (You can check this link http://afeministblog.blogspot.com/search/label/marriage ) Namun semua tulisan lamaku itu menyoroti pernikahan di kota besar, yang terjadi di kalangan kaum yang lumayan terdidik. Kasus yang kutulis kali ini menimpa mereka yang tinggal di daerah yang kurang tersentuh pendidikan. Betapa orangtua yang kurang tersentuh pendidikan plus wawasan akan menjerumuskan anak-anaknya ke kehidupan yang menyedihkan disebabkan oleh ‘marriage-oriented society’ culture. AGAMA http://nana-podungge.blogspot.com/2010/06/agama.html (Catatan tercecer dari berlibur ke Jogja. #2) Cerita masih berkisar tentang sobatku itu, plus sang PRT. Tatkala sang PRT curhat kepada temanku tentang kegundahan hatinya karena masih jomblo, temanku bercerita tentang seorang sepupunya. Sang sepupu dulu ketika masih jomblo – usianya menjelang angka tigapuluh – melakukan beberapa ‘usaha’. Pertama, melaksanakan shalat tahajjud dengan rajin. Kedua, puasa sunnah Senin - Kamis. Ketiga, mengurangi jam tidur malam, ditambah dengan tidur hanya di atas lantai beralaskan tikar. Hasilnya: AJAIB. Dia mendapatkan seorang suami yang sangat ‘sempurna’, financially established, dan sangat sayang plus perhatian. Sang PRT yang kurang memiliki latar belakang pendidikan yang baik – baik pendidikan formal maupun pendidikan agama – tidak tahu bagaimana cara melakukan shalat tahajjud. Maka dia pun bertanya kepada sang majikan – temanku. Masalah timbul di sini karena sobatku ini beragama Katholik yang tidak tahu menahu tentang ajaran Islam. Namun karena semangat ingin membantu sang PRT, maka temanku ini bertanya kepada salah satu orangtua teman sekolah anaknya yang kebetulan beragama Islam. (FYI, anaknya bersekolah di sebuah sekolah swasta dimana para siswanya jarang beragama Islam.) Si teman yang baik hati meminjaminya buku yang kemudian dia fotocopy dan dia berikan kepada sang PRT. Kisah merembet ke pengalaman sang PRT ketika pulang kampung. Orang-orang di desanya tidak habis pikir bagaimana sang PRT kerasan bekerja kepada seorang majikan yang beragama beda. Mereka pun ternyata su’udhon tanpa alasan jelas. Misalnya mereka bertanya: “Teh, majikanmu kan beragama Katholik? Memangnya kamu ga disuruh pindah ke agamanya? Biasanya kan begitu toh? Jika sang majikan beragama non Muslim, dia biasanya akan menyuruh pekerjanya untuk pindah agama.” Sang teteh pun terkaget-kaget karena dia mengenal sang majikan tidak begitu. Meski beragama berbeda, sang teteh mengenal sang majikan sebagai seseorang yang menghormati kepercayaannya. Bahkan di malam-malam bulan Ramadhan, sang majikan lah yang mendorongnya untuk berangkat ke masjid untuk shalat tarawih bersama umat Islam lain. Temanku pun berkata, “Siapa tahu nanti di masjid teteh bisa bertemu dan berkenalan dengan laki-laki yang naksir teteh.” Ini tentu karena temanku melihat sang teteh tidak begitu banyak bergaul karena hampir sepanjang hari sepanjang minggu dia berada di rumah, mengerjakan tugas-tugasnya sebagai PRT. Aku tidak akan mengakhiri tulisan ini dengan sebuah kesimpulan. Selain satu hal: stereotyping – apalagi dalam hal agama/spiritualitas – tetaplah merupakan satu hal yang tidak pada tempatnya dilakukan. Pluralisme adalah satu keniscayaan. PT56 17.33 250610 Minds are like parachutes, they only function when they are open. (Sir James Dewar) visit my blogs please, at the following sites http://afeministblog.blogspot.com http://afemaleguest.multiply.com http://nana-podungge.blogspot.com THANK YOU Best regards, Nana